Home / Ekonomi dan Bisnis : Komposisi Utang Negara yang Sudah Rp 6.687 T (3)

Ekonom: tak Bisa Naikan Pajak untuk Bayar utang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 07 Jan 2022 20:10 WIB

Ekonom: tak Bisa Naikan Pajak untuk Bayar utang

i

Faisal Basri

Dalam laporan ketiga ini harian kita menurunkan dua ekonom nasional. Pertama, Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri. Kedua Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara.

Peneliti Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Bhima menyatakan, terlalu sederhana apabila menyebutkan pajak harus naik untuk bayar utang.

Baca Juga: Perbedaan Jokowi dan Muhaimin, Peringati Hari Kartini

“Kemampuan bayar utang pemerintah juga tidak hanya persoalan penerimaan pajak , tapi juga efektivitas belanja pemerintah produktif atau tidak. Pemerintah ga bisa kemudian bilang, pajak harus naik untuk bayar utang. Itu terlalu menyederhanakan masalah,” kata Bhima saat dihubungi oleh MNC Portal Indonesia, Rabu (1/9/2021).

Sehubungan dengan itu Alumni Faktultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM)Yogyakarta ini mengingatkan, saat ini pemerintah telah menerbitkan global bond senilai USD1 Miliar. Ini untuk mengurangi akibat utang negara atau pemerintah.

 

Jatuh Tempo 50 Tahun

“Saat kondisi pandemi Covid-19, pemerintah telah menerbitkan global bond senilai 1 miliar USD dengan jatuh tempo 50 tahun yang artinya sampai 2070 pemerintah akan meninggalkan beban utang. Apa bisa lunas? Ya belum tentu kan itu masih 2070. Beda pemerintahan,” ingat Bhima.

Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Menurut Bhima, dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, sehingga Produk Domestik Bruto nya bisa imbangi kenaikan utang.

“Tapi ini belum terjadi ya, misalnya sepanjang 2014-2021, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180%, disusul belanja barang naik 105% dan belanja pegawai 73%,” papar peraih gelar Master in Finance dari Universitas Bradford Inggris.

Sementara belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti belanja modal hanya tumbuh 68%. Bhima mengaku semakin tinggi penggunaan utang untuk hal yang konsumtif, maka beban utang naik, tapi tidak berdampak banyak bagi perekonomian.

“Pemerintah harus berkaca diri, melihat postur anggarannya sudah ideal belum dari sisi belanja? Kemudian cek juga bagaimana penggunaan dana APBN untuk pemda dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Baca Juga: Jokowi Uber China Rampungkan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya

 

Angka Luar Biasa

Sementara, ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, memperkirakan utang pemerintah pusat pada tahun 2022 ini akan mencapai Rp 8,11 kuadriliun. Ia menilai kenaikan utang tersebut merupakan angka luar biasa bila dibandingkan dengan posisi utang pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

“Ini berarti kenaikan luar biasa dibandingkan pada akhir pemerintahan SBY-JK sebesar Rp 2,61 kuadriliun atau kenaikan lebih dari tiga kali lipat,” ujar Faisal dalam situs resminya, faisalbasri.com, Rabu, 18 Agustus 2021.

Faisal menyebut naiknya utang pemerintah dipicu oleh pengeluaran yang lebih cepat daripada penerimaan perpajakan.

Bahkan selama sekitar sembilan tahun terakhir, Faisal mencatat kenaikan penerimaan dari perpajakan berjalan lebih lambat ketimbang pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Apple akan Bangun Akademi Developer di Surabaya

Faisal menduga salah satu penyebabnya adalah adanya obral fasilitas pajak demi menggenjot investasi. Di sisi lain, pemerintah juga tidak berupaya menurunkan incremental capital-output ratio atau rasio modal-output tambahan yang pada era Jokowi 50 persen lebih tinggi dari era Orde Baru.

Faisal juga menyoroti, pada saat yang sama, pemerintah juga dinilai tidak bisa menjaga stabilitas. Hal itu tampak dari penurunan indeks demokrasi. Faisal menduga utang negara bisa semakin bertambah jika pertumbuhan ekonomi tahun 2022 ini tak mencapai target. Bahkan sejalan dengan itu, ruang fiskal akan semakin sempit, karena pemerintah dibebani kewajiban membayar bunga utang.

Faisal menyebutkan pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab utang pemerintah membengkak. Namun, dia menilai, pemerintah seharusnya bisa menangani Covid-19 dengan lebih baik agar ongkos pemulihannya tidak semakin mahal.

“Gara-gara kerap mengutik-utik istilah untuk menghindari lockdown sebelum menyebar ke seantero negeri, kepemimpinan yang dan pengorganisasian yang buruk, berbagai penyangkalan oleh para petinggi pemerintahan, dan ‘menuhankan’ ekonomi, kita kalah dengan skor 0-2 melawan Covid-19: kesehatan kalah, juga ekonomi kalah,” ujar Faisal.

Dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2022 pada 17 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menyebutkan pemerintah berencana menarik utang Rp 973,58 triliun. Sedangkan posisi utang pemerintah per Juni 2021 sudah mencapai Rp 6.570,2 triliun. Fasial Basri mengatakan pembacaan Nota Keuangan itu merupakan sajian yang pahit. (bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU