Virtual Silahturahmi Idul Fitri, Bukan The New Normal

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 19 Mei 2020 22:13 WIB

Virtual Silahturahmi Idul Fitri, Bukan The New Normal

i

Dr. H. Tatang Istiawan Wartawan Senior Surabaya Pagi

Saat pandemi covid 19, istilah the new normal, dipopulerkan pemerintah.

Istilah atau tagline ini meski masih baru, enak didengar.

Baca Juga: Usai Sholat Ied, Bupati Ikfina Serahkan Hibah Renovasi Masjid Rahmat Jatirejo

Rumusan patentnya memang belum ada. Saya cari di google pun, pemaknaannya masih terlalu luas. Tapi dari bahasanya, artinya kira kira “normal baru”.

Saya tafsirkan normal baru itu dari cara hidup saya saat “ mengurung diri” di rumah selama lebih dua bulan. Gaya hidup dengan tagline #dirumahaja, kini telah menjadi kebiasaan. Dan menginjak bulan kedua seperti menjadi habit. Antara lain bangun selalu diatas pukul 07.00. Maklum malamnya ikut saur.

Kebiasaan bangun pagi, baca buku dan ngetik di rumah adalah sesuatu yang saya lakukan secara otomatis setiap hari. Termasuk mengikuti anjuran pemerintah, selalu bermasker, sering mencuci tangan, jaga kebersihan badan, jaga jarak dan jangan suka keluar rumah. Apalagi cangkrukan.  Dan komunikasi keluar rumah secara virtual. Kebiasaan seperti ini pun sampai dihapal oleh cucu saya. “Hai papa awas corona, jangan keluar rumah. Cukup video conference,” pesannya. Maklum, dia yang masih TK. Sejak libur sekolah karena virus corona, diajarkan sekolahnya untuk belajar menggunakan virtual dari rumah dengan alat bantu teknologi informasi.

Dan secara tidak sadar, kebiasaan makan dan pergi tanpa masker, dulu saya jalankan tanpa berpikir tentang kebersihan dan kesehatan .

Kini selama dua bulan terakhir, kebiasaan sebelum pandemi covid-19,  sudah tak terulang lagi. Kebiasaan itu nongkrong di lobi hotel, makan steak di resto atau ngopi di cafe, makan di rumah makan padang atau mincuk pecel di kaki lima. Perubahan  kehidupan seperti ini yang disebut the new normal?

Bisa jadi. Tapi silahturahmi Idul Fitri, tak bisa disamakan.

 ***

Silahturahmi Idul Fitri, bukan sekedar silahturahmi biasa. Ada ritual, adat, sosial, budaya dan ekonomi.

Berdasarkan nilai-nilai ini, akal sehat saya berkata tradisi silaturahmi pada Hari Raya Idulfitri tak bisa diganti dengan virtual silahturahmi. Penerapan virtual silahrurahmi Idul Fitri tahun 1441 Hijrah, sifatnya darurat dan temporer. Jadi tak bisa dimasukan dalam nilai the new normal.

Sifat darurat ini, hanya karena terhalang oleh situasi pandemi virus corona (Covid-19).

Jadi silahturahmi idul fitri bagi masyarakat Indonesia umumnya adalah tradisi tahunan setelah bulan puasa. Silahturahmi ini bercampur nilai rirual sampai budaya. Akal sehatnya cara lain menggunakan toknologi informasi yang saat ini dilakukan untuk menghindari kontak fisik, sifatnya situasional.

Otomatis nilai silahturahminya tak bisa digantikan dengan virtual silahturahmi menggunakan teknologi komunikasi melalui sarana internet.

Maka saya tak setuju virtual silahturahim saat idul fitri dimasukan dalam kehidupan baru, the new normal.

Baca Juga: Ratusan WBP Lapas Mojokerto Terima Remisi Khusus Idul Fitri

Dari aspek religi atau ritual, kita bisa kehilangan makna untuk saling mendoakan.

Dari aspek sosialnya, kita bisa merasa ada sesuatu yang sirna yaitu suasana kebatinan.

Dari aspek budayanya, ada perasaan yang hilang yaitu saling menimba ilmu dan pengalaman hidup. Dan dari aspek ekonomi, kita tidak repot repot lagi siapkan snack, minum dan makan yang kadang kita ada-adakan sebagai jamuan atas kedatangan tamu untuk bersilahrahmi.

Aspek aspek ini menurut teman saya pebisnis keturunan etnis Tionghoa, masuk dalam dimensi “ memperhitungkan” cara bermasyarakat, diluar dimensi “ berhitung”.

Sebagai the new normal, virtual silahturahmi idul fitri, mungkin kelak (entah kapan) bisa saja diterima oleh generasi milenial. Maklum mereka generasi yang suka praktis, tak mau ribet dan tidak pura-pura (saklek).

Nah, bagi etnis jawa, silahturahmi idul fitri, kadang dilakukan dengan mengada-ada atau jamuan diada-adakan untuk menyenangkan tamu, entah saudara, teman atau anak,menantu dan cucu.

Mengingat, bagi adat tertentu termasuk jawa, idul fitri adalah “perayaan” yang menutup Ramadan. Ini terjadi tidak sembarang waktu atau bulan. Idul fitri, diresapi peristiwa yang terjadi setelah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari berpuasa. Selebrasi ini bagi orang jawa disebut perayaan kecil (iidu as-saghiir). Berbeda dengan Idul Adha yang disebut ‘iidu al-kabiir (perayaan besar).

Baca Juga: Stabilkan Harga Sembako Jelang Idul Fitri, Pemkab Sidoarjo Gelar Gerakan Pangan Murah

Bagi rakyat Indonesia kebanyakan, Idul Fitri (Lebaran) merupakan perayaan yang lebih besar dibandingkan dengan Idul Adha. Pada setiap Idul Fitri, umat Muslim diperintahkan untuk “mengagungkan Allah SWT atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (Surah al-Baqarah, ayat 185). Seruan ini biasa berbentuk takbiran yang dikumandangkan sepanjang malam menjelang Idul Fitri:

Maka itu, secara budaya saya yang jawa tulen tidak bisa menerima silahturahmi Idul Fitri digantikan dengan virtual silahturahmi idul Fitri.

Dan dalam konteks Indonesia kontemporer, perayaan Idul Fifri kadang dinamai halalbihalal atau silaturahmi. Padahal dalam Alquran dan Hadis, konsep ini tidak dijumpai.

Mengingat, tradisi turun temurun sejak saya masih bujang, silaturahmi Idul Fitri tanpa pesta lebaran adalah mustahil.

Saat silaturahmi Lebaran, kadang ada pesta makan besar yang disantap bersama dengan suka cita. Beda dengan virtual silahturahmi Idul Fitri.

Dengan berbekal akal sehat, penggunaan aplikasi video conference untuk mendukung physical distancing saat pandemi virus corona, menurut saya hanya efektif untuk bekerja di rumah atau kuliah-sekolah saja. Tapi tak bernilai untuk menggantikan silahturahmi lebaran.

Taqobballahuminna wa minkum, taqobbal ya kariim. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU