MATA-MATA KOTA

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 15 Sep 2017 00:21 WIB

MATA-MATA KOTA

SEPEKAN ini terus membuncah keragaman peristiwa yang menarik disorot. Tragedi kemanusiaan yang menimpa warga (muslim) Rohingya terus mewarnai perjalanan nestapa yang menyedot perhatian internasional. PBB mengutuk dan kita di Surabaya pun membangun solidaritas. Jumat hari ini sampai Ahad (15-17 September 2017), acara demi acara digelar di berbagai kota nusantara untuk mengetuk hati dari tangis yang bergema di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Teror yang dialami etnis Rohingya semakin menindih batin kita semua, tat kala kian marak kepala daerah atau pejabat politik maupun birokrasi yang terkena OTT akibat laku korupsi yang tidak jemu-jemunya. Perang kuasa antara DPR RI dan KPK tak luput menggedor jua plafon bernegara yang tampak semakin gaduh tanpa peduli nasib rakyat yang terkoyak keadilannya. Kekeringan, kebakaran hutan, penjarahan lahan atas nama menjalankan program sosial yang legal, tetapi sejatinya menjagal kawasan konservasi dengan menyembelih luas hutan untuk dibagi ke warga sekitar, sehingga hutan menyempit, sumber air berkurang, dan rakyat secara luas nelongso berburu air untuk kebutuhan MCK. Lebih dari itu, penguasa dan pengusaha ada yang mempertontonkan laku pembangkangan hukum. Kawasan kota baru diiklankan besar-besar dan dibangun meski diberitakan persyaratan hukumnya yang lengkap sedang diproses. Bahkan terjadi penjungkirbalikan tata ruang industri menjadi areal properti kelas wahid di Indonesia untuk menyaingi Ibu Kota Negara. Semua sangat kasat mata dan kondisi ini dibiarkan berjalan walaupun hukum diterabas, serta rekomendasi otoritas negara yang disuarakan tengah diabaikan. Semua hal itu menguras energi kita dan jangan lupa bahwa tabiat melanggar itu dapat menginspirasi orang untuk nekad mengakali hukum, karena pengembang besar yang tidak lengkap syaratnya diperkenankan terus mempongahkan diri, sementara itu pembangun rumah kelas PKL acapkali digaruk, karena syarat hukumnya belum lengkap. Potret problematika hukum itu semakin menumpuk, dikala Pembaca yang tinggal di kawasan perbatasan juga menyorongkan dan menuangkan beragam masalah yang membutuhkan perhatian pemerintah untuk dibuatkan kontemplasi. Hadirnya daerah otonomi baru yang khusus di wilayah perbatasan perlu diberi solusi dan pengabsahan demi keutuhan NKRI. Hal ini akan saya ulas khusus di bulan Oktober. Begitu janji saya kepada para tokoh adat maupun politik yang terus mengawal NKRI dari garis-garis terluar negeri ini. Hari ini, saya harus memberikan curahan batin atas hasil diskusi dengan berbagai kalangan yang meminta permenungan terhadap pemasangan CCTV di Kota Surabaya. Sebuah perspektif yang menyentuh dalam menyikapi e-Tilang dengan media CCTV (yang menilik dari sisi-sisi narasi non-pasal). Ya ... memang Surabaya kini kembali menggebrak perbincangan publik melalui apa yang ramai diomongkan: tilang melalui CCTV (Closed Circuit Television). Di berbagai penggal jalan protokol Surabaya dapat ditemukan alat peraga CCTV yang diorganisir Pemerintah Kota dan Kepolisian Surabaya. Suatu inovasi yang melengkapi Adaptive Traffic Control System (ATCS) yang mengatur waktu signal timing secara real time mengenai kondisi transportasi. Hal ini meneguhkan keberadaan jaringan Intelligent Transport System (ITS) sebagai instrumen manajemen transportasi berbasis teknologi agar tercipta lalu lintas yang beradab. Pemegang otoritas kota ini memang tak henti berkreasi usai beragam prestasi di raih dalam kancah global atas kemampuannya menghelat The Third Session of The Preparatory Committee for United Nations Habibat (Prepcom-3 UN Habitat III), 25-27 Juli 2016 lalu, di samping penghargaan Adipura Kencana setiap tahunnya, termasuk di 2017 ini. Wooowwww .... Surabaya menjadi sangat tematik sebagai Kota CCTV seperti di banyak negara maju untuk mengatasi kebinalan warganya yang acapkali nekat menerabas aturan. Tatkala marka dan rambu lalin di Kota Pahlawan dikira pajangan penghias taman, sehingga polisi dibuat kewalahan, maka penggunaan perangkat kamera video digital CCTV menjadi pilihan terakhirnya. Dengan CCTV dapat dipantau situasi secara nyata agar laku bar-bar dapat dihentikan. Dalam pekan ini dampak pemasangan CCTV di Surabaya sudah dapat dirasakan. Akhlak pengendara lumayan tertib. Bandingkanlah tingkah polah teman-teman pengendara kendaraan bermotor selama ini. Sempatkan duduk-duduk di areal traffic light, Anda akan menemukan tingkah pola tidak patut. Meskipun tidak dapat digeneralisir, tetapi terlukis jelas mayoritas pengendara sepeda motor tidak berhenti dengan sabar sesuai dengan marka jalan yang mengaturnya. Inilah cermin jalanan yang dirasa menjadi renungan punggawa Balai Kota (yang krenteg masang CCTV). Mengapa rambu lalin tidak lagi berharga dan berkesan? Mereka saling serobot seolah hendak menunjukkan kapasitasnya sebagai yang paling berhak menang. Mungkin mereka menganggap dirinya laksana penguasa tunggal yang memiliki wewenang penuh atas jalanan Surabaya, dan orang lain harus mengalah. Ah nggilani. Membidik lalinnya, di rimba Surabaya hukum seperti ranting-ranting norma tanpa makna yang mudah patah. Hukum lalin tidak ubahnya hanya secarik aksesoris perkotaan yang terlirik kehilangan martabat. Berbagai macam kasus kriminal yang menghiasi Kota Surabaya merupakan bukti aktual gerakan peminggiran hukum yang terus saja terjadi dengan begitu benderangnya. Namun apa yang dapat dilakukan aparat lalu lintas perkotaan? Debat dan bersengkurat dengan penguasa jalanan. Adakah ini mencerminkan kesemrawutan batin warga Kota Surabaya, atau ini melambangkan adanya bencana keruntuhan bertata krama? Saatnya telah tiba merias kota tercinta. Surabaya harus tampil mempesona dan menarik secara humanis, ekologis, planologis, dan yuridis melalui gerbang lalinnya. Khalayak membutuhkan lalin yang menyehatkan nurani dan jasmani di sebuah kota yang berbilang metropolitan. Mewujudkan Surabaya yang damai dan elegan dengan melakukan pertobatan berkendara yang ugal-ugalan dengan pemasangan CCTV merupakan kebutuhan. Hari ini merupakan momentum berbenah bersama Pemerintah dan kepolisian dengan e-Tilang berkoridor CCTV. Semua stakeholders perkotaan wajib berkontribusi mengisi dan merias kota agar semakin canggih. Dengan CCTV itu diharapkan pula dapat meredam masalah keamanan yang kian fenomenal. Tindak kekerasan yang senantiasa menggejala, dan terjadi setiap saat di jalan-jalan perkampungan musti dihentikan. Kita selalu dikejutkan oleh perilaku kasar dan bringas yang mencelakakan warga kota. Kasus perampasan harta dengan korban nyawa sering mencuat ke permukaan. Ini amat mengerikan. Kapan di antara warga kota bisa saling menyapa dan hidup rukun dalam dekapan kasih kemanusiaan tanpa pembegalan. Kota ini terkesan pula kehilangan humanitasnya dalam takaran probabilitas dalam lintasan kejahatan jalanan. Kehadiran gerakan taat hukum dan berperilaku santun dengan gemerlap CCTV diyakini sebagai pilihan tepat. Kalau di Eropa dan Amerika sudah lumrah dan biasa disorot CCTV, kita pun layak bercermin untuk bisa sejajar berperadaban maju. Marilah kita resapi penuh arti ungkapan sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, Hermann Hesse (1877-1962) seperti tersebut di atas dalam terjemah indah Agus R. Sarjono (2015): Samar-samar menghampiri. Kita cinta ia yang serupa kita, Kita memahami Yang ditulis angin pada pasir. Tentu bagi warga Surabaya, rekaman CCTV yang dihampiri, yang menghampiri, yang membidik, pastilah lebih dipahami. CCTV telah menjadi sandi telisik yang berimplikasi sosial maupun legal sampai pada rekam jejak kultural. Inilah mata kota yang menurut bahasa fotografer profesional Surabaya Deny R. Kusuma, sang pemanggul lensa menyebutnya CCTV itu sebagai mata-mata kota.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU