Berunding sejak Bambang DH, tapi Selalu Berakhir tanpa Hasil

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 27 Okt 2021 20:57 WIB

Berunding sejak Bambang DH, tapi Selalu Berakhir tanpa Hasil

i

Bambang DH dan Tri Rismawati. Keduanya juga gagal menyelesaikan polemik Surat Ijo saat menjabat jadi Walikota Surabaya.

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya- Polemik kasus Surat Ijo di Kota Surabaya belum menemui titik final sejak tahun 1997 hingga 2021. Surat Ijo merupakan dokumen warga yang menempati tanah Pemerintah Kota dengan status Hak Penggunaan Lahan (HPL). Warga pemegang surat tersebut tiap 1 objek tanah, selain membayar PBB, diwajibkan membayar Retribusi Surat Ijo.

Berdasarkan penelusuran Surabayapagi, semenjak awal era reformasi hingga kini, timbul komitmen dan rencana pelepasan tanah surat ijo oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada warga penghuni. Misalnya yang dilakukan oleh Walikota Bambang D.H yang  pada 2007 sempat melakukan konsultasi kepada Ketua BPN kala itu, Joyo Winoto.

Baca Juga: Dewan Minta Pemkot Surabaya Serius Tangani Pengelolaan Sampah TPA Benowo 

Hasilnya, yakni perlunya ditetapkan beberapa syarat tentang tanah yang boleh dilepaskan, seperti hanya tanah yang digunakan sebagai hunian, maksimal luasnya 200 m², dan letaknya berada di jalan yang lebar maksimal lima meter.

Namun, komitmen itu belum terlaksana akibat masih menunggu hasil putusan Pengadilan Negeri Surabaya pada 2007 atas gugatan warga. Isu pelepasan tanah surat ijo sebagai komoditas politik oleh para politisi, seperti calon walikota, calon DPR Pusat, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota Surabaya.

Misalnya, di dalam pemilu 2009 ada beberapa caleg DPR-RI yang terpilih dari Dapil I Jawa Timur akibat menjanjikan bisa mengegolkan pelepasan tanah surat ijo. Juga, dalam pemilihan walikota Surabaya 2010, semua kandidat menjanjikan hal yang sama, termasuk walikota yang

Baca Juga: Pemkot Surabaya Kebut Pengerjaan Estetika Kota Lama 

berhasil terpilih saat itu, Tri Rismaharini. Sebagai konsekuensi atas janji kampanye itu, terjadi unjuk rasa warga pada hari Rabu 7 November 2012 yang menagih janji pelepasan tanah surat ijo pada walikota di depan balai kota.

Sebenarnya pada tahun 2011 sudah mulai disusun naskah akademik pelepasan tanah surat ijo oleh tim khusus pelepasan yang dibentuk oleh walikota Surabaya. Sesuai dengan arahan walikota kepada tim, upaya pelepasan hendaknya dilakukan secara ekstra hati-hati di dalam merumuskan rancangan

peraturan daerah (raperda) pelepasan tanah surat ijo, karena masing-masing kawasan tanah surat ijo memiliki riwayat yang berbeda. Maksudnya yakni, suatu kawasan tanah surat ijo memiliki riwayat yang berbeda dengan kawasan tanah surat ijo lainnya. Ada yang bekas tanah eigendom, ada bekas tanah hak opstal, ada bekas tanah hak erfpacht atas nama gemeente atau pun milik swasta,agar di kelak kemudian hari tidak timbul konflik/sengketa baru.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Usulkan SERR ke Pusat

Berdasarkan hal itu, nampaknya di dalam kerangka pelepasan itu perlu ditelusuri aspek sejarah tanah per kawasan terlebih dahulu, agar tidak salah dalam pelaksanaan pelepasan, termasuk mana saja kawasan yang bisa dilepas dan yang tidak. Namun, di dalam kenyataannya, ketentuan di dalam Perda No. 16 Tahun 2014 itu tidak mengatur hal itu, seluruh tanah surat ijo di semua kawasan disamaratakan posisinya. Luas tanah surat ijo yang akan dilepas itu sesuai luas yang ada di daftar tanah asset tahun 2008, yakni 14.256.933,75 m².

 Tarik ulur soal besaran kompensasi atas pelepasan tanah surat ijo dalam perundingan antara Pemkot Surabaya, DPRD Kota Surabaya, dan warga penghuni selalu berakhir tanpa hasil. ana/rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU