Djoko Tjandra, Berstatus Buron Bisa 'Perdaya' Dua Jenderal Polisi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 16 Jul 2020 22:15 WIB

Djoko Tjandra, Berstatus Buron Bisa 'Perdaya' Dua Jenderal Polisi

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Drs. Idham Azis, M.Si. (1)

 

Baca Juga: Buron Harun Masiku, Berpeluang Disidang In Absentia

 Djoko Tjandra, pengusaha Indonesia tahun 2000an, telah dinyatakan sebagai DPO. Tetapi sejak Juni 2020 lalu, Djoko Tjandra, yang telah menjadi Warga Negara Papua, bisa muncul di Indonesia dengan amat mudah, termasuk urus KTP di Jakarta. Kemudahan demi kemudahan yang diperoleh buron kelas 1 ini, membawa Indonesia negeri anta beranta atau negeri dongeng?. Sampai Kamis kemarin (16/07) telah dua jenderal Polisi diseret-seret terkait kemunculan buron Rp 940 miliar. Djoko datang di Jakarta, setelah hampir 11 tahun menghilang. Kedatangannya di Indonesia untuk ajukan PK atas kasusnya. Hal yang tak bisa diterima akal sehat, keberadaannya tak terendus aparat hukum Indonesia. Beginikah kehebatan orang berduit sekelas Djoko Tjandra?. Wartawan hukum senior harian Surabaya Pagi, Dr. H. Tatang Istiawan, akan menurunkan analisis hukumnya berdasarkan database dan informasi yang digali dari Mabes Polri,  Kejaksaan Agung dan DPR-RI. Berikut catatan pertama dari dua catatan hukumnya.

  

Pak Presiden dan Kapolri Yth,

Sampai anak SD saja sudah diajarkan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum. Pertanyaan besar dalam kasus buron Djoko Tjandra, kok bisa pria ini leluasa masuk ke Indonesia, padahal masuk dalam DPO Kejaksaan Agung.

Ini mengusik akal sehat saya. Terutama dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan kita yang mengatur urusan – urusan kenegaraan. Sampai hasil amandemen, telah ada beberapa lembaga tinggi negara seperti Majelis Permusyawarahan Rahkyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan lembaga kepresidenan. Polri berada di lembaga kepresidenan, demikian juga Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi kantor Imigrasi.

Djoko Tjandra, pernah ditahan  Kejaksaan Agung, mulai 14 Januari-10 Februari 2000, dalam kasus dugaan korupsi Rp 640 miliar. Djoko, pada tanggal 10 Februari 2020 ditahan kota atas ketetapan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan.

Dan pada tanggal 6 Maret, Djoko dilepas, berdasarkan putusan sela PN Jakarta Selatan. Pengadilan menilai surat dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima.

 Kasusnya terjadi saat Djoko sebagai Direktur dari PT Era Giat Prima (EGP) menjalin perjanjian cessie Bank Bali ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).  Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli mau menjalin kerja sama dengan PT EGP. Maklum, di PT EGP, ada Setya Novanto yang kala itu sebagai Bendahara Umum Partai Golkar menjabat sebagai Direktur Utama-nya. Saat itu kedudukan politik Setnov, singkatan Setyo Novanto adalah Bendahara Umum Partai Golkar. Kala itu partai Golkar dan Setnov, memiliki jaringan luas di elite pemerintahan. Termasuk otoritas keuangan.

Perjanjian cassie diteken pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto.

Dalam perjanjian itu dinyatakan PT EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang dapat ditagih. Kejaksaan Agung menilai kasus ini merupakan kasus korupsi Bank Bali .

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum  menyatakan Direktur PT EGP melakukan tindakan pidana korupsi tentang pencairan tagihan Bank Bali yang merugikan negara sebesar Rp 940 miliar. Proses perjanjian ini juga dihadiri tokoh politik saat itu AA Baramuli di Hotel Mulia. Bahkan Baramuli, memimpin pertemuan.

Proses hukum di tingkat Mahkamah Agung dinilai Jaksa ada kekeliruan dimana MA menjatuhkan putusan yang berbeda kepada tiga terdakwa kasus cassie Bank Bali tersebut. Padahal  mereka terlibat yaitu DJoko, Pande, dan Syahril Shabirin (Bank Indonesia).

Hingga akhirnya pada Juni 2009, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin, masing -- masing dengan pidana selama dua tahun.  Namun Djoko Tjandra, terus mangkir untuk diadili dan akhirnya dinyatakan sebagai DPO.

Konon, ia kabur sehari sebelum putusan PK yaitu pada tanggal 10 Juni 2009. Saat itu, Djoko berhasil melarikan diri dengan menggunakan pesawat carter ke Port Moresby, Papua Nugini. Baru pada tahun 2012, pemerintahan Papua Nugini memberikan status kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra.

Hal yang menjadi sorotan publik adalah bagaimana DPO kasus besar ini bisa sampai lolos hingga 10 tahun lamanya?. Bahkan Djoko, sempat membuat e-KTP di DKI Jakarta, dengan mudahnya.

Selain itu Djoko Tjandra selama menjadi DPO, nebas mengelola bisnis property di Singapura. Bahkan menjadi investor pembangunan Signature Tower di Distrik Tun Razak Exchange (TRE).

Selain itu, Bos Mulia Group ini juga dapat berganti kewarganegaraan dengan mudah, yaitu warga negara Papua Nugini hingga akhirnya dia mengajukan PK ke Pengadilan Negeri.

Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman pernah menyebut Djoko Tjandra dengan nama "Joker".

Bulan Juni 2020 lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku kecolongan oleh Djoko Tjandra. Sebab, ia mendapat informasi bahwa Djoko Tjandra sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.

Konon, Djoko Tjandra, selama buronan kerap berada di Malaysia atau Singapura.

Hal yang mencengangkan untuk ukuran Negara hukum seperti Indonesia, ternyata Djoko Tjandra juga telah mengajukan PK ke PN Jaksel.

Baca Juga: Dit Tipidter Bareskrim Polri Amankan Ribuan Kayu Glondongan di Lamongan

Jaksa Agung ini mengaku sakit hati dengan informasi buronannya bisa datang ke Jakarta mengajukan PK. Mengingat, selama ini Kejaksaan Agung telah berupaya untuk menangkap Djoko Tjandra, tetapi selalu kesulitan.

Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diperiksa pada tanggal 08 Juni 2020. Publik terkejut kok bisa DPO kelas 1 kasus hak tangih (cassie) Bank Bali ini dapat melenggang bebas di Indonesia sejak 3 bulan lalu. Hal ini diungkapkan langsung oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.(29/6/2020)

 

Pak Jokowi dan Kapolri Yth,

Anda berdua Insha Allah mendengar bahwa leluasanya Djoko Tjandra, berkeliaran di Jakarta hampir tiga bulan ini menjadi perdebatan di publik. Terutama antar elite partai, penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat.

Mereka terheran-heran dengan kehebatan Djoko Tjandra, yang bisa menembus kantor Imigrasi dan lolos dari penangkapan petugas Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Adalah Lembaga Swadaya Masyarakat MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia) yang membeberkan ‘’ketangguhan’’ Djoko Tjandra, bisa berada di Indonesia, dengan aman.

Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman, buron terpidana kasus Bank Bali ini, bisa ‘’sakti’’ karena mendapat surat jalan dari sebuah instansi untuk bepergian di Indonesia.

Surat ini diperoleh Boyamin, setelah ia menerima foto sebuah surat jalan Djoko Tjandra dari oknum di sebuah instansi.

Informasi dari MAKI ini, dikembangkan oleh Indonesia Police Watch (IPW). Akhirnya terendus, surat jalan itu benar yaitu dikeluarkan oleh Brigjen Prasetijo Utomo, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.

Gegara surat jalan Djoko Tjandra, Brigadir Jendral Prasetijo Utomo  sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri. Dia terbukti menandatangani surat jalan untuk Djoko Tjandra. Ini yang sementara ditemukan oleh Devisi Propam Polri sebagai melanggar etika.

Baca Juga: Buron 3 Tahun, Karyawati BPR Artha Praja Berhasil Ditangkap

Sejak Kamis kemarin (16/07) beredar surat penghapusan nama Djoko Tjandra dari red notice NCB Interpol Indonesia. Surat tersebut ditandatangani Brigjen Nugroho Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia.

Surat penghapusan ini menggunakan surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020. Satu bulan sebelum sidang PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dari rangkaian penghapusan red notice NCB Interpol Indonesia, awal Mei 2020, kemudian surat jalan Juni 2020 dan sidang PK awal Juni, orang-orang yang menggunakan akal sehat, bisa menebak peristiwa ini tidak bisa berdiri sendiri. Apalagi ini menyangkut DPO buron kelas 1 di Indonesia.

Menariknya lagi, melibatkan dua jenderal, meski yang telah dicopot baru Brigjen Prasetuji Utomo. Terhadap  Brigjen Nugroho yang mengeluarkan surat penyampaian penghapusan Interpol Red Notice Joko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi, sampai semalam masih dalam sorotan IPW, MAKI dan ICW.

Terungkap bahwa dasar pencabutan red notice  adalah surat permintaan dari Anna Boentaran tertanggal 15 April 2020. Surat ditujukan kepada NCB Interpol Indonesia.

Surat itu dikirim Anna saat Nugroho baru menjabat 12 hari sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia.

Polri yang selama ini dikenal cerdas membongkar berbagai kasus kejahatan jalanan, pencabulan sampai teroris, akankah bisa diharapkan mengungkap jaringan Djoko Tjandra, bisa mempengaruhi Brigjen Prasetijo Utomo dan meluluhkan Brigjen Nugroho Wibowo? Pertanyaan besarnya, apakah amat mudah untuk merealisasi permintaan dari swasta untuk melakukan penghapusan nama Djoko Tjandra dari red notice NCB Interpol Indonesia. Bukankah Djoko Tjandra, ini buron?

Apakah Djoko Tjandra, sedang membawa uang dari hasil kejahatan yang oleh Jaksa dinilai merugikan Negara Rp 940 miliar? Benarkah Djoko dan jejaringnya memberi suap kepada pejabat yang memberi surat jalan dan penghapusan dari red notice NCB Interpel Indonesia. Dugaan suap ini domain penyidik Bareskrim dan Propam Polri.

Publik yang berakal sehat, menurut akal sehat saya, akan minta kejelasan kasus ‘’kemudahan’’ Djoko Tjandra di dua lembaga kepolisian yaitu Bareskrim dan Interpol.

Akal sehat publik pun bisa bertanya, dengan cara apa dan bantuan siapa, Djoko Tjandra, yang berstatus buron bisa ‘’memperdaya’’ dua jenderal Polisi?. Apakah Djoko, memiliki jaringan kuat? Benarkah jaringan itu mafia hukum seperti dugaan Kompolnas?. Atau moral jenderal polisi ini yang terdegradasi? Kita tunggu hasil pengungkapan Propam Polri. Bukan tidak mungkin Bareskrim juga mengusut. Mengingat kejadian ini, secara akal sehat bukan sekedar penghapusan dan surat jalan, tetapi praktik kotor yang bisa merusak institusi Polri, Imigrasi dan Kejaksaan Agung. Mari kita tunggu tekad Anda berdua menunjukan ke publik bahwa Indonesia ‘’masih’’ Negara hukum, bukan Negara anta beranta. ([email protected], bersambung)  

 

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU