Bidik Orang Miskin, Risma 'Akali' Irjen Purn MA

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 11 Nov 2020 21:39 WIB

Bidik Orang Miskin, Risma 'Akali' Irjen Purn MA

i

Sorotan Wartawan Muda, Raditya Mohammar Khadaffi

 

Sorotan “Kebaikan” Risma yang Diusung Paslon Eri-Armuji (9)

Baca Juga: Pemkot Surabaya Kebut Pengerjaan Estetika Kota Lama 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Jelang pencoblosan 9 Desember 2020, saya dengar masing-masing tim sukses  sedang melakukan maping calon pemilih potensial di Surabaya.

Dalam pilkada serentak 2020 ini, di Surabaya terdaftar 2.089.027 orang daftar pemilih tetap (DPT), Rinciannya tercatat pemilih laki-laki 1.016.395 dan pemilih perempuan 1.072.632,”  Berapa jumlah wong cilik?

Nah, sejak tahun 2019,  Wali Kota Surabaya, Bu Risma, tampak sekali mendata wong cilik di Surabaya. Langkah ini secara politik, ia tampaknya mencermati sejarah pemilu dan orang miskin di Indonesia? Apalagi Bu Risma, kini sudah menjadi kader PDIP.

Bu Risma, menurut penilaian saya bisa jadi tidak menyepelekan peran “wong cilik” dalam pilkada serentak 2020 kali ini. Mengingat, PDIP sejak pemilu awal orde Reformasi tahun 1999, mendapat sokongan luar biasa besar dari berbagai kelompok masyarakat terutama “wong cilik”. Pemilih wong cilik menyokong pemenangan PDIP dalam pemilu 1999 lalu.

Nah kini, hasil penelusuran saya, jumlah penduduk miskin pada tahun 2018 di Kota Surabaya  berkurang hampir 14 ribu orang lebih menjadi hampir mencapai 141 ribu orang (4,88 persen) dibanding kondisi tahun 2017 yang hampir mencapai 155 ribu orang (5,39 persen).

Secara statistik,  penurunan persentase penduduk miskin Kota Surabaya ini dianggap berada pada fase melandai.

Para ekonom menilai indikator data orang miskin tahun 2018 itu menjadi salah satu indikasi bahwa kemungkinan sebagian besar wong cilik yang masih berada di bawah garis kemiskinan adalah mereka yang masuk ke dalam kategori kemiskinan kronis (chronic poverty) atau ada pula yang menyatakannya sebagai hardcore poverty.

Tetapi sejumlah ekonom di Surabaya yang saya hubungi mengatakan data ini perlu kajian lebih mendalam lagi. Terutama ditinjau dari sifat kemiskinan yang begitu dinamis terutama pada kelompok yang berada di sekitar garis kemiskinan yaitu  mereka yang hampir mencapai garis kemiskinan maupun yang sedikit berada di atas garis kemiskinan.

Mengapa demikian? dalam kajian orang-orang ekonom, kelompok ini sangat rentan untuk mengubah komposisi penduduk miskin. Artinya, penduduk yang sebelumnya di bawah garis kemiskinan kemudian karena perekonomiannya sedikit membaik bisa terangkat ke atas garis kemiskinan ada periode berikutnya. Namun, begitu sebaliknya, pada saat pandemi corona, mereka yang sedikit di atas garis kemiskinan pada periode sebelumnya akan turun ke bawah garis kemiskinan. Ini karena perekonomian di Indonesia sejak Maret 2020 sedikit terguncang.

 

***

 

Data yang saya peroleh dari Pemkot Surabaya, warga berpenghasilan rendah (MBR)  per April 2019 mencapai 700 ribu warga.

Empat bulan kemudian tepatnya pada bulan Agustus 2019, saya mendapat data jumlah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) Surabaya, diperkirakan masih tetap 700 ribu keluarga. Jumlah ini tertuang dalam keputusan Wali Kota Surabaya. Kabarnya jumlah MBR ini berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Ketua DPRD Surabaya yang juga ketua DPC PDIP Surabaya, mas Adi Sutarwijono, saat itu mengatakan Bu Risma akhirnya membuat program-program sosial diantaranya permakanan.

Dengan kekuatan belanja APBD Kota Surabaya tahun 2020 sebesar Rp 10,3 triliun, sekitar Rp 140 miliar akan digunakan untuk kegiatan permakanan.

Sasaran kegiatan permakanan adalah warga pra-lansia dan lansia kategori tidak mampu, warga terlantar, dan anak-anak yatim piatu. Dana Rp 140 miliar ini untuk menyasar 30.865 jiwa warga Surabaya.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyebutkan bahwa setiap hari, Pemerintah Kota Surabaya memberi makan 35.414 warga. Pemberian makanan itu gratis, tanpa dipungut biaya.

Menurut Bu Risma, sebanyak 35.000 orang itu terdiri dari warga berpenghasilan rendah.

Kemudian, anak yatim piatu, penyandang disabilitas hingga penderita penyakit seperti tubercolosis (TBC), kanker dan HIV AIDS.

Makanan gratis tersebut disajikan dalam bentuk nasi kotak yang lengkap dengan lauk pauk, sayur dan buah.

Bu Risma mengatakan, pembagian nasi kotak tersebut menggunakan tenaga para relawan. Beberapa yang ikut membantu berasal dari organisasi masyarakat.

Baca Juga: Imigrasi I Surabaya Berhasil Terbitkan Hampir 10 Ribu Paspor

Diharapkan dengan semakin dekatnya perangkat pemerintah yang turun langsung menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah, program ini akan kian tepat sasaran dan manfaatnya benar bisa dirasakan.

Uniknya, Kepala Bappeko Surabaya Eri Cahyadi, ikut cawe-cawe. Padahal job orang miskin domain Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan.

Tahun 2019 sejumlah pejabat rasan-rasan, penonjolan Eri Cahyadi oleh Bu Risma, dalam program nasi kotak untuk orang miskin, karena Eri yang akan dijagokan Bu Risma maju dalam Pilkada 2020, dan bukan Wakil Wali Kota Whisnu Sakti.

Makanya pada Kamis (18/12/2019), sudah kluruk bilang bakal ada Perwali urus orang miskin awal tahun 2020 mendatang.

Jelang terbitnya Perwali, Eri sudah bilang telah melakukan updating data di tingkat kelurahan dan kecamatan terkait permakanan.

Lho kok bisa updating data orang miskin ditangani Eri.

Menariknya Eri menjamin jika adapun satu warga tidak masuk catatan penerima program permakanan, warga miskin mereka bisa mengajukan langsung kepada kelurahan.

Kebijakan wali kota Surabaya ini dituangkan dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 58 Tahun 2019.

Perwali ini membidik MBR yang tercatat 665.882 jiwa. Jumlah orang miskin ini terdiri atas sebanyak 202.572 KK (kartu keluarga).

Data terakhir yang masuk ke Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya sampai awal 2020 jumlah masyarakat berstatus masyarakat berpenghasilan rendah ( MBR masih berada di angka 700 ribuan. Angka itu tentu tidak sedikit. Sebab, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Kota Surabaya, angka kemiskinan masih mencapai 20 persen lebih.

Itu merupakan angka yang lumayan tinggi. Sebab, keberhasilan daerah menekan angka kemiskinan jika jumlah warga miskin berada di bawah 10 persen.

Dikuar program permakanan juga dicanangkan program tidak layak huni. Ini terkait program perbaikan rumah tidak layak huni. Program ini baru diluncurkan tahun 2020. Setiap rumah dianggarkan Rp 30 juta untuk 154 kelurahan.

Salah satu program penanggulangan kemiskinan ini adalah memperbaiki rumah yang tidak layak huni. Pertanyaannya mengapa baru diagendakan tahun 2019 dan direalisasi tahun 2020, menjelang pilkada serentak 2020. ?Adakah ini strategi politik wali kota Surabaya Bu Risma? Apakah strategi politik ini cara persuasive politik uang menjelang pilkada 2020?

Baca Juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum

 

***

Saya nilai apa yang dilakukan Bu Wali Kota, ini strategi politik menyiapkan Eri Cahyadi, bisa raup suara orang miskin sekitar 600-700 ribu.

Dan tampaknya strategi politik yang dilakukan Bu Risma, mengingatkan saya pada strategi politik yang pernah dilakukan oleh Harmoko, Ketua Umum Golkar periode 1992-1997.

Pada tahun itu (kurang lebih saya masih duduk di bangku SMA), Harmoko, saya memantau di beberapa pemberitaan, beliau sangat berhasil menggalang orang-orang miskin karena sepanjang masa kepemimpinannya di Golkar, terutama pada bulan puasa, ia melakukan safari Ramadan di berbagai daerah terutama di pulau Jawa.

Ia mengusung jargon “wong cilik” dengan mendatangi mereka dan memberi bantuan uang dan makanan ketika menyambut hari raya Idul Fitri.

Hasilnya, dalam pemilu 1997, Golkar berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang sangat besar yaitu sebesar 76.47 persen atau 325 kursi di parlemen nasional (DPR RI) dari 425 kursi yang dipertandingkan dalam pemilu 1997.

Demikian juga halnya pemilu di awal Orde Reformasi, dalam iklim politik yang terbuka, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah pimpinan Megawati Sukarnoputri, telah mempopulerkan PDI-P sebagai partainya “wong cilik”. PDI-P juga dikemas dan diiklankan sebagai partai yang teraniaya di era Orde Baru. Oleh karena itu, dalam pemilu 1999, PDI-P mendapat sokongan luar biasa besar dari berbagai kelompok masyarakat terutama “wong cilik”.

Apakah Bu Risma, kini, mencermati sejarah pemilu dan orang miskin yang dilakukan Golkar dan PDIP? Apalagi kini Bu Risma, sudah menjadi kader PDIP. Ia bisa jadi tidak menyepelekan peran ‘’wong cilik’’ dalam pilkada kali ini. Mengingat, PDIP sejak pemilu awal orde Reformasi pada tahun 1999, mendapat sokongan luar biasa besar dari l kelompok ‘’wong cilik’’.

Inikah kewenangan dalam suatu pemerintahan yang dimiliki seorang incumbent dalam menghadapi kontestasi politik.

Mapingnya, dengan sudah merangkul wong cilik Surabaya yang jumlahnya 700 ribu, ini berarti paslon Eri-Armuji sudah bisa diprediksi merangkul 30-40 persen? Dalam kampanye saat ini ‘’incumbent’’ Bu Risma tinggal mencari 12-15% saja. Ini artinya paslon 01, minimal sudah bisa meraih 52 persen. Praktik semacam ini adalah strategi politik mencuri start dari Eri-Armuji. Mencuri start menggunakan kewenangan politik sebagai incumbent.

Bu Risma bisa dituding mengakali paslon MA-Mujiaman. Makanya untuk fair play, keadilan dan kebenaran, paslon 02, menurut saya, saatnya mempersoalkan cara seperti itu yang layak dianggap curang.

Yang utama tim sukses MA. Ada apa wali kota Surabaya, Bu Risma, menggarap pemilih wong cilik akhir 2019 dan mengapa yang dikedepannya, ketua Bappeko Eri Cahyadi. Inikah kebaikan Risma? ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU