Hukuman Mati Herry Wirawan Belum Inkrah, Masih Bisa Berubah Saat Kasasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 06 Apr 2022 15:40 WIB

Hukuman Mati Herry Wirawan Belum Inkrah, Masih Bisa Berubah Saat Kasasi

i

Herry Wirawan saat mengikuti sidang di Pengadilan Tinggi Bandung, Senin (04/04/2022)/ Foto: Humas PT Bandung

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin (04/04/2022) lalu, memvonis pelaku pemerkosaan 13 santriwati, Herry Wiryawan dengan hukuman mati.

Adapun pertimbangan majelis hakim berlandaskan pada Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Dan perbuatan Herry Wirawan dinilai telah memenuhi unsur pasal ini.

Baca Juga: Perkosa Anak Tiri, Pria di Bondowoso Dipolisikan Istri

"Sehingga, Majelis Hakim tingkat banding berkeyakinan hukuman yang pantas dan patut dijatuhi terhadap diri terdakwa adalah hukuman mati, dengan harapan sebelum hukuman mati dijalankan terdakwa sempat dan dapat bertobat kepada Tuhan sesuai ajaran agama yang dianutnya," kata Majelis Hakim PT Bandung saat membaca amar putusan.

Komnas HAM Tolak Vonis Hukuman Mati

Vonis hukuman mati yang ditetapkan oleh majelis hakim PT Bandung mendapat respon positif dari sejumlah pihak. Namun tak sedikit pula yang menolak akan putusan tersebut. 

Salah satunya datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Melalui video singkat yang beredar di berbagai platform sosial media, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik secara gamblang menolak putusan mati tersebut.

Menurut Taufan, alasan hakim memvonis hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan. Namun, dari kajian yang dilakukan oleh Komnas HAM, hukuman mati justru tak akan memberikan efek jera bagi para pelaku.

Ditambahlagi, sejumlah negara di dunia sudah menghapus hukuman mati dalam mengeksekusi pelaku tindak pidana. 

"Kalau kita lihat kajian-kajian terkait dengan penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme misalnya atau narkoba, dan tindak pidana yang lainnya," kata Taufan.

Indonesia kata dia, sebetulnya juga memiliki landasan konstitusi yang melarang akan hukuman mati. Salah satunya adalah UUD 1945, Pasal 28I. Dalam ayat 1 dikatakan bahwa hak untuk hidup itu adalah merupakan hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun. 

"Karena itu dia (hak hidup_red) merupakan suatu hak asasi yang absolut," ucapnya.

Berlandaskan atas pasal 28I UUD 1945, komnas HAM pun meminta agar para penegak hukum memberikan kesempatan bagi Herry apabila nanti sang terpidana mengajukan kasasi. Sebab, dalam RKUHP sendiri, ada aturan yang memberikan kesempatan bagi terpidana mati untuk suatu periode tertentu.

"Karena itu sekali lagi kita menginginkan ada satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti. Manakala misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi," pintanya.

Indonesia Menganut Hukuman Mati

Sementara itu Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Prija Djatmika menyampaikan, vonis yang dilakukan majelis hakim PT Bandung sudah sangat layak dan tepat.

Baca Juga: Seorang Ibu Teriris Hatinya, Laporkan Suami yang Cabuli Anaknya

Musababnya, kata Djatmika, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh Herry merupakan crime against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Ini tindak pidana sangat berat, memperkosa anak kecil, anak di bawah umur sampai hamil dan korbannya banyak anak 13 lagi. Dalam hukum pidanan namanya pemberatan," kata Djatmika kepada Surabaya Pagi, Rabu (06/04/2022).

Lebih lanjut ia jelaskan, persoalan hukuman mati memang selalu dipenuhi pro dan kontra. Bagi ahli hukum yang setuju dengan hukuman mati, berpandangan bahwa untuk setiap perbuatan pidana berat yang sudah tidak bisa diperbaiki pelakunya terutama melawan kemanusiaan maka hukuman mati adalah pilihan terbaik. 

"Misalnya korupsi, kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, genosida, crime against humanity itu bagi yang setuju akan katakan layak hukuman mati," katanya.

Namun di sisi lain, bagi ahli hukum yang tidak setuju atau anti hukuman mati, berpandangan bahwa hukuman seumur hidup akan lebih baik dari pada hukuman mati. Karena akan memperbaiki perilaku pelaku tindak pidana. Di samping itu, kata Djatmika, yang punya hak untuk mencabut nyawa seseorang adalah Tuhan dan/atau bukan negara.

"Jadi memang ini persoalan dunia. Sampe hari ini hukuman mati masih debatable, layak atau tidak. Tapi jangan lupa kita juga harus lihat apakah hukum di negara kita membolehkan hukuman mati atau tidak," terangnya.

Indonesia kata dia, masih menerapkan hukuman mati dalam sistem perundang-undangan. Undang-undang perlindungan anak misalnya, ada beleid yang menyebutkan ancaman pidana maksimal hukuman mati bagi pelaku tindak pidana.

Baca Juga: Anak Ngaku Diperkosa Bapak, Kakek dan Pamannya, Tapi Polisi Cuma Tahan Pamannya

"Indonesia masih menganut hukuman mati. Dan di undang-undang perlindungan anak ancaman pidana terberat adalah pidana mati untuk kekerasaan seksual terhadap anak yang berkelanjutan. Apalagi korbannya ini banyak. Nanti bisa dicek pasal 81 ayat 5," akunya.

Dalam Pasal 81 ayat (5) UU Perlindungan Anak secara verbatim menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau kehilangan fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun."

Bisa Berubah di Kasasi

Kendati Herry telah dijatuhkan hukuman mati, menurut Djatmika, vonis yang ditetapkan oleh majelis hakim PT Bandung masih dapat berubah. Perubahan itu akan terjadi manakala dilakukan kasasi.

"Bisa kalau pertimbangan hakim kasasi dilihat ternyata hukumannya terlalu berat, dan penerapan hukumnya masih dianggap tidak sesuai, bisa saja berubah menjadi seumur hidup atau bisa 15 tahun atau 20 tahun," katanya.

"Ini putusan belum inkrah, belum pasti. Artinya belum memiliki kekuatan tetap. Ini kan yang jatukan hukuman kan pengadilan tinggi Bandung," tambahnya lagi.

Sebagai tambahan, selain dijatuhkan hukuman mati, Hakim juga mewajibkan Herry membayar restitusi atau ganti rugi terhadap 13 korban pemerkosaan sebesar Rp300 juta lebih. (Sem)

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU