Ginanto, Beri Info Bohong ke Wartawan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 28 Sep 2022 20:23 WIB

Ginanto, Beri Info Bohong ke Wartawan

i

H. Raditya M Khadaffi

Menguak Perbuatan Melawan Hukum Pengurus Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi Surabaya (4)

 

Baca Juga: Mengapa Gibran dan Bapaknya Diusik Terus

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Siapa sangka di kota Surabaya, ada yayasan dari etnis Tionghoa yang dikelola akong dan ecik, masih eksis. Saldo kas dan bank lebih Rp 17 miliar.

Anda bisa bayangkan pria diatas usia 66 tahun masih mau ribet urus masalah sosial. Adalah Tjokro Saputrajaya, akong berusia 67 tahun, yang masih mau berbagi kasih dengan sesama etnis Tionghoa. Khususnya marga suku Xian Yu.

Pria yang bertempat tinggal di Graha Famili Surabaya, dikenal sebagai pengusaha properti internasional dengan aset bernilai triliunan.

Tjokro, meski memiliki puluhan perusahaan properti di Jakarta, Surabaya dan Singapura, penampilannya amat bersahaja.

Roy Saputra Jaya, pengurus yayasan mengaku berutang budi pada Tjokro. Ia mengalami sakit jantung parah, sehingga bedah jantung. Semua biaya ditanggung Tjokro. Padahal, ia dan Tjokro, bukan sanak famili. Maka itu Roy, heran ada pengurus yayasan yang memberhentikan Tjokro Saputrajaya, secara sepihak tanpa kesalahan. “Saya obyektif, diantara pengurus pembina saja tak ada yang sedermawan seperti Pak Tjokro. Lha kok saat pandemi covid tiba-tiba berhentikan pak Tjokro. Ini pengurus kebacut,” nilai Roy Saputra, saat saya hubungi, Rabu (28/9/2022).

Roy menyebut pengurus pembina yang tak suka pada Tjokro Saputrajaya, adalah grup Yuli Puspa alias Yu Lien, warga Jl. Kartini Surabaya.

Pemilik pabrik sepatu dan sandal ini diduga menggosok pengurus fungsional untuk berhentikan Tjokro.

Grup Yu Lien terdiri Yamin Naharto, yang menjabat sebagai Ketua Umum. Ia tinggal di Jalan Bubutan. Kemudian, Handoko Wilopo, Wakil Ketua dari Yamin ini, tinggal di Jl. Kedung Anyar.

Kemudian, sekretarisnya, ecik Po Giok King yang tinggal di Jl Kedung Klinter Surabaya.

Lalu ada Ginanto Poernomo, sebagai Bendahara yang tinggal di Jl. Wisma Permai Barat Surabaya.

Selain itu yang menjadi Pembina, Ketuanya Paul Tanudjaja, yang menggugat Tjokro dan Hartanto Nyoto, tinggal di Jalan Gundih Surabaya. Dengan anggota pembina, yakni Yuli Puspa alias Yu Lien, tinggal di Jl. Kartini Surabaya, serta Soesanto, yang tinggal di Jalan Anjasmoro Surabaya.

Dan ada seorang pengawas Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi, yakni bernama Roy Tanudjaja, tinggal di Jalan Puncak Permai Utara.

Dari delapan pengurus ini hanya Ginanto Poernomo, yang bisa dihubungi. Sementara pengurus lain tidak merespon.

Ginanto, saat diminta bertemu wawancara soal sengketa Yayasan ini, semula mengarahkan saya untuk menemui advokat Ahmad Riyard UB Ph.D, kuasa hukumnya.

Ternyata setelah saya menghubungi advokat Riyard, yang juga pemilik koran “Berita Metro Surabaya”, dia menyatakan bukan lagi kuasa grup Yu Lien dan Paul.

“Tanyakan ke mereka siapa kuasa kasasinya?” sebut Riyard. Sampai ia menyebut soal “Biar tau siapa yang bohong?”

Sementara, Ginanto, yang dihubungi kembali setelah penjelasan dari advokat Riyard, sejak pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB, belum menjawab.

Baca Juga: Kompromi dengan Pemudik

Bahkan, sebelumnya Ginanto, minta kartu pers saya. Dia tak percaya saya jurnalis. Padahal sudah saya jelaskan, saya dengan advokat Riyard, sama-sama wartawan. Ginanto, tak percaya saya melakukan tugas jurnalisme investigasi.

 

***

 

Sebagai jurnalis, saya melakukan investigasi sengketa di Yayasan Sosial Budi Mulia Abadi Surabaya ini secara berimbang. Ini karena ada kabar santer, pengurus terbelah dua grup. Ada grup yang ingin bubar dan ada grup yang ingin lanjutkan.

Isu pecah dua grup ini terjadi pertengahan tahun 2020, saat pandemi. Padahal 31 Mei 2018, saldo kas dan bank tercatat ada Rp 17.160.945.202,-.

Investigasi saya diawali dari bahan utama hasil sidang gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya.

Pijakan saya berangkat dari persidangan, karena sengketa dua grup ini masuk ke ranah hukum.

Semua kasus perdata yang diperiksa di Pengadilan mesti membawa berkas. Artinya dua grup yang bersengketa, baik penggugat maupun tergugat mengajukan bukti surat lebih dulu, baru saksi dan ahli.

Bahan investigasi kedua adalah dari para anggota yayasan. Bahan ketiga dari pengurus harian dan pengawas yayasan yang melakukan gugatan. Bahan keempat menghubungi pengurus pembina yayasan.Bahan kelima dari pegawai notaris yang pernah dipaka jasanya oleh para pengurus yayasan. Bahan keenam dari pengacara kedua pihak yang bersengketa. Bahan ketujuh investigasi ke berbagai sumber yang terkait. Bahan kelima mendatangi sekretaris yayasan, sekolah dan literatur tentang sejarah orang China datang ke Surabaya.

Saya sudah hubungi beberapa pengurus dewan pembina seperti Akong Yamin dan Paul, melalui telepon dan WhatsApp. Tetapi tidak mendapat jawaban. Juga mendatangi rumah Yamin di Jl. Bubutan Surabaya. Tetapi tidak pernah diladeni. Juga ke sekretaris Yayasan di Jl. Tanjung Anom Surabaya, pekan lalu. Saat itu kantor tutup, informasinya pegawai sekretariat rekreasi ke Malang.

Baca Juga: Waspadai! Sindrom Pasca Liburan, Post Holiday

 

***

 

Saya tergelitik menguak sengketa ini, tertarik soal dua hal. Pertama, yayasan ini dikelola oleh orang orang tua keturunan Tionghoa. Mereka dipanggil AKong dan Ama.

Kedua, apakah ke depannya, setelah pengurus yang sekarang telah tiada, adakah generasi muda etnis Tionghoa, khususnya marga suku Xian Yu, akan meneruskan tradisi membina komunitas suku Tionghoa di rantau?

Meski saya suku jawa, saya bergaul juga dengan suku Tionghoa. Saya tahu tradisi keluarga muda Tionghoa yang ditinggal mati orangtuanya, meminta rumah-rumahan arwah yang menyerupai tempat tinggal orangtuanya yang telah meninggal. Tujuannya, dalam persepsi keluarga, arwah orangtua mereka dapat mengenali gin swa yang dikirim anak-anaknya dan bisa merasa betah. Kini, yayasan ini seperti status quo.

Padahal uang arisan berputar ada miliaran. Konon ada yang dipakai pengurus.

Informasi yang saya peroleh, ada dana Tjokro untuk arisan yang belum dikembalikan padanya. Besarannya sekitar Rp 5 miliar.

Maklum, Tjokro tahu konsepsi arisan di kalangan sukunya. Tjokro paham arisan bagi suku Tionghoa sudah dikenal masyarakat Tionghoa lebih dari seribu tahun yang lalu. Konsep arisan ini dibawa sampai ke Indonesia melalui perdagangan internasional.

Kegiatan itu menyebar ke seluruh pelosok nusantara, karena banyak para pedagang Tionghoa yang berlayar melakukan transaksi dagang ke Indonesia. Dari disinilah terjadi akulturasi budaya sehingga konsep arisan yang secara umum berasal dari Cina masuk ke Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan oleh Tjokro Saputrajaya, diterapkan di yayasannya yang berdiri sejak tahun 1922, saat Indonesia masih dijajah Belanda. ([email protected], bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU