Kemenkes akan Percepat Pemenuhan Dokter Spesialis

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 29 Mar 2023 21:29 WIB

Kemenkes akan Percepat Pemenuhan Dokter Spesialis

i

Menkes Budi Gunadi saat rapat kerja dengan DPR RI.

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Dua Hingga Tiga tahun ke depan,  pemerintah akan mengusung program collegium based atau hospital based. Dengan program ini dokter langsung bekerja di RS yang sedikitnya tersedia sebanyak 3.100 di berbagai wilayah Indonesia.

"Kalau kita lihat per provinsi, kita bisa melihat 40 persen RSUD belum lengkap dokter spesialis dasar, kita belum bicara dokter spesialis lain, kita baru bicara spesialis obgyn, spesialis anak, spesialis anestesi, bedah radiologi kemudian patologi klinik, ini bisa kita lihat Jawa Timur saja kita masih kekurangan 488 dokter spesialis," beber Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg Arianti Anaya, MKM dalam Public Hearing Kemenkes RI, Rabu (29/3/2023).

Baca Juga: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Raih 4 Rekor MURI dalam HUT ke-73

Penegasan Kemenkes ini setelah ada kegaduhan Ominibus Law RUU Kesehatan. RUU ini menuai pro kontra di banyak kalangan. Salah satu yang paling disorot adalah biaya selangit izin praktik dokter yanf disinggung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Mengutip laporan para dokter dan Wakil Menteri Kesehatan dr Dante Saksono, Menkes menghitung  'ongkos' mendapat surat izin praktik (SIP) dan surat tanda registrasi (STR).

 

Tarik Iuran Rp 6 juta

Disebutnya, dalam proses mengantongi STR dan SIP, ada iuran dokter sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), iuran perhimpunan spesialis masing-masing, dan kebutuhan Satuan Kredit Profesi (SKP) yang seluruhnya mencapai Rp 6 juta.

Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam menyebut sedikitnya dokter membutuhkan 250 SKP. Ini untuk mendapatkan rekomendasi organisasi profesi, demi terbitnya STR dan SIP.

 

SKP Rawan Disalahgunakan

Sayangnya, menurut dia, pemberian SKP rawan disalahgunakan. Ia mengambil contoh kasus demo dokter soal penolakan munculnya prodi dokter layanan primer (DLP) di 2017.

Kala itu, Judilherry menyebut IDI memberi 'iming-iming' hadiah enam SKP bagi mereka yang mengikuti demo.

"Nah SKP ini saya harus mengatakan, ini rentan penyalahgunaan. Pada dasarnya, SKP itu diberikan dalam pertemuan ilmiah seorang dokter seperti seminar, workshop, dan lain-lain," sebut dia dalam Forum Group Discussion RSUP dr Cipto Mangunkusumo, Selasa (28/3/2023).

 

Hadiah Demo dari IDI

"Nah penyalahgunaan terjadi misalkan IDI waktu itu menolak prodi DLP, padahal judicial review menghapus DLP, sudah ditolak oleh mahkamah konstitusi.  Nah untuk yang ikut demo diberikan hadiah 5-6 SKP ya jadi lebih enak demo karena menulis di makalah kedokteran atau presentasi itu hanya dapat 2-4 SKP. Lebih enak demo ya," terangnya.

Ia juga menilai syarat SKP dalam mengantongi rekomendasi profesi sebagai syarat terbit STR dan SIP tidaklah mudah dan murah. Ia menuding IDI memiliki kepentingan di balik persyaratan tersebut.

"Nampaknya memang pemberian SKP melalui panitia pertemuan ilmiah juga menjadi ajang untuk mendapatkan dana bagi IDI," sebut dia.

 

Ungkapan Menkes

Baca Juga: Terkait Penyerangan Fasilitas Kesehatan di Gaza, Ini Sikap PB IDI

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin mengungkap mahal dan sulitnya proses mendapat izin praktik. Hal ini berdampak pada sedikitnya dokter di Indonesia yang enggan melanjutkan pendidikan spesialis.

Mengutip pernyataan Wamenkes, Budi menjelaskan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) dokter umum, diperlukan biaya sebesar Rp 3 juta. Lebih lagi, jika ingin mendapat STR dan SIP spesialis, maka biaya yang perlu dikeluarkan adalah Rp 6 juta.

"Saya concern dokter bayar biaya terlampau banyak. Kasihan dokter. Dokter spesialis rata-rata (untuk mendapat STR dan SIP) Rp 6 jutaan. Dokter umum Rp 3 jutaan," ungkapnya pada Public Hearing RUU Kesehatan, Minggu lalu.

Biaya sebesar ini perlu dikeluarkan untuk mendapat rekomendasi, izin, serta iuran tahunan asosiasi dokter. Terlebih, untuk mendapatkan STR pun peserta didik memerlukan sertifikat kompetensi melalui Satuan Kredit Profesi (SKP) sebesar minimal skor 250 dalam total lima tahun. SKP ini pun tidak didapatkan secara cuma-cuma.

 

Biayanya Bisa Rp 1 triliun lebih

Menkes RI menyebutkan untuk mendapatkan minimal 250 SKP ini, memerlukan keikutsertaan misalnya webinar dengan biaya Rp 1 juta.

Pada satu kali webinar, dokter umumnya mendapat empat SKP. "Jadi, kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp 62 juta, dikali 140 ribu jumlah dokter, itu kan Rp 1 triliun lebih," ujarnya. Itu kasian buat dokternya. Dan obat jadi mahal. Yang menderita siapa, rakyatnya juga menderita," lanjutnya.

Sementara itu, pada 2022, terdapat 77 ribu dokter yang mengurus STR. Jika ditotal, angkanya mencapai sekitar Rp 460 miliar.

 

Baca Juga: Sambut HUT ke-73, IDI Gelar Pengobatan Gratis Ditangani 200 Dokter Spesialis

Menkes Disomasi

Buntut dari pernyataannya ini, Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (PDPKKB) melayangkan somasi terhadap Menteri Kesehatan RI. "(Menyampaikan somasi kepada Menkes) atas perbuatan, pernyataan, keterangan, atau informasi yang tidak benar terkait dengan membayar Rp 6 juta," ungkap kuasa hukum dari FDPKKB Muhammad Joni dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).

"Dan kemudian terkait dengan SKP yang punya kamuflase versi Pak Menteri 140 dokter 4 SKP sehingga muncul angka lebih dari Rp 1 T. Hal itu kemudian menjadi sangat bias, bahkan cenderung ke pelanggaran hal hukum," sambungnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pusat (IDI) Cabang Jakarta Pusat dr Haznim Fadhli SpS menyebutkan bahwa untuk mengurus STR, seorang dokter hanya memerlukan biaya sekitar Rp 300 hingga 600 ribu.

 

Reaksi ketum IDI Pusat

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Adib Khumaidi membantah tudingan kesengajaan memaksa dokter untuk demo dengan 'hadiah' enam SKP. Kebijakan itu disebutnya tidak berasal dari organisasi secara nasional, melainkan keputusan atau kebijakan daerah.

Lagipula, menurutnya, dalam pemberian SKP ada tiga aspek yang dipertimbangkan sehingga tidak melulu soal pembelajaran dan profesional. Adapula soal pengabdian profesi.

"Jadi satu, yang jelas itu bukan kebijakan dari Ikatan Dokter Indonesia. Itu pernah muncul pada saat yang kemudian hanya oleh secara kasuistis, bukan dari PB IDI, dan itu dianggap sebagai dalam satu bagian pengertian masyarakat dan pengabdian profesi karena ada satu perjuangan profesi yang dilakukan gitu, pada saat itu," terang dr Adib saat ditemui di Gedung PB IDI, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).

"Tapi sekali lagi, jangan kemudian diartikan bahwa langkah-langkah upaya seperti demo kemudian diapresiasi dengan SKP karena SKP itu ada beberapa ranah tapi itu ada yang namanya ranah pembelajaran, ranah profesional, dan ranah pengabdian profesi," kata Ketua IDI Pusat . n erc/jk/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU