Tionghoa Peranakan Tak Punya Garis Keturunan Murni

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 19 Des 2019 02:47 WIB

Tionghoa Peranakan Tak Punya Garis Keturunan Murni

Kisah Perantau Tiongkok di Surabaya (24) Tionghoa peranakan adalah orang yang tidak memiliki garis keturunan murni. Hanya salah satu dari orang tuanya saja yang mempunyai keturunan Tionghoa, baik dari sisi Ibu atau dari sisi Ayahnya. Mereka adalah generasi imigran Tiongkok yang hidup turun-temurun serta telah beranak pinak atau kawin campur dengan pribumi di indonesia. SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -Tempat kelahirannya pun tidak lagi di tanah leluhur, jadi bisa dibilang mereka memiliki darah campuran. Keturunan Tionghoa peranakan umumnya mempunyai fisik yang agak berbeda dari Tionghoa. Misalnya seorang Tionghoa yang berpasangan dengan orang Jawa, kelak anaknya memiliki kemungkinan tidak berkulit putih. Warga keturunan Tionghoa peranakan umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin (atau dialek daerah Tiongkok) sebagai bahasa pergaulan. Bahkan dari sisi kultural mereka telah mengalami proses akulturasi budaya dengan budaya lokal setempat dimana mereka tinggal. Contohnya adalah Masyarakat Tionghoa Benteng yang berakulturasi dengan warga lokal Tangerang, dan melahirkan sebuah perpaduan budaya baru. Bahasa orang Peranakan, yaituBahasa kreol Melayu (atau "Bahasa Melayu Baba"), adalah dialekkreol daribahasa Melayu, yang berisi banyak katadialek Hokkian. Bahasa ini adalah bahasa yang hampir punah, dan penggunaan kontemporernya terbatas pada anggota generasi tua.Bahasa Indonesia,Melayu atauInggris kini telah menggantikan bahasa ini sebagai bahasa utama yang digunakan di kalangan generasi muda. Orang Peranakan, Tionghoa Peranakan, atau hanya Peranakan ("Baba-Nyonya" diMalaysia) adalah istilah yang digunakan oleh para keturunanimigranTionghoa yang sejak akhirabad ke-15 danabad ke-16 telah berdomisili di kepulauanNusantara (sekarangIndonesia), termasukMalaya Britania (sekarangMalaysia Barat danSingapura). Di beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain juga digunakan untuk menyebut orang Tionghoa Peranakan, seperti "Tionghoa Benteng" (khususTionghoa-Manchu diTangerang) dan "Kiau-Seng" (di era kolonialHindia Belanda). Penarakan ini merupakan warga Tionghoa yang mempunyai corak bahasa dan budaya yang khas, hasil percampuran dari semua tanpa menjadi salah satu darinya. Mereka tidak terasimilasi menjadi pribumi lokal (misalnya Jawa); tidak hidup berkiblat ke Eropa; tidak peduli dengan leluhur Tiongkok; tidak juga bersemangat nasionalis lebih dari warga biasa. "Peranakan" kini berarti orang keturunan bukan Indonesia-asli (misalnya,Tionghoa) yang lahir di Indonesia. Akan tetapi pada abad ke-17, istilah "Cina peranakan" ditujukan bagi orang Tionghoa muslim; yang dalam istilahBelanda kolonial disebut geschoren Chinees, yakni Tionghoa yang dipotong kuncirnya. Baba, kata dari Persia yang dipinjam oleh penuturbahasa Melayu sebagai sebutan kehormatan hanya untuk kakek-nenek, digunakan untuk menyebut laki-laki Tionghoa Selat. Istilah ini berasal dari penuturBahasa Hindustani, seperti penjaja dan pedagang, dan menjadi bagian dari bahasa pasar yang umum. Di Nusantara sendiri, pengucapan "Baba" dapat berubah sesuai dialek masyarakat Pribumi setempat, seperti "Babah" olehorang Jawa atau "Babeh" olehorang Betawi.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU