Jangan Kanalisasi Pilihan Kader NU

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 17 Okt 2017 23:49 WIB

Jangan Kanalisasi Pilihan Kader NU

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang berlandaskan agama, seharusnya tidak berupaya mengarahkan pilihan dari kadernya pada kaitan Pilkada Serentak. Sebab, kader NU saat ini dapat ditemui dimana saja dan juga berada di hampir semua partai politik yang ada. Sekretaris DPD Partai Gerindra Anwar Sadad mengatakan bahwa, pilihan dari kader NU tidak akan bisa dikanalisasi untuk arah pilihan politik mereka. Upaya untuk melakukan hal tersebut, menurut Sadad, tidak akan berhasil karena pilihan politik dari kader NU akan selalu luber kemana saja. "Kalau ada usaha kanalisasi, NU sudah melampaui karakteristik mereka sebagai ormas. Karena Kader NU ini akan ada dimana-mana. Misalkan ada 20 partai politik sekalipun, maka pasti ada kader NU di semua partai tersebut," kata Sadad kepada Surabaya Pagi. Senada, anggota Fraksi Nasdem-Hanura DPRD Jatim M. Eksan juga memiliki pandangan yang senada. Menurut politisi Nasdem tersebut, NU seharusnya bisa benar-benar mengambil sikap menjadi penengah dalam Pilkada Serentak 2018. "Jadi, kalau bicara Pilgub Jatim, jangan sampai politik internal NU ikut mencampuri politik praktis yang terjadi. Politik internal NU yang belum selesai di Muktamar Jombang, biarlah tetap menjadi politik internal NU. Jangan dibawa ke ranah lain," tegas Eksan. Sementara itu, dimintai pendapatnya secara terpisah, pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura Mochtar W Oetomo juga sepakat bahwa ulama harus menjadi penengah. Menurutnya, peran kekuatan cultural harus benar-benar menjadi penengah dalam setiap potensi polarisasi yang ada akibat Pilkada. Kekuatan modal itu bisa secara signifikan mempengaruhi masyarakat, terlebih lagi di masyarakat patembayan yang impersonal ala Jakarta atau kota besar lainnya. Tapi, masyarakat Jawa Timur yang mayoritas masih paguyuban dan konsensual menurut saya akan menyusahkan kekuatan modal dalam mengelola isu. Meskipun demikian, kekuatan cultural tidak boleh menjadi aktor polarisasi agar suasana justru tidak malah menjadi keruh katanya. Selain itu, Mochtar juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif bahwa harmoni sosio-kultural-politik itu lebih penting ketimbang siapa yang menjadi juara pada Pilkada. Kompetisi itu konstruktif, tetapi konflik bipolar itu cenderung destruktif. Tokoh cultural, seperti Kyai dan Ulama serta tokoh Masyarakat, harus mengambil peran untuk tidak mempertajam polarisasi pungkasnya. ifw

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU