Lora dan Gus, Bahas Penghapusan PT 20 persen, bersama La Nyalla

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 24 Jan 2022 20:28 WIB

Lora dan Gus, Bahas Penghapusan PT 20 persen, bersama La Nyalla

i

La Nyalla

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya- Kini giliran para Lora dan Gus yang tergabung dalam Asparagus, membahas penghapusan PT 20 persen. “Saya berharap penghapusan PT 20 persen semakin meluas. Karena kedaulatan negara ini ada di tangan rakyat,” ujar LaNyalla.

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, kedaulatan negara berada di tangan rakyat, bukan partai politik. Ia pun berharap dukungan terhadap penghapusan presidential threshold (PT) 20 persen terus meluas.

Baca Juga: 1500 Anggota Pemuda Pancasila Siap Kawal Pendaftaran Ketua MPW La Nyalla M Mattalitti Siang Nanti

“Saya berterima kasih kepada para Lora dan Gus yang tergabung dalam Asparagus, yang telah menggelar diskusi dengan tema penghapusan PT 20 persen. Saya berharap hal seperti ini semakin meluas. Karena kedaulatan negara ini ada di tangan rakyat,” kata LaNyalla saat membuka Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Aspirasi Para Lora dan Gus (Asparagus) bertema ‘Mengapa Presidential Threshold 20 Persen Harus Dihapus?’, Senin (24/1/2022), di Surabaya.

“Setelah Amandemen Konstitusi di tahun 1999 sampai 2000, kekuasaan yang dimiliki partai politik sangat besar. Bahkan menjadikan partai politik, melalui fraksi di DPR RI, satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” imbuh LaNyalla.

 

Kewenangan DPD Terbatas

Menurut LaNyalla, setelah Amandemen, kedaulatan rakyat diserahkan melalui pemilihan langsung di dua kutub, yakni di parlemen, kepada partai politik dan perorangan peserta pemilu, yaitu anggota DPD RI. Lalu kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung. Sehingga DPR RI, DPD RI dan Presiden menjadi sejajar.

“Ironisnya, kewenangan DPD RI menjadi sangat terbatas kalau dibandingkan dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di masa lalu. DPD RI tidak punya kewenangan mengusung dan memilih calon presiden di forum MPR. Saat ini, hanya partai politik yang bisa menentukan calon presiden dan wakil presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih,” papar Senator asal Jawa Timur itu.

Hal ini bisa terjadi karena dengan kekuasaannya, partai politik melalui fraksi di DPR membentuk Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang Batas Pencalonan Presiden atau PT. Padahal, jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, menurut LaNyalla, PT ini penuh dengan mudarat.

“Ambang batas pencalonan presiden itu membuat polarisasi yang tajam di masyarakat karena minimnya jumlah calon. Buktinya sampai saat ini bangsa ini masih gaduh, sesama anak bangsa masih terpecah dan berselisih,” tuturnya.

Baca Juga: Ketua DPD Pantau Kesiapan Distribusi Beras di Jatim Jelang Lebaran

 

Partai Kecil Tak Berdaya

Selain itu, ada beberapa persoalan mendasar yang menjadikan PT 20 persen penuh keburukan. Antara lain PT itu tidak sesuai dengan konstitusi. Karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.

“Presidential threshold juga mengerdilkan potensi bangsa. Di mana, kemunculan calon pemimpin digembosi aturan main yang otomatis akhirnya mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaik,” ujarnya.

Belum lagi jika dilihat dari sisi partai politik sendiri. Dengan adanya presidential threshold, partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20 persen, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar.

Baca Juga: PHRI Jatim Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Pariwisata

“Mereka akhirnya bergabung. Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partai-partai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti di beberapa Pilkada,” jelasnya.

Selanjutnya, PT dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi. Ternyata justru sebaliknya.

“Secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya, yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Melihat persoalan bangsa yang kompleks itu, LaNyalla hanya mengajak semua pihak untuk menggunakan kerangka berpikir sebagai Negarawan, bukan sebagai politisi. “Negarawan tidak pernah berpikir ‘next election’, tetapi berpikir ‘next generation’,” ujar Nyalla. n alq, dna

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU