Laboratorium dan Klinik, Digugat Pasien Tes PCR

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 31 Okt 2021 20:11 WIB

Laboratorium dan Klinik, Digugat Pasien Tes PCR

i

Ilustrasi karikatur

Epidemiolog Prof Windhu Purnomo dan Koordinator Perdahukki Dr. dr. Sukma Sahadewa, Akui Bisa Terjadi Ada Perbedaan hasil Tes PCR di Berbagai Laboratorium Terkait Tahapan Pra-analitik dan Kualitas Atas Tes

 

Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -  Kamis (7 Oktober 2021) lalu, enam warga asal Balikpapan batal berangkat lantaran hasil tes PCR positif. Hasil swab PCR dilakukan oleh Klinik Juonson Balikpapan.

Masalah mulai muncul tatkala, pasien tersebut melakukan swab ulang di klinik yang berbeda ke esokan harinya. Lucunya, hasil dari klinik lain di tanggal 8 Oktober, negatif.

Kuasa hukum HM. Selle S, dalam keterangan resminya diberbagai media menyampaikan, atas hasil lab klinik Juonson yang mendiagnosis positif pasiennya, mengakibatkan kerugian immateril bagi kliennya. Mengingat, kliennya bersama keluarganya berjumlah enam orang berencana melakukan perjalanan ke Makassar untuk takziah.

Mengingat, adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) yang mewajibkan tes PCR sebagai syarat penerbangan maka klinennya pun melakukan tes PCR di klinik tersebut pada tanggal 7 Oktober 2021, pukul 11.00 Wita. Namun hasilnya saat itu positif SARS-CoV-2 (CT : 33.21).

"Klien kami kan rencana akan ke Makassar dalam rangka menghadiri acara keluarga yang sedang berduka beserta rombongan keluarganya 6 orang. Pada saat itu klien kami dalam kondisi sangat sehat dan tidak ada gejala sakit apapun. Gara-gara hasil lab tersebut klien kami gagal berangkat bersama suami dan anaknya sejumlah 3 orang, padahal ini acara penting sekali," kata Selle dinukil dari liputan6, Minggu (31/10/2021).

Selle mengaku, sebelumnya ia telah melakukan somasi kepada klinik yang beralamat di Balikpapan Selatan tersebut. Namun hingga kini pihaknya belum mendapatkan respons dari pihak klinik.

Alhasil, kini Selle mewakili kliennya melakukan gugatan perdata kepada klinik Juonson. Bahkan Selle pun menuga, kasus positif di Balikpapan yang terus meningkat adalah bagian dari hasil lab yang keliru.

 

Pernah Terjadi di Surabaya

Kasus yang menimpa pasien di Balikpapan bukanlah yang pertama. Di Surabaya, pada Januari 2021 lalu, Laboratorium Gleneagles juga menyatakan pasien atas nama Clara Cynthia Dewi (26). Namun, sehari setelah hasil lab keluar, ia melakulan tes di 2 rumah sakit berbeda yakni di Mitra Keluarga Satelit dan National Hospital Surabaya. Lucunya, hasil dari kedua rumah sakit tersebut adalah negatif.

Kendati pihak Laboratorium Gleneagles berani bertanggung jawab atas hasil positif yang mereka keluarkan, nyatanya pasien tetap mengalami kerugian secara immateril khususnnya teralienasi dari lingkungan sosial.

Terkait keakuratan tes PCR, Koordinator Hubungan Antar Lembaga Perhimpunan Dokter Ahli Hukum dan Kesehatan Indonesia (Perdahukki) Jawa Timur, Dr. dr. Sukma Sahadewa, M.Kes, SH, MH, M.Sos., menjelaskan, ada banyak faktor yang bisa memengaruhi perbedaan hasil uji tes swab PCR.

Perbedaan hasil PCR di berbagai lab, biasanya terjadi karena proses pemeriksaan laboratorium tersebut melewati beberapa tahapan.

Tahap awal tes PCR dimulai dari tahap pra-analitik, yakni penanganan sampel sebelum memasuki ruangan laboratorium. Tahap ini meliputi pengambilan sampel usap, penanganan atau penyimpanan, dan transportasi pengiriman sampel.

Tahap kedua yakni analitik, atau jalannya proses analisis sampel sampai keluarnya hasil tes. Tahap terakhir yakni tahap post-analitik, atau keluarnya hasil pemeriksaan kemudian diserahkan kepada pasien.

"Setiap tahapan kalau tidak dilakukan atau dilewati dengan baik, hasilnya sampelnya tentu akan berbeda," kata Sukma saat dihubungi Surabaya Pagi, Minggu (31/10/2021).

Baca Juga: Awas Covid-19 Varian Kraken, Tingkat Penularannya Cepat

Setidaknya ada 7 faktor utama yang dapat memengaruhi hasil tes swab PCR. Diantaranya adalah jenis sampel, ketepatan teknik, pengambilan sampel, penanganan atau penyimpanan sampel,, transportasi sampel ke laboratorium, sumber daya manusia (SDM) yang melakukan analisis sampel, serta kualitas alat tes.

"Untuk lab sendiri harus memiliki standart yang tinggi, minimal nasional dan harus terakreditasi di Lembaga Akreditasi Nasional atau Internasional," katanya.

Terkait aturan sendiri kata Sukma, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 411/Menkes/PER/III/2010 tentang Laboratorium Klinik, telah diatur mengenai sanksi yang diberikan apabila terbukti laboratorium melakukan pelanggaran saat melakukan pemeriksaan.

"Ada sanksi administrasinya. Sanksi terberat itu bisa izinnya dicabut," jelasnya.

Lebih lanjut Sukma mengkritik adanya kebijakan yang mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat. Aturan tersebut termaktub dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 1-4 di Jawa dan Bali.

Ada pula aturan terbaru lainnya yakni Surat Edaran Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Covid-19. Aturan teranyar ini mewajibkan, penumpang pesawat Jawa dan Bali untuk melakukan tes PCR sebagai syarat keberangkatan.

Adapun tujuan dilakukannya tes PCR merupakan langkah dari pemerintah dalam melakukan screening covid-19. Aturan tersebut hanya berlaku bagi moda transportasi udara. Sementara darat dan laut, dapat memilih untuk menggunakan PCR atau rapid antigen.

Lucunya, secara potensi penyebaran virus kata Windhu, darat dan laut justru lebih berpotensi besar. Karena waktu perjalanan darat dan laut lebih lama dibandingkan dengan udara.

"Semakin lama kita berada di lokasi yang sama, potensi penyebarannya semakin cepat. Pesawat katakanlah Surabaya-Jakarta hanya 1 jam. Kalau naik bus atau kereta, bisa berjam-jam," katanya.

Baca Juga: PPKM Dicabut, Dinkes Kabupaten Mojokerto Tetap Siagakan Ruang Isolasi

"Jadi saya lebih setuju rapid antigen dulu, bila positif baru PCR. Baiknya antigen untuk screening," tambahnya.

 

Pengambilan Sampel

Terkait perbedaan hasil lab dalam waktu yang begitu cepat, juga ditanggapi oleh pakar epidemoligi asal Universitas Airlangga Surabaya Windhu Purnomo.

Menurut Windhu, setidaknya ada beberapa faktor utama mengapa hasil lab berbeda. Pertama adalah waktu pengambilan sampel. Menurut Windhu, masa hidup virus dalam tubuh manusia adalah 10 hari. Lebih dari itu, virus telah dikatakan mati.

"Jadi dilihatnya itu kapan diambil. Kalau waktu pengambilannya, di hari ke-10 maka pasti masih positif. Tapi besoknya kan hari ke-11, virus sudah hilang. Hasil pasti negatif," kata Windu.

Berikutnya adalah teknik pengambilan sampel. Dalam ilmu epidemologi ada istilah virol load atau jumlah virus yang ada dalam tubuh manusia. Semakin banyak viral load maka semakin mudah mendeteksi sesorang terpapar virus atau tidak.

"Kalau viral loadnya kecil dan waktu pengambilan sampelnya atau usapannya tidak begitu dalam atau tidak sampai menyentuh viral load yang kecil itu, ya maka hasilnya akan negatif. Tapi sebaliknya, kalau teknik usapannya itu tepat dan menyentuh bagian yang ada virusnya ya hasilnya akan positif," jelasnya.

"Jadi ini tergantung kecakapan dan jam terbang SDM yang ada. Soal teknik pengambilannya gimana kan mereka yang tahu," tambahnya. sem,rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU