Jokowi Sulit Dikudeta KAMI

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 17 Agu 2020 21:51 WIB

Jokowi Sulit Dikudeta KAMI

i

Gambar visual by SP

Kalau Kini ada Kelompok-kelompok yang Bergerak di Bawah Tanah untuk Upaya Kudeta atau Semacamnya, Pemerintah juga Harus Mengatasinya dengan Gerakan di Bawah Tanah

 

Baca Juga: Ditanya Soal Hasil Pilpres, Menkes Ketawain Jokowi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya- Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia  (KAMI) yang dipimpin Prof Din Syamsudin, tokoh Muhamadiyah dan ketua dewan pertimbangan MUI, belakangan ini mengkritisi Presiden Joko Widodo, sangat tajam. Diksi yang diciptakan KAMI, ada yang mengkhawatirkan bisa mengarah pada kudeta terhadap pemerintahan yang sah, Jokowi. Salah satu yang khawatir adalah politisi senior sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens. Benarkah kekhawatiran Boni. Tim wartawan Surabaya Pagi, mengklarifikasi ke beberapa pakar politik, ahli Hukum Tata Negara dan pakar ekonomi Unair Surabaya, Senin (17/8/2020) kemarin.

 

Salah satu inisiator KAMI, Din Syamsudin menjelaskan deklarasi akan digelar Selasa hari ini, 18 Agustus 2020 pada pukul 10.00 WIB di Tugu Proklamasi, Pegangsaan Timur, Jakarta. Menurut Din, sejauh ini sudah ada 150 tokoh yang bergabung dengan KAMI.

Tokoh-tokoh pendiri dan deklarator MAKI diantaranya Din Syamsuddin, Mantan Sekretaris Kementarian BUMN Said Didu, akademisi Rocky Gerung, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Rachmawati Soekarnoputri,  Rizal Ramli,  Abdullah Hehamahua, M.S. Ka'ban, Syahganda Nainggolan, Prof. Anthony Kurniawan, Prof. Rohmat Wahab, Ahmad Yani, Adhie M. Massardi, Moh. Jumhur Hidayat, Ichsanuddin Noorsy, Hatta Taliwang, Marwan Batubara, Edwin Sukowati, Joko Abdurrahman, Habib Muhsin Al Atas, Tamsil Linrung, Eko Suryo Santjojo, Prof. Chusnul Mariyah, dan Sri Bintang Pamungkas.

 

Tak Mudah Kudeta

Namun, pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Airlangga Surabaya, Dri Utari Christina Rachmawati, SH, LL.M, berpendapat bahwa tidak mudah melakukan kudeta, sebab hitungan politiknya tidak mungkin menurutnya.

"Menurut saya kok terlalu 'takut' ya dengan isu tersebut, maksud saya kan tidak mudah melakukan kudeta. Menurunkan Presiden Joko Widodo sekarang lewat impeachment-pemakzulan saja juga susah, dengan kondisi politik saat ini. Oposisi nya sedikit, hitungan politiknya tidak mungkin," tutur Dri Utari kepada Surabaya Pagi, Senin (17/8/2020) kemarin.

Ditanya kembali bagaimana maksud hitungan politik, Dri Utami menjelaskan bahwa partai yang menyatakan oposisi hanya nampak setengah-setengah.

"Kalau merujuk pasal-pasal UUD NRI 1945 untuk mulai impeachment kan dimulai dari DPR. Coba dihitung partai yang pro Pak Jokowi berapa? Sementara yang menyatakan diri oposisi hanya PKS dan Demokrat (yang nampak setengah-menurut saya-red)," jelas dosen muda FH Unair yang ekspert pada Constitusional Law ini.

"Jadi mengawali impeachment saja susah, yang apalagi menuju pemakzulan yang harus melalui MPR di ujungnya. Lembaga negara yang terlibat dlm proses ini, DPR, MK, DPR, MPR. Jadi memang tergantung dukungan politik namun persyaratan impeachmennya terbatas pada perkara pidana, bukan lagi hanya mosi tidak percaya yang cenderung dilakukan negara parlementer," imbuhnya.

 

Kudeta Langgar Hukum

Disinggung terkait peluang kudeta apakah ada syaratnya secara hukum, Dari Utami menuturkan bahwa secara konstitusional dimungkinkan pamakzulan, sebagaimana dicantumkan di Pasal 7A & 7B UUD NRI 1945. "Kalau kudeta, ya jelas itu melanggar hukum & inkonstitusional kan," tuturnya.

Disinggung kembali apakah peran Badan Intelejen Negara melemah, Dri Utami menjelaskan bila menurut Perpres 90 tahun 2012 tentang BIN, Pasal 2 ayat (1) menyatakan tentang fungsi-fungsi BIN seperti, penyelidikan, pengamanan, penggalangan di dalam dan luar negeri.

Baca Juga: Menkes Tertawa, Jokowi Pilih Ketua Indonesia, Bukan Ketum Golkar

"Dengan diangkatnya Jendral Budi Gunawan menjadi kepala BIN, saya rasa Pak Jokowi sudah menjalankan strategi untuk mengamankan posisi beliau. Coba lihat, banyak jabatan-jabatan LN yang juga diberikan pada anggota Polisi aktif," pungkasnya.

 

Political Cost-nya Besar

Sementara, seorang akademisi Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair Surabaya, Ali Sahab S. IP. M. Si. menilai bila isu-isu yang dipaparkan oleh analis politik senior merupakan isu lama yang selalu muncul menjelang tahun politik.

"Kalau menurut saya isu-isu itu lama dan hanya menjadi isu dan selalu muncul menjelang tahun-tahun politik. Sebaiknya kita harus menatap ke depan untuk kemajuan Indonesia. Dan lagian musuh sekarang yg nyata itu covid-19. Kita harus bisa merdeka dari covid-19," jelas Ali Shahab saat dihubungi Surabaya Pagi, Senin (17/8/2020).

Apakah pihak oposisi yang akan mengkudeta Pemerintahan di tengah kondisi pandemi seperti saat ini, Ali mengungkapkan bila hal tersebut tidak ada. "Menurut saya tidak ada dan tidak mungkin karena resiko dan political cost-nya sangat besar. Kalaupun ada kritik atas kebijakan pemerintah itu sebagai bentuk dinamika politik di alam demokrasi sangatlah wajar," ungkapnya.

Terkait dengan rencanakan kudeta atau hanya bentuk politik kekuasaan yang dilakukan lawan politik, untuk bersiap menjelang pemilu 2024 mendatang, menurut Ali hal tersebut hanya merupakan euforia menjelang Pemilihan Umum 2024. "Ini euforia menjelang Pemilu 2024 yang masih lama sebetulnya. Dan dalam politik apa yang nampak sekarang belum tentu sama di Pemilu nanti. Masih sangat cair," ujarnya.

 

Baca Juga: Prabowo, Cek Istana Presiden di IKN yang Akan Dihuni Jokowi, Juli 2024

Pro Kontra di Pemerintahan

Sedangkan, salah satu pakar ekonomi asal Universitas Airlangga, Tjiptohadi Sawarjuwono belum bisa berkomentar banyak mengenai hal tersebut. Dirinya hanya mengatakan jika wajar apabila ada perbedaan atau pro kontra di pemerintahan.

"Kalau mengenai isu tersebut, sepertinya saya belum bisa berkomentar banyak. Tanggapan saya hanya di sebatas wajar saja jika ada pro dan kontra terhadap pemerintahan. Sependapat atau tidaknya seseorang itu kan hak mereka," ujarnya kepada Surabaya Pagi, Senin (17/8/2020).

Namun dirinya mengatakan berlebihan jika ada kelompok yang berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintahan di tengah pandemi seperti ini. "Saya kira lebih cenderung untuk persiapan kedepannya menjelang Pemilu 2024 ya. Karena saya rasa terlalu berlebihan jika melakukan kudeta. Apalagi ditengah pandemi ini," ungkapnya.

 

Gerakkan Ekonomi Saja

Staf pengajar ekonomi di Unair ini juga menambahkan juga pemerintah harus seimbang dalam menggerakkan perekonomian dan melakukan penanganan terhadap pandemi Covid-19. Tjiptohadi juga berharap masyarakat tidak berharap berlebihan di tengah keterbatasan dalam melakukan kegiatan ekonomi saat ini.

"Menggerakkan kegiatan ekonomi itu wajib dilakukan pemerintah. Tapi juga harus berjalan seimbang dengan penanganan Covid-19. Karena masalahnya ini kompleks, saya rasa pergerakan kegiatan ekonomi yang dilakukan pun tidak maksimal karena keterbatasan. Jadi jangan berharap berlebihan juga," pungkasnya. adt/byt/de/cr1/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU