Aturan Jual Beli Tanah Harus Punya BPJS Kesehatan, Bukti Pemerintah Malas dan Tak Kreatif

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 21 Feb 2022 12:33 WIB

Aturan Jual Beli Tanah Harus Punya BPJS Kesehatan, Bukti Pemerintah Malas dan Tak Kreatif

i

Pelayanan BPJS Kesehatan di Kertajaya Indah, Surabaya/ foto: Doc. SP

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Mulai 1 Maret 2022, pemerintah mewajibkan masyarakat yang ingin melakukan jual beli tanah, wajib menyertakan bukti kepesertaan BPJS Kesehatan.

Selain untuk jual beli tanah, pengurusan SIM, STINK hingga naik haji juga wajib menyertakan bukti kepesertaan BPJS Kesehatan. Atau dengan kata lain, bila ada masyarakat yang tidak terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan maka hal-hal di atas tidak akan dilayani.

Baca Juga: Monitoring Implementasi Permenko, Bupati Ikfina Tegaskan Pentingnya Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan

Peraturan baru ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 untuk mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sejak 6 Januari 2022.

Bahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN juga mengumumkan kartu BPJS Kesehatan akan menjadi syarat jual beli tanah per 1 Maret 2022 mendatang.

Aturan dari ATR/BPN ini dikuatkan dengan keluarnya surat bernomor HR.02/164-400/II/2022 yang ditandatangani Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Suyus Windayana.

"Setiap permohonan pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena jual beli harus dilengkapi dengan fotokopi Kartu Peserta BPJS Kesehatan," tulis surat tersebut dikutip Surabaya Pagi, Senin (21/02/2021).

Adapun surat tersebut menyatakan bahwa aturan ini sesuai dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN.

Lebih lanjut, surat tersebut menjelaskan bahwa JKN bersifat wajib alias mandatory dan merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial.

Tak hanya itu saja, Presiden melalui instruksi yang dikeluarkan pada 6 Januari 2022 itu meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menyempurnakan regulasi untuk pemohon SIM, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) menyertakan syarat kartu BPJS Kesehatan.

"Melakukan penyempurnaan regulasi untuk memastikan pemohon SIM, STNK, dan SKCK adalah Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),' tulis Inpres tersebut.

Presiden juga menginstruksikan Menteri Agama untuk menjadikan BPJS Kesehatan sebagai syarat bagi calon jamaah Umrah dan Haji.

"Mensyaratkan calon jamaah Umrah dan jamaah Haji khusus merupakan peserta aktif dalam program JKN," lanjutnya.

Setidaknya ada sekitar 30 kementerian dan lembaga yang diminta untuk melakukan percepatan terhadap rekrutmen peserta BPJS Kesehatan.

Sebagai informasi hingga tahun 2022, BPJS Kesehatan mencatat capaian rekrutmen pesertanya mencapai 86% atau sekitar 230 juta jiwa. Artinya ada 14% atau sekitar 40 juta jiwa yang belum mendaftar menjadi anggota BPJS Kesehatan.

Terkait Inpres yang dikeluarkan Jokowi ini pun mendapat kritikan dari sejumlah pihak. Pengamat Kebijakan publik Universitas Trunojoyo Madura sekaligus peneliti Survey Center (SSC) Surabaya Surokim Abdussalam menyampaikan, aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini terkesan tidak logis dan terkesan memaksa.

Baca Juga: Ketua Relawan Prabowo Mania 08, Berkeluh-kesah

Dalam mengelola negara khususnya ketika mengeluarkan kebijakan kata Surokim, perlu adanya kajian akademis dan pertimbangan rasional yang conform. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan protes dari masyarakat.

“Menurut saya ini negara milih enaknya saja. Gak mau bersusah-susah untuk tumbuhkan kesadaran Kesehatan, mau ambil jalan tol, jalan pintas akhirnya dibuat administrasi seperti itu. Kalau cara mengelola negara seperti ini, ya anak kecil juga bisa,” kata Surokim saat dihubungi Surabaya Pagi, Senin (21/02/2022).

Dalam pandangan Surokim, tujuan pemerintah sebetulnya sangat mulia. Yakni ingin agar seluruh masyarakat Indonesia terlindungi dengan jaminan kesehatan. Namun lagi-lagi, cara yang dilakukan oleh pemerintah justru merusak marwah birokrasi.

“Literasi kesehatan itu tugas bersama. Tidak boleh dipaksa secara administrasi yang keterhubungan agak jauh. Harus ada basis logika yang cukup. Jangan sampai pemerintah kehilangan marwah harga dirinya di hadapan warga negara. Apalagi sampai ditertawakan dan terlihat bodoh. Kalau nampak bodoh dihadapan warga negara, akan kehilangan marwah birokrasi,” katanya

“Pemerintah yang logis membuat peraturan yang mendorong warga negara untuk punya kesadaran Kesehatan. Kalau seperti ini kan terkesan dipaksakan. Bukan pemerintah yang kreatif tapi pemerintah yang malas. Gak ada daya dorong. Seenaknya saja,” tegasnya lagi.

Baca Juga: Hubungan Jokowi - Prabowo, akan Retak

Senada dengan itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Brawijaya Wawan Sobari menyebut, kebijakan pemerintah saat ini terkesan mengada-ada dan dipaksakan. Menurtnya, antara hak untuk mendapatkan tanah dan hak untuk mendapatkan kesehatan adalah dua hal yang berbeda.

“Saya kira ini terlalu dipaksakan. Kalau kebijakan ini tetap diberlakukan pada Maret mendatang, saya hakul yakin akan sangat membebani masyarakat,” kata Wawan Sobari.

Hal yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah saat ini sebetulnya bukan pada masalah administrasi, namun pada pembenahan pelayanan BPJS Kesehatan. Menurutnya, pelayanan BPJS Kesehatan selama ini belum begitu optimal dan belum memudahkan masyarakat.

“Jadi yang perlu dibenahi itu harusnya pada peningkatan pelayanannya. Kan kita tahu bahwa pelayanan publik di negara kita seperti bola pingpong, di over ke sana, di over ke sini, gak jelas juntrungnya,” pungkasnya. (Sem)

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU