Tim Sukses Capres seperti Rem Blong

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 08 Des 2018 08:56 WIB

Tim Sukses Capres seperti Rem Blong

Jaka Sutrisna Teja Sumantri, Tim Wartawan Surabaya Pagi Dinamika politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin memanas. Saling ejek dan provokasi masih terjadi hingga kini. Terbaru, capres petahana Joko Widodo (Jokowi) diserang soal Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan spanduk bertuliskan #JKWBersamaPKI. Pada saat sama, Habib Bahar bin Smith yang menghina Jokowi, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Dittipidum Bareskrim) Polri. Ulama pendukung capres Prabowo Subianto itu Pasal 4 huruf b angka 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. -------------- SURABAYAPAGI.com - Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Komisaris Besar Syahar Diantono mengatakan langkah tersebut sesuai dengan proses pemeriksaan Bahar yang fokus menyidiki dugaan pelanggaran pasal tersebut. Pasal itu berbunyi, "Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata- kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain." "Pemeriksaan tadi malam materinya UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis fokus ke sana," kata Syahar di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Jumat (7/12/2018). Pimpinan Majelis Pembela Rasulullah pun terancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp500 juta. Syahar menambahkan penyidik tidak menjerat Bahar dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, pasal tersebut tidak bisa digunakan karena Bahar bin Smith bukan sosok yang mengunggah dan menyebarkan video. "UU mengatur seperti itu, (Bahar) tidak menyebarkan dan mengunggah," ujarnya. Kendati demikian, Syahar menolak menjelaskan kalimat Bahar yang dinilai penyidik telah melanggar Pasal 16 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Selain masuk dalam materi penyidikan, menurutnya, penyidik telah meminta keterangan ahli bahasa seputar hal tersebut. Syahar hanya berkata, dugaan tindak pidana yang dilakukan Bahar ialah terkait ceramah dalam acara penutupan Maulid Arbain di Gedung Baalawi, Palembang, Sumatera Selatan pada 8 Januari 2017 dengan dihadiri kurang lebih 1.000 orang. "Rangkaian ucapan di Palembang saat ceramah tahun 2017," tuturnya. Bahar sebelumnya dilaporkan oleh seseorang yang mengaku diri dari Jokowi Mania dengan pasal berlapis yakni Pasal 16 juncto Pasal 4 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Pasal 45 juncto 28 ayat (2) UU ITE, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan pada kekuasaan. Bantah Kriminalisasi Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Joko Widodo-Maruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan bahwa penetapan Habib Bahar bin Ali bin Smith sebagai tersangka oleh pihak kepolisian bukan bentuk kriminalisasi ulama. "Karena saya melihat arah mau di framing ke arah kriminalisasi ulama. Padahal ya enggak ada urusannya," kata Karding saat ditemui di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Jumat (7/12) kemarin. Politikus PKB itu menyakini bahwa pihak kepolisian tak asal-asalan ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ia pun percaya pihak kepolisian telah memenuhi prosedur tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku untuk mengambil keputusan tersebut. "Kalau menurut peraturan dua alat bukti setelah ditemukan, berati cukup. Yang penting polisi harus terbuka sesuai dengan batas-batas dibolehkan UU tentang proses dan bukti-bukti itu," ungkapnya. Karding pun turut menyayangkan pernyataan Bahar yang tekah menyebarkan ujaran kebencian kepada masyarakat soal Jokowi. Terlebih lagi, kata dia, Bahar menyandang predikat sebagai tokoh agama yang turut disegani oleh masyarakat. Ia menyatakan bahwa kebebasan berbicara yang ada Indonesia masih dibatasi oleh peraturan yang berlaku agar tak kebablasan. Disikapi GNPF-Ulama Sementara itu, Ketua GNPF-Ulama Ustadz Yusuf Muhammad Martak menyayangkan gesitnya kepolisian dalam mengusut kasus Habib Bahar Bin Smith. "Polisi bertindak sigap dan cepat manakala yang dianggap sebagai pelakunya adalah ummat Islam dan para tokohnya," katanya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (7/12/2018). Sebaliknya, jika pelakunya adalah nonmuslim atau mereka yang mendukung penguasa, Polisi terkesan lambat bahkan mengabaikan proses yang seharusnya ditempuh. "Bahwa kami sangat mengkhawatirkan hukum di negeri ini telah menjadi alat kekuasaan, tampak jelas dari perlakuan Polisi terhadap Habib Rizieq Shihab, Bun Yani, Habib Mahdi Shahab, ustadz Alfian Tanjung, dan sejumlah tokoh lainnya yang dengan sigap dan cepat diproses," ungkapnya. Namun sebaliknya, perlakuan berbeda dan cenderung mengabaikan dilakukan kepada mereka yang mendukung rezim, kendati sudah dilaporkan. "Seperti Ade Armando, Victor Laiskodat, Permadi Arya alias Abu Janda, Sukmawati Soekarno Putri, Royson Jordhany (16) yang menghina dan mengancam membunuh Jokowi dan lainnya," bebernya. Oleh karena itu, GNPF-Ulama menyerukan agar hukum dikembalikan fungsinya sebagaimana mestinya. Kepolisian RI harus bertindak profesional dan proporsional sesuai UU dan ketentuan yang berlaku. Isu PKI Jokowi kembali mengingatkan bahwa PKI dibubarkan oleh pemerintah tahun 1965. Sementara Jokowi lahir pada 1961. "Saya baru umur 4 tahun, apa ada PKI balita?" kata Jokowi. Jokowi mengatakan, selama 4 tahun terakhir, ia hanya diam menanggapi isu dan fitnah ini. Namun, kali ini ia merasa harus menanggapi karena masyarakat yang mempercayai isu ini semakin banyak. Menurut Jokowi, berdasar survei yang dilakukan, ada 9 juta masyarakat yang percaya bahwa dirinya adalah PKI. "Ini kenapa saya jawab, karena saya dapat survei masyarakat percaya fitnah seperti ini. Jadi di mana-mana saya singgung hal seperti ini," kata dia. Sebuah spanduk yang menyebut calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo bersama PKI terpasang di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Informasi tentang pemasangan spanduk itu menjadi viral di media sosial setelah diunggah oleh akun Twitter @gm_gm. **foto** Kebablasan Menanggapi fenomena itu, pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengaku prihatin. Menurutnya, dinamikan politik menjelang Pilpres sudah tidak terkendali. Ini dipicu oleh cara dan tindakan para tim sukses (timses) dan pendukung seperti rem blong dalam melancarkan kampanye. Saling serang, saling ejek, saling hina, saling caci, dan saling benci, terus menggema baik di jagat nyata maupun jagat maya. "Harusnya timses dan pendukung saling jual program dan keunggulan calonnya ke masyarakat, bukan malah memprovokasi pendukungnya untuk saling menjelekkan dan menyerang lawan," ungkap Hendri Satrio di Jakarta, kemarin. Hendri menjelaskan, sesuai teori, proses demokrasi itu akan langgeng dan damai dilaksanakan bila tercapai tiga hal. Yaitu ekonomi merata, hukum yang tidak tebang pilih, kedewasaan berpolitik termasuk di dalamnya toleransi. Tapi yang terjadi sekarang ini, lanjut Hendri, kombinasi dari tiga hal itu yaitu ekonomi yang dianggap sebagian masyarakat tidak terlalu baik, hukum juga dianggap masih tebang pilih. Bahkan sampai hari ini tentang kedewasaan politik, terutama toleransi dan identitas masing-masing warga negara masih ada kaitannya dengan jatidiri masing-masing. "Itulah yang membuat timses seperti rem blong dan itu menjadi kegagalan yang diciptakan timses. Padahal kegagalan timses notabene adalah kegagalan capres dan cawapres 2019," terang Founder lembaga survei KedaiKopi ini. Menurut Hendri, kultur masyarakat Indonesia itu masih mengikuti tokoh dan panutannya. Kalau panutannya adem ayem, maka mereka juga adem pula. "Sekarang panutannya belum debat, belum berdiskusi, belum berpolemik di ranah yang substantif tapi masih ranahnya kampanye sudah saling serang, saling tuding sehingga memunculkan kata-kata viral seperti saya tabok, wong Boyolali, lulusan SMA hanya jadi ojek, dan lain-lain," tuturnya. Pada 2014 lalu, waktu kampanye hanya sebentar, sementara sekarang waktunya enam bulan. Namun baru dua bulan saja dinamikanya sudah seperti saat ini. "Tanpa disadari, akibat waktu kampanye terlalu lama, masyarakat jadi terjebak dengan lamanya waktu kampanye itu dan itu membuat mereka terjebak juga dalam lingkaran media sosial (medsos). Ironisny mereka tidak sadar medsos makin penuh dengan berbagai hal negatif seperti hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, adu domba, dan lain-lain," papar Hendri. Ia menyarankan harus ada kerjasama menyeluruh antara badan dan lembaga negara untuk mendinginkan suasana. BNPT, BSSN, Bawaslu, TNI, Polri, melalui bidang siber mereka, setiap hari tidak boleh berhenti menyampaikan pesan damai melalui medsos. "Rangkullah ulama dan tokoh agama yang memiliki kharisma, sehingga masyarakat bisa lebih tertata dan terjaga," pungkas dia. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU