Lestarikan Seni Pewayangan yang Penuh Nilai-Nilai Sosial

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 16 Apr 2021 09:20 WIB

Lestarikan Seni Pewayangan yang Penuh Nilai-Nilai Sosial

i

Ki Basuki Singowijoyo saat menunjukkan koleksi wayang di sanggarnya. SP/ TRG

SURABAYAPAGI.com, Trenggalek - Untuk terjun di dunia pedalangan harus memiliki kemampuan intelektual, juga harus bisa menafsirkan dan menyalurkan pengetahuan itu dengan bahasa tutur yang mudah dipahami masyarakat luas, salah satunya Basuki Widodo atau biasa dipanggil Ki Basuki Singowijoyo merupakan seorang dalang asal Desa Duren, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek.

Ki Basuki Singowijoyo mengatakan, seni budaya wayang kulit menjadi satu-satunya media penyaluran nilai-nilai sosial yang dikemas mudah dipahami untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang madani.

Baca Juga: Truk Terperosok ke Jurang, 3 Orang Luka-luka

"Wayang itu menyampaikan nilai filosofi tatanan, tuntunan, dan tontonan. Yang memadukan mulai unsur seni rupa, suara, tari, pahat, ukir, hingga, dan kendang. Sehingga menciptakan seni yang padu," ungkap ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kabupaten Trenggalek itu.

Tak ayal, Ki Basuki mampu menafsirkan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Dengan tujuan, seseorang tak mudah menjustifikasi tiap fenomena sosial. Karena rangkaian nilai filosofis dari wayang secara langsung memengaruhi jiwa pedalang karena sebelum pentas, seorang pedalang harus menguasai cerita hingga ke akar-akarnya.

"Suatu misal, Islam kejawen memang belum beteh (seperti fasih) dalam melafalkan surat-surat. Namun bukan berarti dijustifikasi dosa atau tidak. Sebab, hanya Pencipta yang menilainya. Untuk itu, Tuhan menciptakan masyarakat dengan segala perbedaannya," jelas alumni Unibraw tahun 1996 ini.

Baca Juga: Lestarikan Tradisi Ruwat Desa, Pemdes Kedung Kembar Gelar Wayang Kulit

Selain itu, menurutnya dalam memahami nilai-nilai filosofis dari wayang, tak lepas dari memahami jenis-jenis lakon. Misal lakon babon, sanggitan, atau carangan. Apabila ditotal, lakon selalu berkembang dari masa ke masa. Bahkan lebih dari 100 lakon. Namun dapat ditandai, tiap lakon yang terlahir bermula dari lakon babon.

"Dari cerita Ramayana, karakter protagonis dan antagonis itu dibalik, yakni ketika Sinta itu diculik Prabu Dasamuka itu alasan Dasamuka yang tak rela karena Sinta diperlakukan baik oleh Rama Wijaya," ungkapnya.

Diakuinya, cerita tersebut sebetulnya keluar dari pakem yang ada bahwa cerita yang sebenarnya. Melainkan sebenarnya Rama menyelamatkan Sinta karena diculik Dasamuka. "Memang menjadi pro kontra di pedalangan karena menyangkut pakem," sambungnya. Kendati begitu, inovasi dalang-dalang tersebut dapat memberi nuansa baru dalam cerita wayang.  

Baca Juga: BPKAD Memastikan Anggaran Rp 600 Juta untuk Kegiatan Pendalangan Bukan Hibah

Dalam dunia wayang banyak sekali nilai-nilai sosial yang diambil dari cerita wayang, sekalipun nilai sosial dari Kumbakarna. Menurut Ki Basuki, Kumbakarna memang dari bangsa Kurawa atau bangsa Buta.

Namun, karena jiwa nasionalismenya, dia rela mengorbankan nyawanya untuk bangsanya. "Kumbakarna ikut berperang karena jiwa nasionalismenya, bukan membenarkan tindakan Dasamuka yang menculik Sinta," kata ayah tiga anak tersebut. Dsy5

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU