KLHK Akan Tuntut Perdata Perusahaan Asal Thailand dalam Kasus Montara

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 02 Apr 2022 11:39 WIB

KLHK Akan Tuntut Perdata Perusahaan Asal Thailand dalam Kasus  Montara

i

Luhut Pandjaitan.

SURABAYA PAGI, Jakarta – Pada Maret 2021 lalu, Pengadilan Federal Australia di Sydney akhirnya memenangkan gugatan class action sebanyak 15,481 petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap PTT Exploration dan Production (PTTEP), sebuah perusahaan asal Thailand.

Gugatan dilayangkan atas tumpahan minyak dari ledakan anjungan minyak di lepas pantai Montara milik PTTEP. Hingga saat ini, tumpahan minyak tersebut telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.

Baca Juga: Jokowi Tunjuk Menko Marves Luhut Jadi Ketua Pengarah Pengembangan Industri Gim Nasional

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong mengatakan pihaknya akan mengambil langkah hukum berupa pengajuan tuntutan perdata di pengadilan negeri dalam penyelesaian kasus ini. Langkah ini menyusul PTTEP karena dinilai telah menyebabkan ecological distraction di perairan Indonesia.

"KLHK ditugaskan untuk melakukan penuntutan perdata sebetulnya akibat dari ecological distraction, ecological cost yang diakibatkan dari adanya tumpahan minyak ini," kata Alue Dohong dalam dalam Konferensi Pers yang digelar Forum Merdeka Barat (FMB) 9 secara daring bertema "Optimasilasi Penyelesaian Kasus Montana" Jum'at (1/4/22).

Upaya hukum perdata di Pengadilan Negeri ini, Alue menjelaskan, agar perusahaan (PTTEP) mau membayar ganti rugi terhadap ecological distraction yang disebabkan kelalaian dalam kegiatan operasinal perusahaannya. Sebetulnya, tambah Alue menjelaskan, jika pihaknya merinci, ada banyak kerugian bagi Indonesia dari tumpahan minyak milik PTTEP ini. Antara lain, Alue menyebutkan, ada kerugian secara ekonomi, ekologikal dan kesehatan.

"Jadi sebetulnya kalo kita bicara ini ada economic, ecological dan health cost akibat dari adanya pencemaran atau tumpahan minyak oleh PTTEP di Montara ini," terangnya. KLHK, kata Alue telah menyiapkan sejumlah langkah dalam mengoptimalisasi penyelesaian kasus ini. Pertama setelah Perpres sudab keluar adalah memastikan kembali penuntutan, termasuk mengidentifikasi beberapa tergugat baru.

Selanjutnya, pihaknya juga menerbitkan surat kuasa khusus baru, baik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di internal KLHK ataupun Kejaksaan dan Mahkamah Agung, maupun advokat yang ditunjuk dalam membantu menyusun tuntutan atau gugatan.

"Berikutnya, KLHK akan melakukan, menyiapkan dan melengkapi alat bukti. Dulu awalnya kita sudah menghitung sebetulnya. Estimasi waktu itu nilai tuntutan kerusakan ecological itu sekitar Rp21 triliun untuk kerusakan rumput laut, biota perairan, manggrove dan lain sebagainya," urainya.

Kemudian nilai yang kedua waktu itu adalah untuk recovery. Nilai rehabilitasi kerusakan saat itu, kata Alue, lebih kurang sekitar Rp6 trilun. Sehingga, total estimasi kerugian yang harus dibayar PTTEP berdasarkan perhitungan saat itu mencapai Rp27 triliun.

"Tentu, kita akan melakukan pemutahiran data-data tersebut. Nah, keputusan Pengadilan Federal Australia memenangkan para petani merupakan alat bukti baru ya. Alat bukti yang kuat kita bawa. Tentu kita akan melengkapi lagi dengan saintifik evidence," tukasnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdy Tanoni dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil langkah serius membantu masyarakat terdampak dalam upaya menuntut hak-hak mereka.

"Pertama, saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Luhut Panjaitan selaku Menteri Koordinator Kemaritiman, yang walaupun dalam tiga empat tahun kami berjalan, beliau selalu berada di samping kami," kata Tanoni.

Baca Juga: Jubir Luhut Bereaksi, Bosnya Dituding Jenderal Mencla-mencle

Ungkapan terima kasih juga Tanoni sampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia berharap Jokowi dapat segera menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) yang khusus untuk mengatas kasus Montara ini.

"Kepada Jokowi, bahwa kami butuh Peraturan Presiden ini secepatnya ditandatangani. Sehingga ini membawa suatu rasa kepercayaan dari rakyat Nusa Tenggara Timur yang 13 tahun lebih menderita," Penerbitan Perpres ini, menurut Tanoni, akan membangkitkan kepercayaan masyarakat NTT, khususnya warga yang terdampak, bahwa negara sungguh hadir berada bersama rakyat yang menderita.

"Peraturan Presiden yang terbit khusus untuk kasus Montara ini penting bagi kami. Sehingga ini Perpres menjadi tanda bahwa benar negara berada bersama rakyat. Itu saja yang penting bagi kami," ungkapnya.

Untuk diketahui, hingga saat ini, tumpahan minyak akibat ledakan di unit pengeboran minyak Montara di Australia pada tahun 2009 telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.

Peristiwa itu bermula pada 21 Agustus 2009. Ketika itu terjadi ledakan unit pengeboran di anjungan minyak lepas pantai Montara yang menumpahkan minyak dan gas. Total luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi.

Departemen Sumber Daya, Energi, dan Turisme Australia memperkirakan aliran minyak yang tumpah sekitar 2000 barel per hari. Tumpahan minyak ini baru bisa teratasi pada November 2009 atau setelah 74 hari dan menumpahkan sekitar 40 juta liter minyak ke perairan antara Indonesia dan Australia.

Baca Juga: Ganjar Tuding Wiranto, Luhut dan Agum, Jenderal Mencla-mencle

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110. km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.

Tumpahan minyak ini menghancurkan panen rumput laut para petani pada 2009. Pemerintah menemukan ada tigabelas kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.

Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menuntut keadilan. Pada tahun 2016, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni mendaftarkan gugatan kepada pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar asal Thailand PTTEP. Rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban pencemaran minyak itu mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Federal Australia di PBB sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp209,3 triliun.

Class action ini diajukan dengan pengadu Daniel Sanda, seorang petani rumput laut dari Pulau Rote mewakili lebih dari 15.000 petani rumput. Langkah gugatan yang dilakukan karena upaya damai yang dilakukan kedua belah pihak selalu tidak membuahkan hasil, sehingga gugatan secara class action dinilai paling memadai untuk menjawab keluh kesah para petani rumput laut di NTT.

Pada bulan Agustus 2017, pemerintah membentuk gugus tugas penanganan kasus Montara, The Montara Task Force. Satuan tugas ini dibentuk untuk menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor untuk memenangi gugatan. Satgas juga mengumpulkan data-data untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote, data kualitas air, serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat.

Ketua Montara Task Force, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan permasalahan pencemaran tak hanya pada tumpahan minyak, tetapi juga penggunaan bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun.jk

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU