Janji Bebaskan Surat Ijo, Tapi tak Diwujudkan, Inikah Kebaikan Risma

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 03 Nov 2020 22:00 WIB

Janji Bebaskan Surat Ijo, Tapi tak Diwujudkan, Inikah Kebaikan Risma

i

Sorotan Wartawan Muda, Raditya Mohammer Khadaffi

 

Sorotan “Kebaikan” Risma yang Diusung Paslon Eri-Armuji (2)

Baca Juga: Kompromi dengan Pemudik

 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Realitas yang ada di warga kota Surabaya sampai November 2020 ini, ada solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo. Mereka membentuk organisasi massa ini sebagai upaya untuk memperoleh hak milik atas tanahnya.

Disadari atau tidak oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, kini telah terjadi konflik sosial antara Pemkot Surabaya dengan warganya sendiri.

Juga realitas sosial menggambarkan terjadi berbagai upaya resolusi dan mediasi hingga di meja peradilan. Tapi semua upaya itu masih belum bisa menyelesaikan konflik. Demikian pula, pemberlakuan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang pelepasan aset pun belum dapat mewujudkan resolusi konflik.

Tapi saat kampanye bulan Oktober lalu, paslon nomor 1, melalui calon wakil wali kota (cawawali) Armuji. Cawawali ‘incumbent’, tiba-tiba berbicara tanpa mimik sedih dalam video yang diviralkan di beberapa pesan WhatsApp.

Saya menerima video Armuji, sedang cuap-cuap soal surat ijo. Termasuk pengakuannya ia juga menghuni rumah di atas surat ijo. Pengakuannya diucapkan datar-datar saja. Meski dinyatakan tanpa ekpresi, Armuji sempat mengingatkan warga kota agar jangan termakan kampanye paslon rivalnya. Ini karena paslon MA-Mujiaman, bertekad akan memperjuangkan nasib surat ijo seperti harapan warga yaitu bisa di-SHM-kan atau di-HGB-kan.

Ada yang lucu dalam viral itu, Armuji bilang langkah MA-Mujiaman adalah politik.

Nah, saya bilang lucu, Armuji yang politisi dan mantan Ketua DPRD Surabaya, sepertinya menutup mata realita sosial di Surabaya ada puluhan ribu penghuni tanah yang diatributkan oleh Pemkot, surat ijo, bukan ekses perbuatan politik janji Tri Rismaharini pada kampanye Pilwali tahun 2015.

Makanya mereka melakukan perlawanan secara politik juga yaitu membentuk solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo.

***

Saya paham solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo merupakan perasaan emosional dan moral antar individu atau komunitasnya. Mereka menerapkan rasa saling percaya, kesamaan tujuan dan cita-cita dan juga terdapatnya kesetiakawanan dan rasa sepenanggungan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), solidaritas merupakan sifat (perasaaan) solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan yang pada suatu kelompok anggota wajib memilikinya. Dan sosial berkenaan dengan masyarakat yang membutuhkan komunikasi dalam usaha penunjang, pembangunan. Ini tentu terkait kepentingan umum.

Menurut Durkheim (Dalam Lawang, 1994:181), solidaritas sosial merupakan suatu kondisi hubungan antar individu dan atau kelompok yang dengan dasar dari perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan dikuatkan oleh pengalaman emosional bersama.

Nah, warga kota Surabaya seperti membentuk solidaritas mekanik. Ini tercermin terdapatnya kesadaran kolektif pemukim surat ijo.

Kolektifitas mereka terlihat dalam ikatan gotong royong seperti adat masyarakat desa -kampung.

Gotong royong menjadi suatu bentuk solidaritas yang sangat jamak. Dan eksistensi komunitas pemukim surat ijo sampai awal November ini juga masih sangat terasa. Ini menunjukan komunitas ini memperkokoh warga negara Indonesia yang dikenal memiliki jiwa gotong royong yang tinggi.

Baca Juga: Waspadai! Sindrom Pasca Liburan, Post Holiday

Saya mengamati, kerjasama antar anggota komunitas mencerminkan penggabungan antara individu dengan individu yang lain, atau kelompok dengan kelompok yang lain. Mereka optimistis perjuangannya dapat dinikmati secara bersama-sama, pasca Risma lengser dan wali kotanya bukan Eri-Armuji.

Saya amati dan ikuti dari gerakan gerakannya, kesadaran kolektif solidaritas komunitas ini sama-sama memahami konteks penguasaan, kepemilikan, dan konflik atas tanah surat ijo di Surabaya. Komunitas ini menyepakati keberadaan tanah surat ijo adalah hasil jelmaan sistem sewa tanah pada era kolonial yang diteruskan sampai wali kota Risma.

Disadari atau tidak, sistem semacam ini telah menimbulkan dampak di semua segi kehidupan warga penghuni, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya/ psikologi pemukim surat ijo.

Nah, Armuji sepertinya menutup mata hatinya bahwa di dalam upaya mencapai resolusi konflik, diperlukan perubahan system tanah surat ijo. Perubahan sistem ini masuk domain politik. Logikanya mesti ada political will. Armuji, bisa pura pura tidak tahu tentang political will penyelesaian konflik yang ditimbulkan surat ijo atau memang tidak mau tahu bahwa terjadi konflik antara warga kota dan pemerintah kota era wali kota Risma. Atau Armuji malu mengakui solusi yang ditawarkan paslon MA - Mujiaman bahwa konflik surat ijo harus diawali oleh political will wali kota Surabaya yang baru dan bukan penerus “kebaikan” Risma.

Mengingat urusan surat ijo memerlukan keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antara beberapa kementerian yang terkait. Apakah ini bukan solusi politis, Cak Ji ? Hayo, piye Cak Ji… Hehe…...

***

Saya ingat, pada tahun 2015, pasangan Risma dan Whisnu Sakti Buana, yang saat itu sedang bertarung melawan Rasio-Lucy Kurniasari, sudah mengkampanyekan solusi surat ijo. Saat itu Risma dan mas Whisnu mengkampanyekan solusi surat ijo di sebuah debat publik.

Saat berkampanye di depan warga, Risma dengan tegas membuat janji akan membebaskan dan mengembalikan Surat Ijo kepada masyarakat Surabaya.

“Waktu saya jadi Wali Kota tahun 2010, Perda itu sudah ada. Saya sudah berjuang ke Pemerintah pusat tapi nggak bisa. Tapi jangan khawatir, saya sudah tahu. Nanti jika saya terpilih lagi, pasti akan bebaskan retribusi surat ijo,” kata Risma kala itu.

Kini janji Risma yang diucapkan lima tahun lalu, sepertinya dipungkiri sendiri oleh Risma dan “utusannya” dalam Pilkada Surabaya tahun 2020 yaitu paslon Eri Cahyadi-Armuji, yang mengusung “Meneruskan Kebaikan Risma”.

Baca Juga: Cegah Inflasi di Surabaya , BLT Rencana Dicairkan untuk Keluarga Miskin

Apakah salah, bila sekarang ini warga pemegang Surat Ijo kembali menagih janji Risma?. Dan wajar hal ini ditindaklanjuti oleh paslon MA-Mujiaman.

Apakah Eri-Armuji, tidak mengakui Risma telah tidak menepati janji-janjinya yang diucapkan saat kampanye tahun 2015?

Sebagai pejabat publik, baik Eri maupun Armuji, (punya embel-embel gelar Magister Hukum) mesti sadar bahwa janji itu meski lisan, dalam hukum dikatagorikan sebuah perjanjian. Dan janji Risma, tahun 2015 lalu adalah salah satu sumber perikatan.

Hal ini ada dalam ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi lengkapnya: "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang". Atau dengan perkataan lain, ada perikatan yang lahir dari Perikatan tersebut adalah istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak. Dengan mana hubungan hukum tersebut memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan berakibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di depan pengadilan. Nah, Risma, bisa dituntut warga kota secara perdata di Pengadilan Negeri Surabaya.

Saya tidak membesar-besarkan, tapi bicara secara gamblang. Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata).

Menurut Prof Subekti, perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dan menurut KBBI, perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang dijanjikan.

Hal yang mengejutkan,  Risma, saat menjabat wali kota periode kedua, ia yang punya otoritas bukan melepaskan Surat Ijo kepada masyarakat, seperti yang dijanjikan saat kampanye Pilkada Surabaya tahun 2015 lalu.

Wali kota Risma bersama pejabat Pemkot Surabaya malah meningkatkan tarif retribusi Surat Ijo. Ini artinya ia tidak berusaha membuat kebijakan politik (political will). Apalagi Risma malah mengubah status Surat Ijo menjadi surat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL, dengan masa sewa 20 tahun.

Adakah dalam diri Risma, taat hukum atau malah menggelar kegiatan bisnis tanah yang “mengabaikan aspek sosial tanah” yaitu mewajibkan warga kota Surabaya menyewa rumah yang sudah ditinggali berpuluh-puluh tahun. Nah, apakah ini yang dikatakan kebaikan Risma?. Walahualam, rek….  ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU