Menggoreng Surat Ijo

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 17 Nov 2021 20:08 WIB

Menggoreng Surat Ijo

i

Catatan Dr. H. Tatang Istiawan

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul diatas sengaja saya buat untuk menarik pembaca. Realita, kasus surat ijo kini sudah menjadi konflik sosial antar warga kota Surabaya dan Pemerintah kota Surabaya. Maklum secara finansial, surat ijo sungguh menggiurkan. Baik, bagi Pemerintah kota Surabaya maupun warga kota Surabaya. Termasuk bagi makelar tanah. Tidak terkecuali Mafia tanah (bos berduit) dan spekulan tanah.

Bagaimana tidak?. Menurut catatan litbang Surabaya Pagi, luas seluruh tanah negara yang dikelola Pemerintah Kota Surabaya mencapai 14.963.717,29 m2 atau 1.496,37 hektare. Sementara tanah negara yang termanfaatkan untuk permukiman berlegalitas IPT atau tanah surat ijo mencapai tanah seluas 8.275.970,28 m2 atau 827,60 hektare atau sekitar 55,31 % dari seluruh luas tanah negara yang dikelola Pemerintah Kota Surabaya.

Baca Juga: KPU Surabaya Paparkan Seleksi Calon Panitia Pemilihan Gubernur dan Walikota Tahun 2024

Selebihnya masih belum atau tidak berstatus IPT, yakni seluas 5.980.963,47 m2 atau 598,10 hektare atau 44,69 % dari luas tanah negara yang ada.

Dalam catatan saya, tanah surat ijo tidak selalu berupa lahan kosong tanpa bangunan. Tapi juga ada tanah yang dihuni warga yang belum/tidak melaporkan diri ke Dinas Pengelola Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya.

Di samping itu, juga ada tanah yang berbentuk fasilitas umum (fasum) komersial seperti pasar, rumah sakit, per- tokoan, hotel, mall; dan fasilitas sosial (fasos) seperti taman kota, jalan, boezem, dan lain-lain yang non-komersial.

Sampai November 2021 ini, tanah-tanah surat ijo itu tersebar di 26 kecamatan dari 31 kecamatan yang ada. Kecamatan yang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Keca- matan Gubeng (Surabaya Selatan) seluas 1.923.767,44 m2 (192,38 hektare), kemudian Kecamatan Wonokromo (Surabaya Selatan) seluas 1.147.179,30 m2 (114,72 hektare). Sedang di tingkat kelurahan, diantara 163 kelurahan ada 88 kelurahan yang memiliki tanah surat ijo. Kelurahan yang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Kelurahan Ngagelrejo (Kecamatan Wonokromo) yakni 683.129,51 m2 (68, 31 Ha), kemudian kelurahan Baratajaya (Kecamatan Gubeng) seluas 650.625,23 m2 (65, 06).

Saya mencatat di dalam dokumen DPBT Kota Surabaya, tanah negara dikelompokkan berdasarkan status tanah. Ada Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), tanah Eigendom, tanah Besluit (pembelian pada zaman Belanda), hasil pengadaan Panitia Pengadaan Tanah untuk Negara (P2TUN), dan Tanah Negara Lain-lain (TNLL).

Tercatat di atas tanah surat ijo, ada 48.200 persil, belakangan jumlahnya berkurang menjadi 46.116 persil. Tentang jumlah persil ini secara administratif, tidak identik dengan jumlah hunian, karena ditemukan banyak kasus yaitu satu persil untuk dua hunian atau lebih.

 

Sementara penghitungan besaran retribusi yang ditanggung oleh warga penghuni tanah surat ijo di kawasan Bratanggede Kelurahan Ngagelrejo berbeda-beda.

Untuk luas tanah 185 m2 di jalan selebar 6 m atau jalan kelas IV, harga NJOP tanah yang tertera pada surat SPPT-PBB sebesar Rp1.147.000,-perm2. Penghitungan besaran retribusi yaitu,125x185xRp1.147.000,- sama dengan Rp 265.243,75.

Besaran retribusi ini bergantung pada lokasi kelas jalan, luas tanah, dan besaran NJOP yang telah ditetapkan di dalam Surat Pem- beritahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB). Artinya semakin tinggi kelas jalan dan semakin luas tanah, maka semakin tinggi pula besaran NJOP; Ini berkonsekuensi pada semakin tinggi besaran nilai retribusi. Bahkan, di beberapa kawasan rumah hunian tanah surat ijo, besaran retribusinya lebih tinggi dari pada besaran PBB. Misalnya rumah-rumah hunian surat ijo di jalan Baratajaya, Ngagel Madya, Pucang Anom, Dukuh Kupang Barat, Dukuh Kupang Timur, dan lain-lain yang kelas jalannya di atas 12 m (Kelas I dan II).

Contoh hunian ini terletak di jalan yang lebarnya di atas 15 m (Kelas I), maka besaran retribusi 0,200% x 185 x Rp 1.147.000,- sebesar Rp 424.390,-. Jadi, hampir sama dengan besaran PBB (Rp 450.660,- ). Oleh karena itu, di kalangan warga kota, tanah surat ijo biasa disebut “tanah berpajak dobel”. Beda dengan hunian yang bersertifikat HM, maka hanya dibebani PBB saja. Ironiskan!

 

***

Warga tahu sistem pengelolaan tanah surat ijo ditandai dengan satu beban retribusi (di samping beban PBB) pada warga penghuninya yang besarannya ditentukan dalam peraturan daerah.

Disini ada fenomena hubungan kontraktual antara dua pihak yang saling membutuhkan, yakni warga penghuni dan Pemerintah Kota Surabaya.

Dan seiring berjalannya waktu yang ditandai perubahan peraturan tentang pertanahan, timbullah hambatan interaksi antar keduanya. Ada situasi yang saling merasa sebagai pihak yang paling berhak atas tanah surat ijo yang berlanjut. Dan ini timbulkan konflik interest antar keduanya. Nyatanya, warga masih berdemo menuntut haknya seperti Demo Selasa kemarin (15/11/2021).

Bagi praktisi hukum, legalitas menyewakan tanah-tanah negara hasil konversi tanah hak Barat l dimulai sebelum pemberlakuan UUPA 1960, kemudian diformalkan pada tahun 1971, ketika diberlakukan Surat Keputusan (SK) DPR-GR Daerah Kotamadya Surabaya No. 03E/DPRGR-KEP/1971 tertanggal 6 Mei 1971 tentang Sewa Tanah. Dan selanjutnya, ketika sudah banyak tanah hak Barat yang dikonversi menjadi status Hak Pakai (HP) dan Hak Pengelolaan (HPL), maka konsep/istilah sewa tanah di atas tanah negara itu menjadi kurang tepat, bahkan tidak bisa dibenarkan; karena yang berhak menyewakan tanah adalah pemilik tanah atau pemegang sertifikat Hak Milik (HM). Kemudian, untuk menyiasati hal itu, diterbitkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No.22Tahun1977tentang Pemakaian dan Retribusi Tanah yang Dikelola oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Sejak saat itu Izin Sewa Tanah berubah menjadi Surat Izin Pemakaian Tanah (IPT).

Lalu berdasarkan pembaharuan dasar legalitas, terjadi penggantian istilah “sewa tanah” menjadi “pemakaian tanah”. Dua istilah tersebut sebenarnya mempuyai makna yang sama, yakni mewajibkan warga penghuni membayar sejumlah uang tertentu (retribusi) setiap tahun pada Pemerintah Kota Surabaya.

Nah di kalangan warga penghuni menyebut surat IPT yang bersampul warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau). Sebutan itu terus berkembang di kalangan warga Kota Surabaya, bahkan bisa dikatakan telah melegenda sebagai trade mark pengelolaan tanah negara di Surabaya.

Baca Juga: Gibran Absen di Otoda 2024 Surabaya, Mendagri Tito Bocorkan Alasannya

Dalam konteks ini muncul pertanyaan akal sehat apakah ketidaklaziman atau keunikan itu akan terus berlanjut tanpa ujung? Sampai era walikota Eri Cahyadi atau walikota berikutnya.

Bilamana berlanjut, adakah kesadaran bahwa hal itu bermakna sebagai bersinambungnya rasa ketidakadilan di kalangan warga penghuni tanah surat ijo, di samping rawan konflik?

Maklum, pengertian tanah surat ijo adalah permukiman rakyat di atas tanah negara dengan legalitas surat Izin Pemakaian Tanah (IPT). Surat ijo merupakan

Dan penguasaan/pemilikan tanahnya ditandai fenomena unik yaitu tanah surat ijo. Penguninya berada di permukiman di atas tanah negara. Maklum memasuki era Reformasi (1999) sebagian besar warga penghuni tidak lagi patuh pada peraturan yang berlaku. Bahkan, timbul solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo yang kemudian membentuk organisasi massa melakukan upaya untuk memperoleh hak milik atas tanahnya. Tak pelak, terjadilah konflik sosial antara keduanya. Berbagai upaya resolusi telah dilakukan mulai mediasi hingga di meja peradilan tertinggi belum bisa menyelesaikan. Juga pemberlakuan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang pelepasan asset. Policy ini sampai November 2021 ini juga belum dapat mewujudkan resolusi konflik. Praktis keberadaan tanah surat ijo, harus diakui sebagai jelmaan sistem sewa tanah pada era kolonial. Masya Allah ini juga telah menimbulkan dampak di semua segi kehidupan warga penghuni, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya dan psikologi.

Akal sehat saya di dalam upaya mencapai resolusi konflik, saatnya ada perubahan system tanah surat ijo.

Dan ini perlu keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antara beberapa kementerian yang terkait di Jakarta. Selain walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur.

Adanya konflik yang tak pernah rampung, tanah surat ijo adalah permukiman rakyat di atas tanah negara dengan legalitas surat Izin Pemakaian Tanah (IPT).

Negara, dalam hal ini Pemkot Surabaya harus mundur dari peran ganda ya perumus suprastruktur dan sebagai pemain di ranah basic-structur. Peran ganda ini menimbulkan kemudahan untuk melanggengkan penguasaan tanah negara sekaligus melanggengkan proses penghisapan, yakni melalui produk legislasi yang mendukung sinambungnya sistem tanah surat ijo.

Ironisnya, Perda dibuat sedemikian rupa se- hingga meyakinkan semua pihak bahwa Pemkot Surabaya sebagai pemilik sah atas asset tanah surat ijo.

Akal sehat saya berkata adanya keikutsertaan Pemkot Surabaya dalam ranah basic-structur telah menyeret Pemkot atas nama negara berhadapan langsung dengan rakyatnya sendiri.

Baca Juga: SK Kwarda Jatim Terbit, Semangat Baru Bagi Pramuka Jawa Timur

Bagi pengikut akal sehat, negara tidak dibenarkan berperan sebagai borjuasi. Mengingat negara harus berperan dalam basic structur.

Pengelolaan Surat ijo harus diserahkan pada badan hukum yang bergerak di ranah komersial, misalnya BUMD Pemkot Surabaya dan bahkan pihak swasta.

Jadi tindakan perlawanan yang dilakukan warga pemukim kali ini dalam perspektif strukturasi bisa dinyatakan sebagai tindakan voluntair dan kepeloporan (agency) sekelompok orang . Menariknya aksi warga diikuti oleh warga penghuni lainnya, walaupun tidak seluruh penghuni ikut serta secara aktif.

Saya amati ada penghu ni surat ijo yang terlibat aktif, memberi dukungan saja, dan yang apatis.

Dan warga yang terlibat aktif lakukan perlawanan terdiri warga yang ikut di dalam aksi-aksi massa, memboikot retribusi, rapat-rapat rutin, menjadi pengurus organisasi, hingga aktif dalam perjuangan di bidang ligitasi/peradilan.

Saya catat ada warga yang terlibat secara tidak langsung, yakni hanya memberikan bantuan dana untuk perjuangan namun tidak memboikot retribusi. Tidak sedikit penghuni surat ijo yang apatis yaitu hanya melihat/mendengar saja dan tetap membayar retribusi. Saya amati dari aksi-aksinya, hampir seluruh warga penghuni tanah surat ijo mendukung perjuangan mendapatkan status hak milik atas tanah huniannya, karena bila perjuangan berhasil, seluruh warga penghuni ikut diuntungkan.

Saya salut makin tahun pola dan karakteristik gerakan perlawanan warga penghuni tanah surat ijo dilakukan secara terorganisasi. Saya catat ada Gerakan Anti Surat Ijo Surabaya (Geratis), dan ada Gerakan Pejuang Hapus Surat Ijo Surabaya (GPHSIS). Alhamdulillah dua gerakan ini menyatu menjadi Perkumpulan Masyarakat Peserta Meraih Hak Milik Tanah (PMPMHMT) dengan Akte Pendirian No. 6 Tanggat 10 Septem- ber 2003 (PMPMHMT 2003, 2).

Saya catat karakteristik keanggotaan organisasi ini bercorak heterogen, tidak dibatasi oleh profesi, agama, etnik, golongan, kelas sosial, tingkat pendidikan, jabatan, penghasilan, dan lain-lain. sebagai organisasi yang prural.

Dan aksi demo di Kejati Jatim kemarin saya catatvbagian dari goreng-menggoreng surat ijo.

Suka atau tidak, demo dan aksi-aksi warga surat ijo adalah bentuk perlawanan warga penghuni sebagai pilihan rasional warga kota pemilik surat ijo. ( [email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU