Mafia Alkes di Jatim Diduga Masih Ada!

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 15 Jun 2020 21:17 WIB

Mafia Alkes di Jatim Diduga Masih Ada!

i

Ilustrasi karikatur

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Desakan dari politikus Gerindra Surabaya, agar temuan obat Covid-19 oleh tim farmasi Unair mendapat perlindungan dari jaringan mafia obat dan alkes, mendapat respon positif dari pejabat Polda Jatim, Pemprov Jatim, Dinas Kesehatan, Asosiasi pengusaha kesehatan, Kadin Jatim sampai Kejaksaan Tinggi Jatim.

“Dari data di Polda dan Pemprov Jatim, mafia alkes dan obat di Jatim masih ada, karena selama ini pelakunya belum pernah diseret sampai ke Pengadilan,” jelas pejabat di Pemprov Jatim yang sedih mafia alkes yang mengusik APBD Jatim masih belum tersentuh hukum.

Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi

Narasumber penegak hukum, Depkes dan Pemprov Jatim ini dihubungi terpisah oleh tim wartawan Surabaya Pagi, Senin kemarin (15/6/2020).

“Oknum yang diduga mafia alkes masih ada, hanya pejabat yang dekat dia sudah pensiun. Saatnya penegak hukum di Jatim berani tangkap dia, sebab bukti-bukti keterlibatannya belum kadaluarsa, biar di Jatim tak ada mafia alkes dan obat,” ungkap pejabat di Polda dan Pemprov Jatim.

Surabaya Pagi tahun 2018, pernah menelusuri sepakterjang pria yang diramaikan monopoli alkes dan obat di beberapa rumah sakit pemerintahan. Termasuk undercover di kantornya “praktek dokter gigi JetZet” di Jalan Semolowaru Surabaya.

Pria ini dikalangan penyidik Polda bernama drg David Andreasmito, terakhir saat hasil investigasi dugaan mafia alkes akan diturunkan ada telepon dari seorang penegak hukum yang mengaku teman dekat drg David. Penegak hukum ini kini sudah pensiun. “Dia memang dokter gigi, tapi bisnisnya alkes,” ungkap seorang pengusaha alkes Surabaya.

 

Omzetnya Sangat Besar

Sementara itu, sejak menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara tahun 2019, Menteri BUMN Erick Thohir mengakui adanya mafia obat-obatan dan alat kesehatan. Bahkan beredarnya obat-obatan illegal dan impor alat kesehatan di Indonesia sampai sakarang omzetnya diduga sangat besar.

“Pak Menteri pernah dimintai penjelasan oleh Komisi VI DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima,” kata seorang pejabat di Kementerian BUMN, saat dihubungi Surabaya Pagi, Senin siang (15/6/2020).

Bahkan, beredarnya mafia obat-obatan dan mafia alkes itu sudah beredar di media sosial dan media mainstream.  "Dari saya, sekarang ini yang muncul di medsos maupun (media) mainstream adalah soal memanfaatkan situasi oleh mafia obat dan alat kesehatan," tambahnya.

Pihaknya meminta penjelasan praktik impor alkes yang katanya menjadi ladang keuntungan bagi para mafia, yang saat ini dituduhkan jika BUMN masuk ke dalam lingkaran tersebut.

"Akhirnya masuk ke lingkaran-lingkaran pemburu rente yang sekarang dituduhkan masuk ke lingkaran-lingkaran termasuk BUMN maupun private maupun pengusaha swasta. BUMN farmasi akan melakukan pencegahan, agar masyarakat transparan dan jangan ada yang berkolaborasi dengan politisi," jelasnya.

"Saya kira penting supaya mafia-mafia ini tidak memanfaatkan situasi yang ada termasuk obat obat covid, “ terangnya.

 

Tak Menampik

Tentang sinyalemen mafia alkes dan obat-obatan, holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor farmasi, saat ketemu dengan DPR-RI menyatakan tidak terlibat dalam praktik mafia alat kesehatan (alkes). Tapi mereka tidak menampik hal semacam ini mungkin saja dilakukan oleh oknum di luar BUMN di tengah pandemi virus Covid-19 ini. "Nah apa-apa yang kami lakukan untuk BUMN, kita tidak mungkin melakukan itu," katanya menirukan pernyataan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI secara virtual, Selasa (21/4/2020).

Dia menjelaskan bahwa BUMN memiliki dua fungsi, yaitu agent of development dan perusahaan yang dituntut untuk memperoleh keuntungan. Namun di tengah pandemi COVID-19 ini, pihaknya tak memanfaatkannya dengan menaikkan harga, karena menempatkan diri sebagai agent of development.

Dia mencontohkan, saat masker langka, Kimia Farma masih menjual masker dengan harga terjangkau, Rp 2.000 per pcs. Sementara pihak lain, menurutnya mungkin sudah menjual di harga Rp 10.000 dan sebagainya. Belum lagi soal beberapa obat klorokuin, yang diklaim bisa menjadi obat anti Corona. Apotik dibawah naungannya juga masih menjual dengan harga pasar.

Tapi BUMN saat ini hanya sebagai distributor beberapa alkes dan obat. Belum menjadi produsen. Untuk itu mereka membutuhkan kepastian suplai agar harga tak merangkak naik. Dalam menyuplai kebutuhan alkes yang belum bisa mereka produksi sendiri, pihaknya juga bertransaksi langsung dengan pabrikan untuk menghindari praktik mafia.

"Di sini lah mungkin karena terjadinya demand yang sangat tinggi mulai ada yang bermain sehingga harga naik. Tapi kami pastikan bahwa BUMN farmasi tidak melakukan itu (praktik mafia) dan kita juga berusaha untuk melakukan deal langsung dengan pemilik teknologinya (pabrikannya)," tambah dia.

Baca Juga: Awas Covid-19 Varian Kraken, Tingkat Penularannya Cepat

 

Lewat Broker

Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkapkan modus mafia alat kesehatan (alkes) yang belakangan jadi sorotan, kemungkinan besar praktik tersebut terjadi karena impor alkes dilakukan lewat broker alias perantara tertentu. "Saya tidak mengatakan mafia itu tidak ada, tapi pada kondisi seperti ini pasti ada yang berusaha untuk memanfaatkan kesempatan seperti itu, apalagi kalau kita bermain dengan broker," tambahnya saat bertemu dengan wakil rakyat.

Jadi kesepakatan yang dilakukan untuk mengimpor alkes atau obat tertentu dilakukan melalui broker, tidak bertransaksi langsung dengan pabrikannya. Pihaknya berusaha sebisa mungkin menghindari hal semacam itu.

"Nah permasalahan yang muncul dengan adanya isu mafia alkes, mafia farmasi ini karena mungkin deal-nya melalui broker atau melalui perantara tertentu. Tapi yang kami lakukan strateginya kita berusaha untuk melakukan deal langsung dengan pabrikannya. Kita dibantu teman-teman KBRI," jelasnya. Terlebih di tengah pandemi virus Covid-19 permintaan terhadap alkes meningkat pesat sementara suplainya terbatas sehingga memicu hal-hal yang tidak diinginkan. "Terkait mafia alkes ataupun mafia obat-obatan, ya menurut kami ini memang permasalahan yang hampir pada saat pandemi, di mana demand-nya jauh lebih tinggi daripada suplainya sehingga ada kelangkaan suplai, apalagi juga proses ekspor-impor itu tidak berjalan mulus karena masing-masing negara juga melakukan pembatasan-pembatasan," lanjut dia.

"Makanya strategi kami adalah kita langsung untuk produk-produk ataupun alkes yang tidak kita miliki, kita langsung deal dengan pabrikannya untuk menghindari adanya kecenderungan nanti harganya akan naik," tambahnya.

 

Jalur Tidak Legal

Sementara, terkait adanya mafia obat di Indonesia, diungkap oleh salah satu pengajar dan peniliti Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Indonesia. Sebagai salah satu contoh masih beredarnya zat Carisoprodol yang terkandung dalam pil PCC (Paracetamol, Caffein, Carisoprodol). Sejak tahun 2013, penggunaan zat itu dianggap berbahaya. Tetapi masih saja bisa ditemukan di Indonesia.

Terbukti dari sejumlah pabrik yang digerebek di beberapa wilayah di Indonesia, puluhan ribu butir pil PCC diproduksi. Bahan baku serbuknya bahkan dari India. Tentu jalur distribusi ini tidak legal.

Baca Juga: PPKM Dicabut, Dinkes Kabupaten Mojokerto Tetap Siagakan Ruang Isolasi

“Produsennya kan sudah dilarang sejak tahun 2013. Artinya ini pasar gelap. Ditengarai benar jika ada yang menyebut mafia obat bermain,” kata seorang pengajar dari Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Indonesia. Jika itu benar terjadi, ada dugaan permainan bisa sampai kepada pemalsuan dokumen-dokumen yang mempermudah pasokan obat bisa masuk ke tanah air.

Staf pengajar ini juga meyakini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sudah mengantongi laporan dari intelejen kepolisian. “Pasti BPOM dan polisi juga sudah mengendus informasi tersebut. Dokumen-dokumen impor bisa jadi dipalsukan,” tegasnya.

 

Disuplai dari India

Sementara Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengaku sempat menahan informasi terkait pembelian bahan baku obat dari India. Sebab, saat ini tengah terjadi perang bahan baku obat. Ia khawatir jika informasi terbuka ke publik terlebih dahulu, pembelian bahan baku obat itu 'dipotong' oleh pihak lain. Hal ini sebagaimana terjadi di negara lain.

"Karena perang rebutan bahan baku obat juga, tolong jangan beritakan, saya khawatir nanti ketika nanti diberitakan menyebar dunia kita belinya jangan-jangan dipotong di tengah jalan," katanya dalam sebuah diskusi online, Belum lama ini.

Dia menyebut adanya mafia sehingga membuat harganya menjadi mahal. "Kemudian ventilator, terbukti ternyata Indonesia nggak ada yang bikin ventilator. Akhirnya apa, perang ventilator, ya udah dapat juga, tapi harganya sudah gila-gilaan di dunia dan ini udah mafia dunia, bukan lagi lokal, mafia dunia," ia mengungkapnya.

Saat dikonfirmasi apakah mafia dunia atau lokal, Arya mengatakan keduanya termasuk, alias campur-campur. Dia menjelaskan, pihaknya telah mengumpulkan perguruan tinggi hingga industri otomotif. Terbukti, mereka bisa membuat ventilator meski bukan untuk ICU.

Artinya, lanjut Arya, selama ini ada yang doyan untuk berdagang atau trading, tidak membangun industri dalam negeri."Lalu kita selama ini kita ngapain, kenapa impor, berarti kita selama ini ada trader, senang trading, di sinilah Pak Erick mengatakan ini pasti ada memaksa supaya trading terus bukan bikin produk. Ternyata terbukti bisa bikin ventilator," ia menambahkan. n jk/erk/cr2/rm

 

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU