Menakar Kredibilitas Lembaga Survei

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 03 Okt 2017 23:52 WIB

Menakar Kredibilitas Lembaga Survei

Belakangan ini, partai politik sibuk menentukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan bertarung di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Salah satu indikator untuk menentukan kandidat pasangan calon yang akan dimajukan dalam Pilgub adalah tingginya elektabilitas calon yang ditentukan melalui survei. Menjelang penentuan calon dan pelaksanaan Pilkada, muncul lembaga survei bak jamur di musim hujan. Bahkan sudah pada taraf industri lembaga survei, di mana berlaku hukum pasar ada permintaan dan ada penawaran (supply and demand). Pertanyaannya, sejauh mana kebutuhan dan kredibilitas industri lembaga survei dalam Pilgub tahun depan? Rekam jejak lembaga survey merupakan salah satu aspek untuk menentukan kredibilitas lembaga survei. Rekam jejak lembaga survei bisa dilacak dengan mengamati sejauh mana lembaga survey melaksanakan survei dan mempublikasikan hasil survei serta kemanfaatan hasil survei bagi para pengguna atau masyarakat luas. Spesifikasi ruang lingkup survei juga menentukan rekam jejak lembaga survey, agar masyarakat tidak terjebak dalam istilah palu gada yang artinya apa lu mau gue ada. Maksudnya, lembaga survei yang serba bisa untuk melakukan survei apa saja. Bahkan lebih jauh lagi, meskipun ini biasanya tertutup, sumber dana survei berasal dari mana. Apakah dibiayai secara mandiri oleh lembaga survei, atau dari lembaga donor nasional dan internasional, personal, perusahaan atau usaha-usaha lain yang halal dan tidak mengikat. Sumber dana ini menjadi penting diketahui masyarakat agar kredibilitas lembaga survei terpercaya. Termasuk di dalamnya, apakah lembaga survei juga diaudit akuntan publik sehingga pertanggungjawaban laporan keuangan memenuhi unsur kebenaran, transparansi dan kehati-hatian. Rekam jejak sebuah lembaga survey ditentukan juga oleh keberadaan manusianya, dalam hal ini adalah pengurus dan para penelitinya. Paling tidak ada dua hal yang perlu dijadikan dasar untuk menilai kredibilitas para pengelola lembaga survey, yaitu integritas dan profesionalitas. Integritas menyangkut aspek moralitas dalam perilaku sehari-hari, baik menyangkut personal maupun hubungan sosial kemasyarakatan. Adapun profesionalitas ditunjukkan dengan kedalaman dan penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologi riset. Metodologi yang digunakan dalam survei juga akan menentukan kredibilitas proses dan hasil riset. Pertanyaan dalam kuesioner tidak boleh mengarahkan kepada pilihan-pilihan tertentu. Penentuan sampel juga menentukan representasi masyarakat yang menggambarkan keseluruhan populasi. Jadi, metodologi digunakan untuk mendapatkan hasil yang obyek dan apa adanya dari survei. Konsultan Politik Sejak Pemilu 2004 lembaga survei mampu menunjukkan kredibilitasnya dalam memaparkan hasil pemilu yang diketahui (sementara) dalam waktu 1-2 jam setelah penghitungan selesai, bahkan mampu memprediksi dengan presisi yang sangat akurat setelah TPS ditutup. Hal ini memberikan peluang besar bagi lembaga survei menjadi konsultan politik. Konsultan politik digunakan oleh partai politik dan kandidat calon untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu, pilpres dan pilkada. Entah siapa yang memulai, apakah lembaga survei yang menawarkan diri menjadi konsultan politik, ataukah partai politik dan para kandidat yang menghendaki lembaga survey menjadi konsultan politik. Namun yang pasti, ada simbiosis mutualisme antara partai politik/kandidat dengan lembaga survei/konsultan politik. Perkembangan terakhir, lembaga survei yang berubah menjadi konsultan politik sudah menjadi industri yang menghasilkan pendapatan yang menjanjikan. Banyak Program Studi yang menjadikan konsultan politik sebagai profil lulusannya, sehingga konsultan politik menjadi profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Memang tidak ada yang salah ketika lembaga survei menjadi konsultan politik, selama kedua belah pihak, yakni partai politik/kandidat dan konsultan politik mendasarkan perilakunya pada koridor etika politik serta tetap dalam sikap integritas dan profesionalitas. Namun, perlu diwaspadai bahwa industri konsultan politik bisa terjebak dalam pusaran dan orientasi profit. Dalam konstelasi politik yang liberal seperti pemilu di Indonesia menjadi agenda bagi para pemilik modal untuk terlibat secara langsung dengan memenangkan salah satu kandidat. Dengan memenangkan calon tertentu, mereka berharap mendapatkan imbalan proyek-proyek pembangunan yang padat modal. Atas dasar itulah, mereka para pemilik modal membutuhkan konsultan politik yang mampu menyusun strategi dan taktik yang jitu untuk memenangkan kandidat tertentu dalam pilgub. Apalagi kalau kemudian, konsultan politik, tanpa mengindahkan etika politik, memanfaatkan peluang tersebut dengan menawarkan harga yang tinggi atau memasang tarif yang tinggi dengan jaminan akan memenangkan kandidat tertentu dalam pilgub. Di sinilah, masyarakat harus diajak untuk secara cerdas mewaspadai lembaga survei yang telah meninggalkan khittahnya. Lembaga survei harus dikembalikan pada fungsi awal sebagai lembaga yang secara independen memberikan pendidikan politik kepada warga negara melalui serangkaian survei dan penelitian dengan mempublikasikan hasilnya secara transparan. (*)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU