IDI, Bisa Terpecah Kayak Peradi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 27 Mar 2022 19:53 WIB

IDI, Bisa Terpecah Kayak Peradi

i

Catatan Raditya M Khadaffi Wartawan Surabaya Pagi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Sebagai pasien pemakai jasa kedokteran, saya ikut kecewa terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memecat eks Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan organisasi kedokteran secara permanen. Pemecatan ini berdasarkan  rekomendasi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Sebagai pasien saya tak habis mengerti cara berpikir pengurus IDI dan MKEK.? Apakah mereka tak membaca jurnal Asian Hospital & Healthcare Management 2018. Jurnal yang ditulis empat tahun lalu sudah mengingatkan perangkat medis kedepannya. Ditulis dunia kedokteran akan membentuk the internet of medical things (IoMT). Dalam IoMT,  teknologi, perangkat medis, dan aplikasi akan saling terintegrasi dan mampu mempersonalisasikan perangkat medis khusus yang tepat bagi pasien. Tentu baik untuk deteksi dini penyakit pencegahan dan perawatan, sampai pada proses bedah yang dibantu oleh robot.

Baca Juga: Tudingan Politisasi Bansos tak Terbukti, Jokowi Senang

Saya menyerap pesan bahwa sejak tahun 2018 untuk menjadi dokter yang profesional, kudu peka terhadap perkembangan zaman. Ditulis robot mungkin kelak dapat mengambil alih lebih banyak tugas yang dilakukan manusia di dunia fisik. Berbeda dengan manusia yang masih bisa lebih fleksibel, terampil, dan dapat berpikir di luar algoritma. Terutama untuk menemukan cara-cara unik dalam memecahkan masalah kesehatan.

Misal temuan “cuci otak” yang dilakukan dr. Terawan, menurut akal sehat saya, Terawan adalah dokter berprestasi. Apakah temuan ini kontroversi  bagi dunia medis Indonesia? Apakah gara-gara metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau terapi cuci otak, yang berhasil dikembangkan olehnya, dokter konvensional yang hanya sibuk berorganisasi kebakaran jenggot?

Cara berpikir pasien seperti saya, dr. Terawan, pantas dimasukan dalam SDM unggul yang telah berkontribusi bagi dunia medis dan masyarakat.

Akal sehat saya menyebut dr. Terawan, memikul tanggung jawab sebagai penerus di bidang kedokteran dokter tua yang tak pernah bikin terobosan penyembuhan pasien. Dr. Terawan, bagi saya dengan temuan “cuci otak” telah menjaga betul marwah kemuliaan profesi dokter.

Apalagi metode terapi cuci otak (brain flushing) telah dituangkannya dalam disertasinya yang berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis".

Bahkan disertasinya ini disertakan dalam studi doktoralnya di Universitas Hasanuddin.

Saya heran, mengapa metode tersebut menuai pro dan kontra di kalangan praktisi dan akademisi kedokteran. Nyatanya dalam pembuktiannya, dr. Terawan berhasil menyembuhkan pasien stroke selang 4-5 jam usai operasi.

Dan Dr. Terawan meneruskan penelitian di Universitas Hasanuddin, Makassar. Saat itu Terawan,  membawa seluruh hasil tindakan untuk didiskusikan dengan sejumlah guru besar di Unhas. Padahal sebelum menemukan metode ini, pada tahun 2003, ia juga telah melakukan berbagai tindakan medis untuk pengobatan penderita stroke akut. Targetnya adalah peningkatan aliran darah di dalam otak.

Maka itu, metode pengobatan ini juga diterapkan di Jerman dengan nama paten 'Terawan Theory'. Saya sebagai pasien kelahiran dan berkewargaan Indonesia sangat bangga.

Saya benar-benar tak habis pikir, atas temuan ini, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayangkan surat keputusan sanksi etik kepada Terawan. Surat sanksi etik dikirim pada 23 Maret 2018.

Sanksinya pemecatan sementara selama 12 bulan dari keanggotaan IDI dan pencabutan rekomendasi izin praktik.

Herannya, saat itu PB IDI malah menunda sanksi etik tersebut hingga mengetahui hasil uji klinik oleh tim Health Technology Assesement (HTA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Data yang saya himpin pasien “cuci otak” ada ribuan, termasuk Aburizal Bakrie, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Dahlan Iskhan.

Seorang pasien yang pernah berobat dengan terapi berbasis Digital Substraction Angiography (DSA) mengaku membayar Rp 49 juta untuk semua perawatan selama 2 malam di kamar VIP.

Politisi Dave Laksono, anak Agung Laksono, politisi Golkar mengaku kondisinya membaik hanya dengan satu kali terapi.

Padahal sebelum terapi, kepalanya sering nyut-nyutan. Setelah diterapi sakit kepalanya sudah cukup hilang bahkan penglihatan juga cukup jelas.

Maka, dr Terawan sebut 'Cuci Otak' sudah Teruji Secara Ilmiah. Tapi Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed, SpS(K), MS, ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, menyebut istilah cuci otak atau brain wash tidak ada dalam istilah kedokteran.

 

***

Dengan diakuinya Terawan sebagai penemu terapi “cuci otak”, saya pikir, ia layak disebut inovator bidang bidang kedokteran. Apalagi setelah itu, dokter Terawan juga menggagas vaksin Nusantara. Gagasan ini terjadi pada saat pandemi covid-19. Ia nyatakan vaksin Nusantara adalah vaksin yang digagas untuk melawan covid-19 berbasis sel dendritik.

Baca Juga: Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

Dalam penelitiannya, cara kerja sel dendritik juga dibeberkan ke publik yaitu untuk merangsang sistem imun. Karena pasien covid-19 umumnya mengalami defisiensi sel dendritik sehingga diperlukan sel dendritik tambahan untuk merangsang respon imun.

Juga ada transpalasi penis yang dianggap baru.  Transplantasi ini beda dengan transplantasi hati atau ginjal. Dua temuan ini kini menjadi prosedur yang dianggap biasa dalam dunia kedokteran.

Beda dangan ahli bedah dari Universitas Stellenbosch dan Rumah Sakit Tygerberg, Cape Town di Afrika Selatan yang sukses melakukan transplantasi penis pertama di dunia. Operasi dilakukan selama 9 jam pada pria berusia 21 tahun. Dokter yang menemukan tidak di sanksi oleh organisasi kedokteran Afrika Selatan.

Juga cangkok rahim yang pertama kali dilakukan di Swedia dan sukses. Setelah bayi pertama lahir dari wanita yang mendapat cangkok rahim, kini segera menyusul bayi kedua. Penemu cangkok rahim juga tak diberi sanksi oleh wadah dokter di Swedia.

 

***

 

Dr. Terawan, saya pikir dokter yang hidup dalam dunia nyata. Ia tentu sudah familiar dengan istilah organisasi profesi, seperti IDI.

Bagi dokter, usia tua atau muda, IDI tidak hanya sekadar wadah untuk berkumpul bersama para dokter. IDI yang sekarang masih menjadi organisasi profesi dokter satu-satunya yang punya banyak tujuan dan macamnya.

Saya juga aktif di organisasi profesi wartawan. Organisasi wartawan pun merupakan suatu bidang berkumpulnya seseorang yang berlandaskan pendidikan keahlian, termasuk keterampilan dan atau kejuruan tertentu. Termasuk IDI.

Bagi saya, IDI adalah organisasi profesi yang berbadan hukum. IDI juga terbentuk dari beberapa individu dengan profesi sama, serta dilengkapi sistem kerja dan peraturan. Tujuannya untuk mengembangkan profesionalitas dan mencapai tujuan bersama.

Baca Juga: Peran Shin Tae Yong Bangun Team Work

Pertanyaannya bagaimana IDI tidak mampu mewadahi profesionalisme dokter seperti Terawan, yang suka melakukan inovasi untuk kemanfaatan kemanusiaan, seperti “cuci otak” dan Vaksin Nusantara?

Pertanyaannya, masihkah IDI menjadi organisasi profesi  sebagai salah satu wadah dokter Indonesia yang berperan penting dalam mengembangkan suatu ilmu pengetahuan? Masihkah IDI yang sekarang melindungi anggotanya?

Masihkah IDI sebuah organisasi profesi yang  mempunyai konsep sebagai penyedia kendaraan dalam menghadapi tantangan.?

Tantangan menerima dokter yang menemukan cara-cara unik dalam memecahkan masalah untuk kemanfaatan masyarakat?

Dengan memecat dr. Terawan, secara permanen di IDI, organisasi  profesi ini sepertinya tak mau mendorong anggotanya untuk senantiasa bekerja dan mengikuti berbagai perubahan teknologi yang terjadi, sesuai dengan perubahan lingkungan dan sosial. Walahualam.

Sebagai organisasi profesi yang diberi kewenangan dalam UU Praktik Kedokteran, mengapa IDI tidak mengayomi dan membina para anggotanya serta mau terbuka dengan berbagai inovasi di bidang kesehatan, farmasi, dan kedokteran dari para anggotanya.

Inilah kelemahan organisasi tunggal yang mudah menciptakan hegemon. Benarkah dunia medis ini makin lama dikelola secara komersil?.

Putusan IDI ini membuat Terawan mulai sekarang tak bisa lagi membuka praktik. Ia tidak bisa urus SIP dan sebagainya.

Padahal keahlian Terawan telah diakui di tingkat dunia. Ini dibuktikan ketika Terawan dipercaya menjabat sebagai Ketua Kehormatan International Committee of Military Medicine (ICMM) sejak tahun 2019. Sebelumnya, Terawan juga menjadi Ketua ICMM dari tahun 2015-2017.

Satu minggu ini, kabar pemecatan oleh IDI telah mengguncang banyak pihak dari dokter, akademisi, politisi sampai wartawan. IDI yang selama ini diakui sebagai organisasi profesi kedokteran satu-satunya di Indonesia, mulai dinilai arogan dan tendensius. Dikhawatirkan IDI pecah seperti organisasi advokat Peradi. Ada yang mengusulkan IDI  saatnya direformasi agar tidak makin menjadi organisasi tunggal dokter yang arogan. Wait and See. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU