Hakim Lakukan Pembodohan Publik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 03 Mar 2023 20:30 WIB

Hakim Lakukan Pembodohan Publik

i

H. Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saat koresponden saya di Jakarta mengirim berita putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan menghukum KPU tidak menjalankan. File berita saya kirim balik dengan catatan, "Bung tidak semua peristiwa layak untuk dihadirkan sebagai berita ke publik. Seorang wartawan mesti memiliki news judgment (penilaian berita)." kata saya.

Putusan atas gugatan Prima saya anggap tak punya nilai-nilai berita (news values). Saya bilang meski ada nilai aktualitasnya atau kebaruannya, tapi tak ada magnitudenya. Pengaruh positif bagi publik atau masyarakat luas tak ada. Juga tak ada kepentingan (importance) orang banyak.

Baca Juga: Kompromi dengan Pemudik

Mengandung misinformasi, disinformasi dan malainformasi. Bila dimuat dapat timbulkan pembodohan publik.

Orang hukum bisa menuding putusan ini cacat hukum.

Mengingat secara konstitusi NKRI, pengadilan menunda pemilu. Bahasa hukumnya, itu bukan yurisdiksi kewenangan pengadilan negeri.

Maklum, berdasarkan prinsip dan ketentuan di konstitusi, pemilu di NKRI. dilangsungkan berkala lima tahun sekali. Ini diatur pasal 22 E ayat 1 UUD 1945. Jadi secara nalar tidak mungkin PN menetang UU Konstitusi. Jempol, atas putusan itu, KPU langsung ajukan banding. Otomatis putusan tersebut wajib tidak dilaksanakan. Apalagi serta-merta.

 

***

 

Saat saya masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dulu, saya diajarkan tentang prinsip ius curia novit atau curia novit jus.

Adagium ius curia novit atau curia novit jus ini menganggap seorang hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim yang berwenang menentukan hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) dengan materi pokok perkara. Termasuk menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang beperkara dalam konkret.

Adagium ini mendorong kualitas setiap hakim harus baik, terutama mengetahui perkembangan zaman dan implikasinya terhadap lika liku kehidupan warga negara.

Baca Juga: Waspadai! Sindrom Pasca Liburan, Post Holiday

Pendeknya, seorang hakim dituntut harus mau melakukan peningkatan-peningkatan pengetahuan hukum, sosial dan politik.

Misal sengketa hukum proses verifikasi yang diajukan partai Prima, mesti ditelaah apakah ini yurikdisi Pengadilan, Bawaslu atau MK?

Oleh karena yang wajib membuktikan gugatan partai Prima, Itu mutlak menjadi kewajiban dan kewenangan hakim, karena hakim dianggap mengetahui segala hukum.

Kembali ke prinsip Ius Curia Novit. Prinsip ius curia novit juga ditegaskan dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuanmya 1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

Maka itu, dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang dianggap memahami oleh karena itu harus memberi pelayanan kepada setiap pencari keadilan yang memohon keadilan kepadanya.

Selain apabila hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan sengketa, tidak menemukan hukum wajib menggali hukum tidak tertulis. Ini untuk memutus perkara berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.

Baca Juga: Libur Lebaran 10 Hari, Holiday Anomali

Apakah hakim PN Jakarta Pusat ini tidak tahu aturan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 yang mendefinisikan sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Propinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 471 UU No. 7/2022 yang memberikan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk rnenerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Proses Pemilihan Umum.

Kesannya, hakim perkara gugatan parpol Prima tidak membangun kompetensi bidang teknis hukum tata negara dan administrasi.

Hal pasti, menurut SEMA No 9 Tahun 1976 ditegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata mengacu kepada SEMA tersebut.

Terlepas adanya SEMA dan adanya adagium ius curia novit, tergambar sosok hakim yang tidak mau meningkatkan dan memperluas wawasan keahliannya untuk pelayanan hukum kepada masyarakat.? Walahualam. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU