Home / Politik : Catatan Politik Wartawan Surabaya Pagi

Lawan Anies, Realistisnya PDIP Usung Ganjar

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 12 Okt 2022 20:59 WIB

Lawan Anies, Realistisnya PDIP Usung Ganjar

i

Catatan Politik Raditya Mohammer Khadaffi, Wartawan Surabaya Pagi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hasil pemilu 2019 lalu meraup 27.053.961 suara (19,33%). Kini partai pimpinan Megawati punya perwakilan di parlemen sebanyak 128 kursi.

Diatas kertas PDIP adalah satu-satunya partai politik yang diprediksikan melampaui presidential threshold (ambang batas presiden) 20 persen.

Baca Juga: Tudingan Politisasi Bansos tak Terbukti, Jokowi Senang

Sementara NasDem hanya punya keterwakilan 59 kursi kader. Ini diperoleh NasDem dari jumlah suara pemilu tahun 2019 sebanyak 12.661.792 (9,05%).

Praktis, PDIP adalah partai pemenang pemilu. Raihan ini menjadikan salah satu kadernya mengisi Ketua DPR-RI.

Pertanyaan dasarnya, ada apa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, mengusili pencapresan Anies Baswedan oleh Surya Paloh? Apa ada yang keliru dari NasDem deklarasi dini Capres Anies, yang tak punya basis partai politik?.

Kesan saya sebagai jurnalis, sindiran Sekjen PDIP ini mengesankan meski pemenang pemilu 2019, dirinya tak rela anggota koalisi pendukung pemerintahan sekarang “mencuri start” pencapresan.

Akal sehat saya, sindiran Hasto, sepertinya PDIP menabuh genderang “perang” panaskan situasi politik saat ekonomi nasional sedang diguncang ekonomi global.

Apakah ini strategi politik PDIP? Publik bisa mengintepretasikan dan persepsikan masing-masing. Tapi akal sehat saya berkata sindiran Hasto, ini meski berbau kekanak-kanakan pasti sudah dipertimbangkan masak-masak.

Mengingat narasinya aktual. Sindiran diungkap beberapa minggu usai Anies dipacaki Surya Paloh, sebagai capres NasDem. Apakah Anies nanti tahun 2024 akan dipilih rakyat Indonesia dan keluar sebagai presiden terpilih pengganti Jokowi? Mari bersabar menunggu pelaksanaan pilpres oleh KPU.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya mencatat deklarasi Anies Baswedan oleh partai NasDem, telah bergemuruh. Teman-teman parpol koalisi NasDem ada yang terkejut. Terutama PDIP. Ada apa? Apa karena Anies, saat pilkada 2017 lalu terlanjur dianggap gairahkan politik identitas? Walahualam.

Temuan catatan jurnalistik saya soal politik identitas lebih ramai di Medsos, ketimbang di lapangan. Razia cafe, resto dan hotel jelang idul fitri, selama Anies memimpin DKI Jakarta, tak muncul lagi. Apakah ini upaya Anies meredam razia-razia oleh Ormas? Bisa iya dan bisa tidak.

Isyarat kuatnya tidak. Sebab ormas Islam seperti FPI yang dulu galak merazia tempat maksiat, telah dibubarkan pemerintah. Semua atribut yang terkait FPI dan Habib Riziq dicopoti oleh Kodam Jaya, Polda Metro Jaya dan Satpol PP. Petingginya pun dijebloskan ke penjara. Apa ini policy Anies Baswedan? Secara kasat mata bukan. Lalu apa pengaruh politik identitas pasca Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI?

Sebagai akademisi, Anies menunjukan kepiawaiannya bernarasi. Indikasinya, Anies punya banyak referensi soal politik dan agama. Narasi ini ia pamerkan akhir September 2022 lalu di hadapan ratusan anak muda, generasi milenial,dan generasi Z pada acara Indonesia Millennial and Gen Z Summit (IMGS) 2022 di Jakarta Selatan.

Disana Anies membahas soal politik identitas dengan cakrawala orang yang berpengetahuan luas.

Menurut Anies, dalam politik identitas terdapat unsur emosi yang mencerminkan kontestasi. Penafsirannya, bila calonnya adalah satu laki satu perempuan, maka isu gender akan dominan disitu. Kalau calonnya adalah satu dari Jawa, satu dari Sunda, maka isu etnis akan dominan disitu. Kalau calonnya beda agama, maka isu agama akan muncul.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa kontestasi polarisasi emosi sangat tergantung kepada sosok yang ikut dalam pemilu dan politik identitas. Jadi politik identitas tidak melulu soal agama.

Anies katakan, anak muda, generasi milenial maupun generasi Z harus bisa membedakan hal tipe politik identitas, karena itu merupakan aspek emosional.

Ia juga ingatkan dalam kampanye selain politik identitas ada aspek programatik. Keduanya biasanya disandingkan. “Jadi saya melihat kita perlu makin hari makin mendorong kita semua untuk melihat satu rekam rejak dari siapapun yang berada di dalam lapangan pertandingan (pemilu),” kata Anies.

Sebab, kata Anies, pada masa kampanye masing-masing pihak akan menonjolkan kekuatannya dan akan melabelkan, mencap, membangun opini negatif terhadap lawannya.

Argumentasi Anies soal politik identitas ini secara akademik bisa diterima. Tapi apa publik percaya dalam politik identitas ada program yang menyertainya? Campuran politik identitas bersanding dengan programatik, mana yang lebih berpengaruh?

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) pernah mengadakan riset tentang “Mengelola Politik Identitas: Strategi Kontra-Naratif Melawan Politisasi Politik Identitas Dalam Pemilu 2019 Melalui Keterlibatan Tim Kampanye Kandidat”.

Ditemukan konteks kontestasi saat pilpres bisa merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Ini diteliti selama Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017.

Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat.

Disana juga ada fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer. Termasuk kampanye digital paslon.

Industri konsultan politik ini juga ditemukan menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital. Dan peran industri ini juga turut memperburuk polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas.

Ini terlihat nyata pada setiap isu-isu non-programatik. Isu itu terus direproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu.

 

***

 

Lalu, siapa pilihan Ketua Umum PDIP Megawati terhadap capresnya di tahun 2024 nanti menghadapi capres Anies Baswedan?. Saat ini di PDIP muncul dua kader. Ada Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.

Berdasarkan kumpulan data dan informasi Litbang Harian Surabaya Pagi, yang mendominasi opini di internal PDIP masih tetap Puan. Opini ini menurut akal sehat saya menyangkut kewenangan Ketua Umum PDIP. Apalagi dalam beberapa kali Kongres, Megawati mendapat kewenangan mutlak mengambil keputusan atas nama partai. Bahasa hukumnya hak prerogatif.

Soal hak prerogatif ini, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyatakan hak prerogatif yang melekat di dirinya keputusan Kongres, bukan keinginannya.

Hak prerogatif ini yang memberikan Megawati kewenangan penuh untuk menentukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Makanya, Megawati mengklaim hak prerogatif yang ia miliki bukan hanya soal penentuan calon presiden dan calon wakil presiden saja. Tetapi untuk menentukan arah kapal besar bernama PDI Perjuangan. Nah? Ada pernyataan Megawati yang membuat saya miris.

"Jadi kalau ada yang mengatakan ibu saya maunya ke kanan, saya harus mengatakan kepada anak saya itu. Itu kamu harus jalan di tengah, kalau dia tidak mau mengerti saya dapat menggunakan hak prerogatif saya," kata Megawati.

Baca Juga: Anies Akui Prabowo, Keluarga Intelektual Terpandang

Pertanyaan obyektifnya, apakah seorang yang memiliki hak prerogatif di partai akan menutup mata terhadap suara publik?

Hasil survei lembaga independen apakah tidak digunakan tolok ukur orang yang punya mandat memilih capres?

Saya ambil contoh kemenangan SBY pada Pilpres pemilihan langsung pada tahun 2004. Pada putaran 1, sangat tampak di basis-basis TNI Angkatan Darat. Di TPS asrama Cijantung, nama jenderal itu berkibar-kibar seraya dikumandangkan para keluarga tentara setiap kali kertas suara dibuka petugas TPS dan nama SBY muncul.

Dari pengalaman pilpres 2004, meskipun SBY, tidak punya mesin politik, kampanye SBY dinilai berhasil menuai dukungan spontan dari masyarakat.

Menurut peneliti senior LSI Saiful Mujani, SBY merupakan calon presiden yang paling konsisten dalam menggunakan media kampanye televisi melalui Iklan layanan masyarakat. Iklan-iklan ini yang melambungkan popularitas SBY. “Popularitas SBY terdongkrak karena para pemilih menimbang kualitas kepribadian calon presiden. Banyak pemilih melihat SBY cukup kompeten, lebih tegas dan efektif, serta lebih punya empati dan integritas dibandingkan dengan calon lain,” ujar Mujani saat itu.

Saat ini dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memiliki elektabilitas tertinggi sebagai kandidat calon presiden (capres) pada 2024.

Elektabilitas Ganjar berada di atas Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Hasilnya, Ganjar Pranowo berada di posisi teratas dengan elektabilitas 24,5 persen disusul Prabowo Subianto dengan 21,3 persen dan Anies Baswedan 19,3 persen.

Lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir 1,7 persen, baru Ketua DPP PDI-P Puan Maharani yang hanya 1,3 persen.

 

***

 

Meski saya memimpin media mainstream, dalam membaca peta politik Indonesia saya juga menengok media sosial juga. Saya menemukan logika yang dibangun para ‘buzzer’.

Industri konsultan politik ini ada yang menarasikan Anies Baswedan berlawanan dengan kebijakan Jokowi.

Dari temuan saya ini, bisa saja ada sebagian publik menduga bahwa Jokowi pasti tidak mendukung Anies Baswedan.

Konon, menuju perhelatan Pilpres 2024, Jokowi dipersepsikan tidak mungkin berada di pihak yang mendukung Anies Baswedan. Benarkah demikian?

Ini yang menggugah saya menulis siapa yang paling kompeten menandingi Anies dari PDIP. Puan atau Ganjar. Sampai awal Oktober 2022 ini, Litbang Surabaya Pagi belum menemukan informasi valid, Jokowi belum tampak berpihak kepada siapa dan tidak mendukung siapa.

Realita sosial, Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akrab saat gelaran Formula E Jakarta, pada 4 Juni 2022 lalu.

Saya belum menemukan sumber atau ujung pangkal pendukung Jokowi berseberangan dengan Anies Baswedan.

Baca Juga: Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

Saat Jokowi terpilih presiden, 2014, Anies Baswedan bahkan diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI di masa pemerintahan Jokowi yang pertama.

Baru bulan Juli 2016, saat ada kocok ulang, Anies kena reshuffle dan digantikan oleh Muhadjir Effendy. Karena kejadian ini, layakkah Anies dituding berkinerja buruk, sehingga tak terpakai oleh Jokowi?.

Apa peristiwa itu pantas di sebut Anies seorang ‘pecatan menteri’ karena nggak becus kerja?

Saya tak mengusiknya, sebab urusan itu yang tahu jawaban sesungguhnya Pak Jokowi sendiri

Dari info yang saya dengar di istana, saat itu ada kebutuhan untuk mengakomodasi Muhammadiyah dan memberikan kursi menteri pendidikan yang sudah menjadi spesialisasi ormas Islam itu. Pilihannya jatuh ke Muhadjir Effendy, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Akal sehat saya menyebut, Anies memang digantikan oleh orang yang lebih baik darinya untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara Anies lebih mudah di-reshuffle karena ia tidak mewakili partai politik atau ormas manapun. Mengingat dalam sistem pemerintahan dan budaya politik di Indonesia, mengganti seorang menteri dari jalur profesional seperti Anies, jauh lebih mudah dari menteri sodoran parpol.

 

***

 

Kembali ke siapa kader PDIP sekarang yang kompeten melawan Anies Baswedan, yang berlatarbelakang profesional dari akademisi ini?

Untuk ukuran obyektif, saya juga menggunakan hasil survei Indikator Politik Indonesia terbaru. Lagi-lagi, kader PDIP yang jadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, berada di peringkat pertama dengan elektabilitas mencapai 29 persen. Ini bila Ganjar maju sebagai calon presiden (capres) 2024.

Dalam survei dengan simulasi 19 nama ini, elektabilitas Ganjar jauh berada di atas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang berada di posisi kedua dengan raihan 19,6 persen dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 17,4 persen. Sedang posisi ketujuh adalah Ketua DPR RI Puan Maharani 1,9 persen.

Nah, berdasarkan hasil survei sampai awal Oktober 2022, secara realistis elektabilitas Ganjar, jauh meninggalkan Puan Maharani.

Tapi PDIP, rencananya baru akan mengumumkan capresnya bulan Juni 2023.

Bisa diduga, PDIP menunggu kenaikan elektabilitas Puan. Mungkinkah dalam waktu delapan bulan elektabilitas Puan, bisa menyalip Ganjar?.

Dalam politik dan dunia survei, tidak ada kata yang tidak mungkin. Tapi menggunakan akal sehat, performance Puan dan Ganjar, di publik, sudah bisa dibaca siapa yang lebih kompeten mewakili basis PDIP.

Apalagi menghadapi Anies, seorang akademisi. Dalam catatan saya, Anies lihai bernarasi. Sampai Gus Miftah dan Ahok, menyebut Anies pandai bersilat lidah?

Mampukah bila berdebat di TV yang ditonton puluhan juta rakyat Indonesia, Puan bisa mengimbangi kecerdikan Anies yang punya kumpulan kata-kata indah untuk berkelit. Apalagi bila dalam debat publik, Anies yang kuliah di luar negeri menggunakan pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris? Pertanyaan ini saya ungkap, karena satu minggu yang lalu saya dikirim video cara Puan berpidato dalam bahasa Inggris disertai sosok AHY yang juga sekolah di luar negeri. Puan tampak berlepotan. Padahal seorang presiden berbaur dengan banyak kepala negara. Dan ini berbahasa Inggris.

Nah, Anda sebagai calon pemilih presiden 2024 bisa menilai secara akal sehat. Siapa yang layak jadi capres dari PDIP untuk Pilpres 2024 mendatang untuk menandingi kepiawaian bernarasi Anies Baswedan. Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Akal sehat saya (yang tak punya hak prerogatif) menunjuk Ganjar Pranowo. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU