Whisnu, Bikin 'Akur' Pemkot-Pemprov

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 29 Des 2020 21:29 WIB

Whisnu, Bikin 'Akur' Pemkot-Pemprov

i

Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, menerima Plt Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (25/12).

 

Perilaku Plt Wali kota bisa Diteruskan oleh Wali Kota Berikutnya dan Jangan Niru Risma yang Gesekan dengan Dua Gubernur Jatim, Pakde Karwo dan Khofifah

Baca Juga: DJP Jatim 2 Gandeng Media untuk Tingkatkan Pencapaian Target Pajak

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Semenjak Whisnu Sakti Buana menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Surabaya pada 24 Desember 2020, kedekatan antara Pemerintahan Kota Surabaya dan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur munculkan wajah yang berbeda dari sebelumnya. Ya, hubungan antara Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim terlihat lebih harmonis.

"Jadi ini bisa nyambung lagi untuk urusan pemerintahan. Agar bisa sambung lagi antara Pemerintah Surabaya dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur," ujar Whisnu Sakti usai pertemuannya dengan Khofifah Indar Parawansa pada Jumat (25/12) lalu, di Gedung Grahadi Surabaya.

Ucapan yang terlontar dari Plt Walikota Surabaya itu seakan menyatakan bahwa hubungan Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim sebelumya 'Tidak Nyambung'.

 Hal itu dibenarkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair), yakni Ucu Martanto, S.IP, M.A. "Hubungan kedua pemerintahan yang bersangkutan itu memang kurang baik. Tak hanya dengan Khofifah, dengan jamannya Pak Karwo pun hubungan Bu Risma juga kurang baik," terang Ucu pada Surabayapagi, Selasa (29/12/2020).

Hubungan kurang baik yang dimaksud, tambah Akademisi Fisip Unair itu, bukan konflik personal antara Tri Rismaharini dengan Gubernur Jatim, melainkan soal kewenangan. Seringkali, kewenangan yang diputuskan oleh Pemprov Jatim tidak diterima sepenuh hati oleh Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Risma pada saat itu.

"Sebenarnya banyak sekali contoh kasus. Salah satunya, ketika SMA di Surabaya yang awalnya digratiskan oleh Pemkot Surabaya, pengelolaan kewenangannya diambil alih oleh Pemprov Jatim dan tidak digratiskan," ujar pengamat politik itu.

Konflik yang terjadi antara Tri Rismaharini dan Gubernur Jatim tentunya tidak lepas dari politik kekuasaan, bahkan menyangkut ekonomi kekuasaan. Ucu Martanto, S.IP, M.A., memaparkan dalam kaca mata politik, konflik kewenangan tersebut termasuk menyangkut politik kekuasaan dan ekonomi kekuasaan.

Maka dari itu, perilaku yang dilakukan oleh Whisnu Sakti dinilai benar olehnya. "Setidaknya itu bisa mencairkan suasana. Tapi menurut saya, yang terpenting bukan perilaku Whisnu Sakti, tetapi perilaku Walikota Surabaya selanjutnya (Eri Cahyadi) bisa mempertahankan, bahkan meningkatkan keharmonisan dengan Pemprov Jatim," tegasnya.

 

 

Sejak Jaman Pakde Karwo

Hal senada diungkapkan pengamat politik Unair lainnya, Fahrul Muzaqqi, S.IP, M.IP. Menurutnya, tidak hanya pada Khofifah, hubungan yang kurang baik juga tercermin pada kepemimpinan Risma di periode pertama saat berkordinasi dengan Pakde Karwo.

"Saya melihat, karakter kepemimpinan Bu Risma ini orientasinya lebih kedalam. Jadi hanya memikirkan kepentingan Kota Surabaya saja," tutur pengamat politik itu.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Rencana Tambah 2 Rumah Anak Prestasi

Dirinya menilai, banyak sekali missed kordinasi yang terjadi antara Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim selama 10 tahun terakhir. "Kalau dibedah, kepemimpinan antara dua pemerintahan ini terkesan kurang kordinasi, meskipun tidak selalu begitu," ungkapnya.

Fahrul Muzaqqi, S.IP, M.IP., menambahkan beberapa fakta tentang konflik yang terjadi antara Tri Rismaharini dengan dua Gubernur Jatim yang berbeda. "Jaman Pakde Karwo, konflik terjadi dengan Bu Risma karena tol tengah kota. Dengan Bu Khofifah, perselisihan terjadi karena penanganan virus covid-19 dan pro kontra PSBB," jelas akademisi Unair itu.

Terlepas dari hal itu, perilaku Whisnu Sakti mendapat apresiasi dari Fahrul. "Whisnu Sakti perlu di apresiasi. Itu termasuk langkah yang baik. Jadi jalur kordinasi antara Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim bisa terbuka kembali. Saya harap Eri Cahyadi nantinya bisa melanjutkan langkah baik ini," ujarnya. Mbi

 

Komunikasi tak Diterima Publik

Sementara itu, Dr. Agus Machfud Fauzi, M.Si, Dosen sosiologi politik Unesa, menjelaskan, komunikasi antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Risma, kurang bisa diterima oleh publik.

Komunikasi yang dimaksud oleh Agus, adalah tentang kebijakan dan solusi terkait problematika yang ada di Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim. "Penanganan yang diharapkan Pemprov Jatim terkadang berbeda dengan apa yang telah dilakukan Bu Risma," ujarnya.

Keduanya dinilai memiliki orientasi masing-masing dalam kewenangannya. "Pemkot merasa yang memiliki kota Surabaya, sedangkan Pemprov merasa yang paling bertanggung jawab di Jawa Timur," tambah pengamat sosial itu.

Baca Juga: Jelang Lebaran, Disnakertrans Jatim Buka 54 Posko Pengaduan THR

Hal itu terjadi karena beberapa faktor, diantaranya, yang disebutkan Agus, kedua pemimpin pemerintahan sama sama perempuan. Emosional yang ditimbulkan juga semakin besar.

"Bu Risma dan Bu Khofifah memiliki rasa kepemimpinan yang besar. Keduanya sama-sama memberikan penekanan. Keduanya juga memiliki pengalaman yang berbeda," tuturnya.

Jika dilihat dalam jangka panjang, konflik ataupun perselisihan yang terjadi antara Risma dan Khofifah pasti menuju ke politik kekuasaan dan ekonomi kekuasaan.


Derby Surabaya

Kemudian, M. Ilyas Rolis, M.Si., pengamat politik akademisi Uinsa juga memberikan pendapatnya. "Pemkot Surabaya dibawah kepemimpinan Bu Risma pada periode pertama aman-aman saja. Pergesekan mulai terlihat di periode kedua, dimana Bu Risma berkordinasi dengan Bu Khofifah selaku Gubernur Jatim pada saat ini," ulas Ilyas.

Akademisi itu menganggap ketidak harmonisan antara Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim seperti pertandingan 'Derby Surabaya'. "Adu gengsi, adu kekuatan manajerial bisa dilihat dari kokohnya dua tipikal pemimpin yang sama-sama kuat, dan pekerja keras," paparnya.

Selain itu, M. Ilyas Rolis, M.Si., juga menganggap, ada kepentingan politik kekuasaan, bahkan ekonomi kekuasaan antara keduanya. Ya hal itu bisa terjadi karena rivalitas dan ketenaran mereka sudah sama.

Di akhir wawancara, M. Ilyas Rolis, M.Si., memuji keberanian Whisnu Sakti dalam membangun hubungan yang baik dengan Gubernur Jatim yang terjadi setelah dirinya diangkat sebagai PLT Walikota Surabaya. "Itu termasuk itikad baik dari Pak Whisnu. Pemkot dan Pemprov bisa berkordinasi lebih baik tentang regulasi maupun infrastruktur yang ada,"pungkasnya. mbi

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU