Lansia Rawan Terdampak Negatif Vaksin Covid-19

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 18 Jan 2021 21:24 WIB

Lansia Rawan Terdampak Negatif Vaksin Covid-19

i

Raja Salman saat disuntik vaksin covid-19

 

Pendapat Dr. dr. Sukma Sahadewa, M.Kes, SH, MH, M.Sos, dr Makhyan Jibril Al Farabi MSc, M.Biomed Staf khusus Gugus Tugas Kuratif Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi dari RS Mayapada, dan Prof. DR. Dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed, Ketua Komnas KIPI Menanggapi Tewasnya 33 warga Norwegia Berusia Lansia usai Divaksin Pfizer-BioNTech 

Baca Juga: Tentara Bayaran WNI di Ukraina, Bisa Propaganda Rusia

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Hingga Senin (18/1/2021), vaksin Covid-19 merek Pfizer-BioNTech, terus memakan korban, usai diterapkan vaksinasi secara serentak di beberapa negara. Padahal, efikasi vaksin Pfizer terbilang nyaris sempurna, yakni 95%. Terbaru, 33 warga Norwegia khususnya para lansia, meninggal dunia usai divaksin Pfizer-BioNTech. Bahkan, di Israel, beberapa orang yang selesai divaksin, mengalami pembengkakan di beberapa bagian wajah.

Sementara, di Indonesia, yang sedang memakai vaksin Sinovac asal China, pun, hingga saat ini masih menuai pro dan kontra. Pasalnya, efikasi vaksin Corona asal China itu hanya 65,3%. Sedang di Brasil, efikasi Sinovac, 50,4%.

Hal ini yang membuat beberapa dokter di Surabaya dan Jakarta angkat bicara, terkait dampak dan efek samping vaksin Covid-19 yang disuntikkan ke tubuh manusia. Diantaranya Dr. dr. Sukma Sahadewa, M.Kes, SH, MH, M.Sos, seorang dokter yang telah mengambil doktor ilmu kesehatan di Universitas Brawijaya Malang. Juga, dr. Makhyan Jibril Al Farabi, MSc M.Biomed seorang pakar Inovasi Kesehatan Digital yang juga Staff Khusus Rumpun Kuratif Satgas Covid-19 Jawa Timur. Kemudian Ahli Alergi dan Imunologi, Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, dokter Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi dari RS Mayapada. Serta Prof. DR. Dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed, Ketua Komnas KIPI yang dihubungi secara terpisah, Senin (18/1/2021).

Menurut Dr. dr. Sukma Sahadewa, M.Kes, SH, MH, M.Sos., di Norwegia, uji klinis belum dilakukan pada kalangan lansia. "Di Norwegia, banyak lansia yang meninggal karena sebelumnya belum ada uji klinis pada lansia," ujar dr Sukma, Senin (18/1/2021).

Hal ini menurutnya, berbeda dengan di Indonesia, dimana vaksin Sinovac belum merekomendasi untuk lansia dan balita. "Kalau di Indonesia kan belum keluar hasil uji klinis pada lansia maupun balita. Jadi kalangan itu tidak di vaksin," tambah Sukma.

Sukma juga menerangkan bahwa lansia memang sangat rawan menerima dampak negatif dari vaksin, termasuk vaksin Pfizer. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, "Sebenarnya itu bukan salah vaksin nya, namun salah pada metodenya, seperti uji klinis yang belum dilakukan pada lansia," terangnya.

Harapannya, tidak ada yang meninggal setelah di vaksin. Namun nyatanya, "Seringkali ada trial and error pada pelaksanaannya. Jangankan 29 orang, kematian satu orang saja bisa dikatakan angka yang cukup besar," ujarnya.

Sukma menghimbau pada masyarakat agar benar-benar menelaah pemberitaan yang beredar. "Kita harus yakin pada pemerintah, jangan menelan mentah-mentah pemberitaan yang ada. Apa yang dilakukan pemerintah adalah yang terbaik," pungkasnya.

 

Berdampak Negatif untuk Komorbid

Sedangkan, dr Makhyan Jibril Al Farabi, pakar inovasi Kesehatan Digital ini menilai, Vaksin memang akan berdampak negatif bilamana pasien yang di vaksinasi memiliki komorbid ataupun sedang tidak dalam kondisi fit.

"Makanya, vaksinasi di Indonesia itu melalui beberapa tahap. Termasuk pengecekan kondisi tubuh pasien pada saat sebelum di vaksin," terang dr Jibril, Senin (18/1/2021).

Informasi yang didapatkan sejauh ini, Pemerintahan Norwegia sedang melakukan evaluasi ulang pada vaksinasi yang telah di edarkan. Harapannya, penyebab kematian 33 lansia bisa terkuak dengan jelas sehingga tidak timbul keraguan masyarakat pada vaksinasi.

Apalagi, tambah dr Jibril, otoritas Norwegia saat ini sedang melakukan investigasi hal ini. Meskipun, kebijakan di Norwegia, adalah mendahulukan vaksinasi untuk kalangan lansia. Berbeda dengan Indonesia, yang memprioritaskan Tenaga Kerja untuk di vaksinasi terlebih dahulu, karena kalangan itu lah yang menjadi garda terdepan penanganan covid-19.

"Bisa saja karena komorbid. Bisa juga karena lansia yang bersangkutan memiliki komplikasi penyakit sehingga sampai terjadi seperti itu (meninggal dunia)," paparnya.

 

Baca Juga: UNESA Gandeng Universitas Islam Madinah Perkuat Mutu Pendidikan dan Jaringan Internasional

Jangan Dipaksakan

Ahli Alergi dan Imunologi, Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, dokter Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi dari RS Mayapada, ada beberapa orang dengan kondisi tertentu yang tak boleh divaksinasi. Jika pemberian vaksin dipaksakan, justru akan memberikan beberapa reaksi berbeda.

Orang yang sedang sakit seperti demam tidak boleh diberikan vaksin. Vaksinasi hanya berlaku bagi orang yang memiliki kondisi sehat dan fit. "Vaksin hanya untuk orang sehat. Demam sedikit saja tidak boleh divaksin," kata Iris, Senin (18/1/2021).

Sementara, sejumlah vaksin dapat digunakan pada usia tertentu. Bagi beberapa orang yang tidak termasuk dalam kategori usia tersebut tak boleh mendapatkan vaksin terkait. Misalnya pada vaksin Covid-19 Sinovac di Indonesia, yang terus menjalani pengujian. Ini hanya ditujukan pada individu berusia 18 hingga 59 tahun. Artinya, di luar usia tersebut, yakni kelompok anak dan lansia, dilarang mendapatkan vaksin.

"Pada vaksin yang saat ini sedang diuji, tidak boleh untuk anak-anak karena belum ada penelitian pada anak-anak," tutur Iris, yang juga merupakan Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PP Peralmuni).

 

Penyakit Komorbid

Orang dengan penyakit penyerta, seperti diabetes dan hipertensi yang tidak terkontrol, juga takboleh divaksin. Kata Iris, lebih baik menunggu hingga kondisi tersebut dikontrol terlebih dahulu sebelum menerima vaksin. "Komorbid atau penyakit bawaan harus dalam kondisi terkontrol dan mendapatkan persetujuan dari dokter yang merawat, maka boleh mendapatkan vaksin," tutur Iris.

Kategori ini khusus ditujukan untuk vaksin COVID-19. Secara khusus, PP Peralmuni tidak merekomendasikan pemberian vaksin COVID-19 pada orang dengan autoimun seperti SLE, vaskulitis, dan lainnya. Pasalnya, hingga saat ini, belum ada penelitian yang membuktikan efektivitasnya. "Pasien autoimun tidak dianjurkan untuk vaksinasi COVID-19, sampai hasil penelitian yang lebih jelas telah dipublikasi," bunyi rekomendasi dari PP Peralmuni.

 

Baca Juga: Pesawat Japan Airlines Tabrak Pesawat, 400 Penumpang Selamat

Efek Samping, Lazim

Sedangkan, menghadapi kekhawatiran masyarakat mengenai vaksin Covid-19, Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) angkat bicara.

Melalui rilis medianya, komisi bentukan pemerintah untuk memantau kejadian atau dampak kesehatan yang terjadi pasca vaksinasi itu mengatakan bahwa sejauh ini belum ada laporan mengenai korban penyakit atau meninggal dunia setelah di vaksinasi di Indonesia.

"Alhamdulillah sampai saat ini belum ada laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) serius yang terjadi," ucap Prof. DR. Dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed, Ketua Komnas KIPI.

Ia juga menambahkan bahwa vaksin yang digunakan di Indonesia juga telah lolos uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga masyarakat tak perlu khawatir untuk divaksin. "Saya kira masyarakat takut divaksinasi karena ada berita tidak benar terkait vaksin Covid-19 ini, masyarakat sebetulnya tidak perlu khawatir dan jangan mudah percaya berita-berita hoaks yang beredar terutama berita terkait vaksin yang mampu berdampak serius. Badan Pengawas Obat dan Makanan tidak mungkin memberikan izin penggunaan apabila vaksin Covid-19 terbukti tidak aman," pungkasnya.

Mengenai efek samping, ia mengatakan bahwa efek samping itu lazim terjadi. Biasanya efek samping itu hanya ditimbulkan dengan gejala yang ringan dan tidak mematikan.

"Vaksin ini merupakan produk biologis, sehingga pada waktu dimasukkan ke dalam tubuh maka reaksi alamiahnya adalah memang menimbulkan reaksi lokal di tempat suntikan berupa kemerahan, pegal, bahkan menimbulkan demam, namun data menunjukkan gejala-gejala tadi jumlahnya kurang dari 1 persen dan bisa hilang dengan sendirinya," terangnya.

Terakhir, ia juga meminta masyarakat untuk aktif melaporkan jika ada gejala-gejala buruk yang timbul setelah suntikan vaksin.

"Jadi apabila ada kejadian yang tidak diinginkan atau kejadian luar biasa masyarakat harus melapor ke fasilitas kesehatan. Nanti laporan dicatat dan akan ditindaklanjuti Komisi Daerah dan Komisi Nasional KIPI yang merupakan komite independen dalam mengkaji hal ini," tambahnya. mbi/sem/ana/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU