Bos Sekolah SPI Julianto Eka Putra, Dihukum 144 Bulan Penjara

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 07 Sep 2022 20:53 WIB

Bos Sekolah SPI Julianto Eka Putra, Dihukum 144 Bulan Penjara

i

Julianto Eka Putra saat dijebloskan ke Rutan Lowokwaru, Malang.

Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual pada Siswanya

 

Baca Juga: Bejat, Ayah Kandung di Sidoarjo Cabuli Anaknya Sendiri yang Masih Berusia 3,5 Tahun

SURABAYAPAGI.COM, Malang - Bos Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Julianto Eka Putra alias JE divonis penjara 12 tahun atau . JE terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual hingga pemerkosaan pada siswanya.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Julianto Eka Putra Alias Ko Jul berupa Pidana Penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Majelis Hakim Herlina Rayes, Rabu (7/9/2022).

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan yang sebelumnya 15 tahun. Sedangkan untuk dendanya sama. Sebelumnya, JE dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider 6 bulan, dan tuntutan membayar restitusi atau uang ganti rugi kepada korban sebesar Rp 44 juta.

Tuntutan jaksa tersebut sesuai dengan Pasal 81 ayat 2 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Alasan yang mendasari tuntutan tersebut adalah ditemukannya unsur bujuk rayu melakukan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan terdakwa.

Sidang dimulai pukul 10.03 WIB di Pengadilan Negeri (PN) Malang, tepatnya di ruang sidang cakra. Dalam sidang ke-25 ini, JE dihadirkan secara visual. JE mengikuti sidang secara online. Sedangkan sidang berlangsung secara terbuka dan umum.

Pada kesempatan ini, hadir empat kuasa hukum JE, yakni Hotma Sitompul, Dito Sitompul, Jeffry Simatupang dan Piliphus Sitepu. Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hadir yaitu Edi Sutomo dan Yogi Sudarsono.

Meski hasil vonis lebih rendah 3 tahun dari tuntutan jaksa, namun hak tersebut tak lantas membuat JPU kecewa. "Kita tidak kecewa, majelis hakim sudah menentukan putusan berdasarkan pertimbangan, dari kedua belah pihak harus menghormati dan menghargai putusannya," ujar salah satu JPU, Yogi Sudarsono di PN Malang, Rabu (7/9/2022).

Meski tak kecewa, JPU tak langsung menerima putusan tersebut. Pihaknya memilih meminta waktu berfikir apakah menyetujui putusan Majelis Hakim atau mengajukan banding.

Namun, saat ditanya mengapa memilih untuk pikir-pikir terlebih dahulu, Yogi enggan menyampaikan alasannya. Ia memilih untuk mempelajari putusan majelis hakim terlebih dahulu.

 

Terdakwa JE, Banding

Baca Juga: Fun Fact: Gabriel Prince Akui Jadi Korban Pelecehan Ibu-ibu, Celana Mau Dipelorotin

Sementara itu, Julianto Eka Putra bersama tim kuasa hukumnya akan melakukan banding. Terlebih dia (terdakwa) belum bisa disebut bersalah karena ada tahapan banding pasca vonis. "Kita menghormati keputusan majelis hakim, tapi selama belum ada putusan banding hingga tingkat MA. Klien saya tidak bersalah, permohonan banding sudah kita lakukan," ujar kuasa hukum, Hotma Sitompul usai sidang, Rabu (7/9/2022).

Untuk itu dirinya berpesan siapa pun jangan sampai menuduh kliennya bersalah atau mempengaruhi opini publik atas putusan di tingkat PN Malang.

"Karena kita banding, maka putusan PN tidak punya kekuatan hukum tetap. Ada 10 saksi yang kami hadirkan, tapi dikesampingkan. Pertimbangan yang masuk akal akan dilampirkan melalui memori banding," pesannya.

Di tempat yang sama, kuasa hukum JEP lainnya, Jeffry Simatupang menegaskan ada 10 poin kejanggalan selama kasus SPI baik sejak pertama laporan sampai sidang putusan kali ini. "Pertama, kasus tersebut dilaporkan setelah 12 tahun berlalu. Selama pelapor masih ada di SPI kenapa kok tidak kejadian hal-hal ini," keluhnya.

Kedua tidak ada bukti nyata dalam persidangan. Sejauh ini sekadar cerita-cerita, apalagi para saksi menyatakan kejadian yang dituduhkan tak pernah terjadi. "Ketiga, pelapor terlihat bahagia selama sekolah dan bekerja. Poin keempat, pelapor justru banyak merekomendasikan temannya masuk ke SPI," ujarnya.

Kelima, para korban yang katanya puluhan orang terus berkurang dan hanya menyisakan hingga akhirnya hanya 1 orang. Lalu, keenam, pelapor melamar kerja ke SPI selepas lulus sekolah. Pelapor bahkan bekerja di SPI selama 10 tahun.  "Itukan cukup aneh, karena korban sebelumnya mengaku menjadi korban saat masih menjadi pelajar di SMA SPI," tuturnya.

Baca Juga: Pelecehan Miss Universe Indonesia, Polisi Akan Panggil Tersangka Pekan Depan

Ketujuh, visum keperawanan yang menjadi barang bukti. Pasalnya, dua pekan sebelum pelaporan, pelapor dan pacarnya menginap di hotel secara berpindah-pindah. Kedelapan ialah SPI memberikan kebebasan kepada para pelajarnya untuk bisa keluar dan pulang ke rumah masing-masing.

"Padahal sebetulnya sangat mudah sekali untuk kabur dari SPI, namun hal itu tidak pernah terjadi. Apalagi SPI adalah lembaga pendidikan yang terpandang di Kota Batu. Banyak kegiatan kelembagaan yang berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk di antaranya adalah lembaga penegak hukum. Kenapa setelah 12 tahun berlalu baru melapor," ungkapnya.

 

Putusan yang Adil

Terpisah, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menganggap keputusan yang diambil majelis hakim adalah pilihan paling adil. Tentu putusan ini juga akan menjadi kabar bahagia bagi korban. "Ini peristiwa sungguh-sungguh di mana kejahatan seksual yang sekalipun sudah berlangsung 10 tahun, tetapi majelis hakim bisa memutuskan memeriksa perkara ini secara adil dan itulah suara kebenaran dan keadilan," ujarnya kepada awak media di PN Malang, Rabu (7/9/2022).

Arist mengaku bersyukur dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah menyusun secara detail kronologi dari kasus yang dialami korban. mal/ham/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU