Bu Risma Perlu Jawab, tak Pernah Beri Kontribusi ke Ranting-ranting

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 29 Nov 2020 21:54 WIB

Bu Risma Perlu Jawab, tak Pernah Beri Kontribusi ke Ranting-ranting

i

Jurnalis Muda, Raditya M Khadaffi

 

Fenomena Munculnya Banteng Ketaton

Baca Juga: Adventure Land Romokalisari Surabaya Ramai Peminat Wisatawan Luar Kota

 

 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Era keterbukaan seperti sekarang, suka atau tidak, kita tidak bisa slintat-slintut. Apalagi terkait urusan kontribusi pejabat pada urusan publik.

Layanan kepada partai politik ini bagian dari wilayah publik. Maklum partai politik dimiliki oleh kader dan anggota partai. Bukan elit partai yang jumlahnya segelintir.

Artinya, PDI Perjuangan bisa punya basis massa di Surabaya seperti hari ini bukan semata figur Megawati Soekarno Putri. Apalagi pengaruh Tri  Rismaharini.

Disadari atau tidak, penguatan institusi PDIP di Surabaya adalah penguatan basis yaitu jaringan pengurus DPC sampai ke ranting-ranting. Kesadaran ini penting karena dalam membangun infrastruktur partai politik sampai tingkat grassroot di RT dan RW se Surabaya adalah pekerjaan bersama, Ketua DPC bersama ketua PAC.

Maka itu, bu Risma, tak bisa mengklaim dirinya adalah kader PDIP yang berjasa di Surabaya?

Sebagai jurnalis muda, saya sependapat dengan dosen UI mengajak terus publik yang mau berpikir menggunakan logika. Saya termasuk jurnalis yang selalu memakai logika saat berpikir. Logika saya mengatakan adalah wajar, massa, entah itu kader PDIP yang punya KTA atau simpatisan saja, saat ini beramai-ramai menggugat kontribusi Risma pada pembesaran partai bergambar moncong putih di Surabaya.

Berbeda dengan pak Bambang DH dan mas Whisnu Sakti Buana. Dua pria ini tanpa ditelusuri jejak rekamnya, publik Surabaya yang telah menjadi simpatisan PDIP tahu pak Bambang DH dan mas Whisnu, memang tokoh PDIP yang punya basis di tingkat grassroot.

Maka itu, saya terkesima saat publik yang menamakan diri warga “Banteng Ketaton” menyebut bu Risma, bagian dari oligarki di Surabaya.

Apa oligarki itu? Apakah seorang ibu Risma yang dua kali menjadi wali kota Surabaya bisa membangun dan memperkuat oligarki lokal?

Menurut Profesor Jeffrey Winters, Oligarki adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang. Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Bahkan Aristoteles, yang hidup sebelum Prof Winter mengatakan oligarki, adalah ‘kekuasaan oleh segelintir orang. Praktik oligarkhi dianggap sebuah manifestasi pemerintahan yang buruk. Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, dan biasanya beranggotakan kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkan.

Nah, apa benar bu Risma, membangun pemerintahan di kota Surabaya, menggunakan sistem oligarki?

Menurut logika saya, saatnya dibuka dialog antara publik yang tergabung dalam Banteng Ketaton dengan struktur di DPC PDIP dan bu Risma. Bila perlu melibatkan kelompok pemikir dari kampus negeri dan swasta yang ada di Surabaya.

 

***

 

Sebagai jurnalis muda saya tidak hanya memiliki grup WA wartawan, tapi juga berbagai komunitas kampus sampai komunitas heterogen di Surabaya seperti komunitas “Rek ayo Rek”.

Viral video yang disuarakan Banteng Ketaton di sebuah gedung yang halaman depannya berwarna merah, jelas suara dan nama yang bicara. Bu Risma selama dua periode menjabat wali kota tidak memberi kontribusi ke ranting ranting PDIP se Surabaya.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Gelar Halal Bihalal

Juga disinggung praktik oligarki. Saya tanya ke beberapa teman, video ini viral kemana-mana.

Pertanyaannya, apakah bu Risma, tidak dirugikan dengan video yang viral WA grup dan di media sosial?.

Pasalnya, dalam video tersebut terucap nama Bu Risma?. Bila saya kutip dari video viral di media sosial itu, terlihat Mat Mochtar dan beberapa orang dari menyanyikan plesetan lagu ‘menanam jagung’ ciptaan Ibu Sud.

Reff tersebut diubah liriknya dengan kata-kata ingin menghancurkan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. “Hancur, hancur, hancurkan Risma, hancurkan Risma sekarang juga. Hancur, hancur, hancurkan Risma, hancurkan Risma sekarang juga,” teriak pendukung paslon itu bersama Mat Mochtar.

Dalam video tersebut, juga terlihat Mat Mochtar, kader senior PDI Perjuangan yang telah dipecat DPP PDI Perjuangan, karena tidak patuh terhadap keputusan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri.

Mengenakan baju batik warna cokelat dan peci hitam, Mat Mochtar juga terlihat ikut menyanyikan lagu ‘Hancurkan Risma Sekarang Juga’ sembari mengacungkan dua jarinya.

Nah, dalam video itu, saya anggap bahwa video itu sudah masuk ke dalam ranah fitnah. Ini bila pernyataan tersebut tidak benar.

Makanya bu Risma perlu menjawab. Bila bu Risma tidak menggunakan hak jawabnya, pernyataan dalam video itu benar yaitu Bu Risma tak pernah memberi kontribusi ke ranting-ranting PDIP di Surabaya.

Saya pikir bu Risma, politisi dan pejabat publik juga. Ia pasti tahu kode etik dan koridornya. Demikian pria berkaos hitam yang berbicara dalam video. Logika saya tidak mungkin dia melanggar aturan yang sudah ditetapkan.

Bila tidak ada penjelasan dari bu Risma, warga kota Surabaya yang menggunakan nalar bisa lebih jeli dan peka lagi untuk menimbang pilihannya pada tanggal 9 Desember, untuk tidak memilih paslon sorongan bu Risma.

Apalagi di musim politik seperti saat ini, bisa ada berita hoaks dan beneran.

Bagi jurnalis, berita gak benar itu fitnah. Pertanyaan seriusnya, apakah video viral dari “Banteng Ketaton” itu fakta atau kebohongan? Bila bohong itu dapat merugikan bu Risma.

Baca Juga: Dispendik Surabaya Pastikan Pramuka Tetap Berjalan

Sebaliknya, bila benar, membuka kedok bu Risma, yang selama dua periode menjadi wali kota Surabaya, tidak mensejahterakan kader kader PDIP di ranting-ranting. Adalah masuk akal kader-kader itu menggeliat bak banteng kataton.

Kisah banteng ketaton ini mirip banteng moncong putih saat orba. Saat itu lambang PDI, berupa kepala banteng seperti gambar di garuda Pancasila. Nah, ketika PDI dikuyo-kuyo, banteng-banteng yang berseberangan dengan PDI-nya Suryadi, membuat barisan sendiri dengan logo banteng moncong putih. Sejarah yang saya baca, Ir. Soetjipto (Alm) ayah mas Jagad Hariseno dan mas Whisnu, ikut mengelola banteng moncong putih.

Kini, di Surabaya, saat anak tokoh PDIP Ir. Soetjipto didholimin, muncul Banteng Ketaton.

Dalam kisah jawa, saya pernah membaca pada suatu di padang rumput hijau di kawasan Mojokerto, ada banteng bersama kelompoknya santai sambil menikmati makanan rumput. Ada Banteng yang tidur-tiduran sambil mengawasi anggota kelompoknya.

Mendadak, muncul dari semak-semak harimau dan langsung menerkam banteng yang sedang santai. Saat itu sasaran serangan harimau yang dipilih leher (tenggorokan/ kerongkongan) dan kepala. Sang banteng tidak bisa menghindar dan mengalah lagi.

Banteng dalam keadaan kesakitan. Ia amat sangat mengalami kesakitan, ya sakit fisiknya sakit perasaannya. Tenaga bantengnya muncul, sang harimau dilempar Sang Banteng mengamuk, menerjang, menyerang siapa saja dan apa saja yang dianggap sebagai lawannya.

Inilah yang disebut dengan Banteng Ketaton. Ia tidak takut siapapun dan apapun. Inilah yang mendasari Bung Karno, menancapkan Kepala Banteng pada dada Garuda Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai salah satu simbul bangsa Indonesia: Lamban panas, senang mengalah, tapi kalau sudah kesakitan (sakit martabatnya, sakit fisiknya) akan mengamuk ibarat (lir kadyo) Banteng Ketaton.

Bisa jadi ada sejumlah kader-kader PDIP Surabaya sakit segalanya atas tidak direkomendasikan Whisnu Sakti Buana, mantan Ketua DPC PDIP Surabaya, menjadi cawali Surabaya. Ketum PDIP Megawati, malah merekom birokrat non kader PDIP, Eri Cahyadi. Ironisnya, Eri gaconya wali kota Risma.

Dalam Kesenian Bantengan di Dusun Biting Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, ada atraksi Bantengan. Dalam atraksi ini sampai ada adegan Bantengan Ketaton. Saat atraksi ini dilakonkan hampir semua pemain menjadi trans (kesurupan). Artinya salah satu dari dua orang pemain Bantengan kesurupan, cirinya tanduk dari kepala banteng itu ditancapkan ketanah.

Setelah banteng ketaton berhasil menaklukkan harimau sang pengganggu, banteng-banteng itu mulai tenang. Kisahnya satu persatu para pemain yang trans (kesurupan/ndadi) itu disadarkan oleh para pawang. Disini cambuk sudah tidak boleh dicambukkan lagi, sebab bunyi cambuk atau bahasa Jawanya Pecut memberikan sugesti kepada para pemain untuk trans (ndadi).

Saya melukiskan banteng ketaton yang dimunculkan saat Pilkada serentak 2020 di Surabaya, bisa mirip atraksi di Mojokerto tempo dulu. ([email protected]).

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU