BEM Se-Surabaya, Ancam Walikota Eri Turun ke Jalan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 27 Okt 2021 20:58 WIB

BEM Se-Surabaya, Ancam Walikota Eri Turun ke Jalan

i

Pernyataan sikap dari Aliansi BEM se-Surabaya yang menuntut Pemkot Surabaya agar melakukan pembaharuan peraturan Perda nomor 16 tahun 2014 tentang pelepasan tanah aset pemkot Surabaya. SP/Gawang/bemunesa

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Perjuangan 46.811 warga Surabaya pemilik Sertifikat izin pemakaian tanah (IPT) alias Surat Ijo yang tersebar di 23 kecamatan, mendapat dukungan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Surabaya.

Ahmad Yusuf Alakim koordinator Aliansi BEM se-Surabaya menyampaikan, dukungan tersebut diberikan lantaran persoalan tanah surat ijo tak kunjung tuntasnya, sehingga berlarut-larut dan telah meresahkan warga.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Usulkan SERR ke Pusat

Dalam keterangan resminya, Aliansi BEM se-Surabaya yang beranggotakan 30 perguruan tinggi Surabaya ini, menuntut Pemkot Surabaya agar melakukan pembaharuan peraturan Perda nomor 16 tahun 2014 tentang pelepasan tanah aset pemkot Surabaya.

Selain pembaharuan Perda 16, ia juga mendesak Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi agar dapat mengeluarkan Surat Keputusan (SK) sebagai landasan hukum yang pasti, terkait pelepasan aset tanah di Surabaya.

“Karenanya kami mendesak Walikota Eri Cahyadi untuk segera menyelesaikan persoalan ini dengan melimpahkan surat ijo ke ranah pemerintahan pusat dalam hal ini pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)," kata Ahmad Yusuf Alikim dalam keterangannya yang diterima Surabaya Pagi, Rabu (27/10/2021).

Dukungan serta desakan mahasiswa ini bukanlah isapan jempol belaka. Ahmad secara tegas menyebutkan, pihaknya akan melakukan aksi masa apabila tuntutan tersebut tidak ditanggapi oleh pihak pemkot Surabaya.

Tindakan aksi masa yang akan dilakukan BEM se-Surabaya kata Ahmad, juga merupakan bagian dari upaya menagih janji Wakil Wali Kota Surabaya Armuji melalui komunikasi webinar dengan Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) pada beberapa waktu yang lalu. Dalam keterangannya saat itu, Armuji menyampaikan, pemkot Surabaya tidak keberatan menyelesaikan sengketa surat ijo, untuk dijadikan SHM yang diberikan kepada masyarakat Surabaya.

Hingga saat ini, surat tuntutan terkait penyelesaian surat ijo telah dikirim ke Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, namun belum ada tanggapan.

"Dalam seminggu ke depan kalau tetap belum ada respon dari wali kota, kami akan melakukan aksi turun ke jalan, kita kawal aspirasi masyarakat. Kami ini merupakan representasi masyarakat," aku Ahmad.

Secara terpisah, Pakar Hukum Agraria dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Agus Sekarmadji menyampaikan, terkait persoalan tanah surat ijo di Surabaya sebetulnya bukan persoalan yang sulit.

Menurutnya, pengaturan tanah surat ijo telah diatur dalam Perda nomor 16 tahun 2014 tentang pelepasan tanah aset pemkot Surabaya. Pasal 1 ayat 7 Perda tersebut secara verbatim menyebutkan, pelepasan tanah adalah suatu kegiatan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah aset pemerintah daerah kepada pemegang izin pemakaian tanah melalui pemberian kompensasi dalam bentuk sejumlah uang.

"Karena tanah itu merupakan barang milik daerah maka tunduk pada peraturan mengenai pengelolaan barang milik daerah. Berdasarkan peraturan tersebut disebutkan bahwa apabila barang milik daerah dimanfaatkan maka tidak boleh merugikan daerah. Oleh karena itu tidak mungkin pelepasan gratis. Harus ada ganti kerugian. Karena itu hukumnya," kata Agus Sekarmaji saat dihubungi Surabaya Pagi, Rabu (27/10/2021).

"Otomatis (ganti rugi) harus berupa uang dan besarnya sesuai dengan appraisal atau penilai pertanahan," tegasnya lagi.

Oleh karenanya Agus menilai, tindakan pemkot Surabaya dalam mengelola aset pemerintah sudah sesuai dengan koridor hukum yang ada. Selain Perda 16, ada pula aturan lain yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 27 tahun 2014 sebagaimana diubah menjadi PP 28 tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah maupun Permendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, merupakan rujukan hukum lainnya dalam pengelolaan aset negara ataupun daerah.

Baca Juga: Tingkatkan Kepuasan Masyarakat, Satpas SIM Colombo Gaungkan Pelayanan Prima dan Transparansi

Ditambah lagi, setiap ketentuan hukum yang ada selalu berisikan frasa yang pada prinsipnya tidak boleh merugikan keuangan daerah.

"Kalau itu merupakan aset pemerintah maka tunduk pada pengelolaan barang milik daerah. Artinya kan sudah ada aturan hukumnya. Kalau mau punya hak milik, maka harus ganti kerugian ke pemerintah daerah," ucapnya.

Terkait frasa kerugian negara, pada pasal 1 ayat 15 undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan, disebutkan bahwa; kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Sanksi dari kerugian negara pun kata Agus, juga diatur dalam PP nomor 27 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP 28 tahun 2020. pasal 99 PP menyebutkan, setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

 

La Nyalla

Sebagai informasi, pada 15 April 2021 lalu Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyalla Mahmud Mattalitti tengah mengupayakan agar tanah surat ijo diserahkan kepada pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Baca Juga: Atasi Banjir dari Saluran Air di Seluruh Kampung

Penyelesaian masalah seperti ini, kata La Nyalla, bukan hal mustahil karena di daerah lain, status tanah serupa bisa terselesaikan, yakni melalui program sertifikat hak milik atau SHM massal yang merupakan program Presiden Joko Widodo melalui Kementerian ATR/BPN.

Menanggapi akan hal tersebut, Agus menjelaskan, pengalihan status tanah dari daerah ke ATR/BPN secara hukum dapat dilakukan. Hal tersebut dikenal dengan sebutan hibah.

"Itu bisa namanya hibah. Kalau hibah menjadi barang milik negara. Tapi bukan tanah milik negara bebas yang boleh dibagi. Tetap sama saja, menjadi pengelolaan pihak BPN," katanya.

Tanah yang dikuasi negara kata Agus, dibagi dalam dua kategori. Pertama adalah tanah bebas. Tanah bebas adalah tanah negara yang belum pernah ada hak di atasnya seperti tanah di hutan, pegunungan, dan sebagainya. Kedua adalah tanah tidak bebas. Tanah negara tidak bebas, kata Agus adalah tanah negara yang sudah dilimpahkan kepada instansi pemerintah

"Kalau sudah berada di tanah instansi berati tidak bebas, sehingga tidak boleh diberikan orang gratisan. Tetap harus ada ganti rugi. Hukumnya begitu," ucapnya.

Kendati begitu kata Agus, persoalan surat ijo akan menemukan titik tengah apabila dilakukan revisi terhadap ketentuan pengelolaan barang milik negara/daerah, khususnya terkait frasa tidak boleh merugikan keuangan negara/daerah,  sesuai dengan PP nomor 27 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP 28 tahun 2020, Permendagri nomor 19 tahun 2016 maupun undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.

"Betul. Sepanjang peraturan itu belum diubah, tentu Pemkot Surabaya tidak bisa melepaskan IPT itu tanpa ganti rugi," pungkasnya. sem

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU