Menko Luhut dan Menkes Budi, Gagal Total Atasi Covid-19

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 13 Feb 2022 20:23 WIB

Menko Luhut dan Menkes Budi, Gagal Total Atasi Covid-19

i

Luhut Panjaitan dan Budi Gunadi.

Demikian Ditegaskan Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie. Ia Bahkan Ingatkan Menkes tak Kompeten Tangani Pandemi Covid-19

 

Baca Juga: Luhut Penasaran, Taylor Swift tak Manggung di Indonesia

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Copot Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya dinilai sudah gagal total atasi Covid-19 sejak awal pamdemi tahun 2020. Publik mengetahui keduanya merupakan orang yang bertanggung jawab atas lonjakan kasus Covid-19 di tanah air.

Demikian dinyatakan Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, di Jakarta.

“LBP lempar handuk saja, gagal total tangani Covid-19. Menkes yang tak kompeten juga, kementerian ini bukan bidangnya,” ujar Jerry Massie di Jakarta, Minggu kemarin (13/2).

Data  Covid-19 Indonesia hingga Minggu (13/2/2022), Total kasus positif: 4.763.252 (harian +55.209); Total kasus aktif: 335.340 (+22.532); Total pasien sembuh: 4.282.847 (+32.570) dan Total korban meninggal: 145.065 (+107). Sementara total vaksinasi dosis 1: 188.060.706 dan total vaksinasi dosis 2: 135.209.233.

 

 

 

Varian Masa Depan

David Nabarro, utusan khusus Covid-19 untuk Organisasi Kesehatan Dunia, menyoroti ketidakpastian tentang bagaimana varian di masa depan  berperilaku.

“Akan ada lebih banyak varian setelah Omicron dan jika lebih menular, mereka akan mendominasi. Selain itu, mereka dapat menyebabkan pola penyakit yang berbeda, dengan kata lain mereka dapat menjadi lebih mematikan atau memiliki konsekuensi jangka panjang,” kata dia di Jenewa, Minggu (13/2/2022).

Nabarro mendesak pihak berwenang untuk terus merencanakan kemungkinan akan ada lonjakan jumlah orang yang sakit dan membutuhkan perawatan di rumah sakit.

 

 

 

Tahun 2022 Rp37 Triliun

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mencatat, total anggaran yang dibutuhkan untuk vaksin Covid-19 mulai tahun 2022 mencapai Rp37 triliun. Dari jumlah itu, dalam RAPBN 2021 tercantum alokasi Rp18 triliun untuk program vaksinasi.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pemerintah sudah mengestimasi uang muka yang dibayarkan di 2020 lalu sebesar Rp3,8 triliun.

Sementara angadaan Vaksinasi dan Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 tahun 2020 dan 2021  dibukukan sebesar Rp. 35,1 Triliun. Dana ini berasal dari APBN tahun 2020. Diantaranya digunakan untuk pengadaan Vaksin COVID-19 selama tahun 2020 (rincian: 3 juta dosis vaksin Sinovac yakni 1,2 juta dikirim tahun 2020,  dan 1,8 juta sisanya dikirimkan 2021 dan 100.000 dosis vaksin CanSino) serta untuk alat-alat pendukung seperti jarum suntik, alkohol swab, safety box, dan lainnya.

Anggaran ini diakui melonjak 26,48% dari estimasi sebelumnya yakni Rp 54,4 triliun. Untuk Tahun 2021, Pemerintah mengalokasikan sebesar Rp. 18 Triliun  ditambah realokasi 19,6 Triliun dalam APBN 2021 dan Rp 36,4 triliun dari sisa dana penanganan kesehatan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa anggaran tersebut belum bersifat final.

 

 

 

Gagal Kendalikan Covid-19

Menurut Jerry , pemerintah selama ini telah gagal dalam membuat program pengendalian Covid-19. Baik itu PPKM berlevel maupun vaksinasi.

Presiden Jokowi, sambung Jerry, terlalu percaya dengan apa yang disampaikan Budi Gunadi dan Luhut Pandjaitan. Sementara masukan dari para ahli dan peneliti sulit masuk dalam pendengaran Jokowi.

Bahkan ketika para pejabat sesumbar menyebut Indonesia sebagai salah satu negara terbaik dalam menangani Covid-19, Jokowi seolah terbius.

Tapi hebatnya pejabat kita tukang berkelit dan ngeles dengan sombognya mengatakan Indonesia terbaik dalam menangani Covid-19

“Padahal Indonesia nomor 5 di dunia vaksin terbanyak, tapi hasilnya tak terlihat. Saya tak habis pikir narasi pejabat kita yang tak pernah merendah akibat kegagalan menangani varian Omicron,” tutupnya.

 

 

 

Indikasi Kegagalan

Sementara Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang Wiratraman,  mencatat beberapa indikasi kegagalan dalam penanganan Covid-19. Pertama, meningkatnya kasus Covid-19 dalam belakangan terakhir. Situasi diperparah dengan kondisi sejumlah rumah sakit yang kehabisan ketersediaan oksigen yang mengakibatkan puluhan pasien Covid-19 meninggal. Ironisnya, tingginya angka tenaga kesehatan yang meninggal dunia.

“Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah abai, alih-alih menutup dan membatasi mobilitas, malah mempromosi mobilitas dengan berwisata,” ujar Herlambang Wiratraman dalam sebuah webinar di Jakarta, Senin (5/7/2021).

Kedua, lambatnya pemerintah dalam menyikapi ledakan kasus. Begitu pula instruksi yang diterbitkan hanya oleh kementerian dengan berdasarkan UU, semestinya oleh presiden. Ketiga, pemerintah terlampau fokus pada sektor ekonomi. Keempat, pemerintah masih denial akan ledakan kasus. Kelima, pemerintah tidak mengupayakan secara sistematik upaya testing, tracing dan treatment (3T), serta pembungkaman terhadap masyarakat yang mengkritisi penanganan pandemi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini menegaskan, kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi akibat tidak dikelola tanpa keberpihakan terhadap masyarakat rentan yang menjadi korban. Dia pun mempertanyakan kepekaan dan keberpihakan pemerintah terhadap hak-hak warga. Dia mengingatkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

 

 

 

Minim Transparansi

Ditempat terpisah, Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan, program vaksinasi Covid-19 mempunyai risiko korupsi yang tinggi. Tetapi di saat bersamaan, program tersebut minim transparansi.

Peneliti TII Agus Sarwono mengatakan, potensi korupsi bisa terjadi pada proses pengadaan vaksin. Sebab, prosesnya dilakukan secara darurat dan tidak menggunakan mekanisme pengadaan pada umumnya yang lebih terbuka.

"Potensi korupsi yang terjadi adalah saat penentuan harga dan jenis vaksin," jelas Agus dalam sesi diskusi "Pertemuan Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Open Goverment Partnership 2021", Selasa (26/10/2021).

Baca Juga: Okupansi Pesawat dan Hotel Singapura Naik Gegara Taylor Swift, Luhut Bakal Adakan Konser Tandingan

Menurut dia, pembelian vaksin dalam jumlah banyak tanpa mempertimbangkan distribusi ke masyarakat juga bisa berakibat pada pemborosan, termasuk kehawatiran vaksin rusak dan kadaluwarsa.

Selain itu, program vaksinasi gratis juga berisiko menimbulkan terjadinya fraud. "Risiko ini bisa terjadi bila ada pihak tertentu dengan sengaja menjual vaksin untuk dosis ketiga (booster)," imbuh Agus.

Di tahun anggaran 2021 lalu, pemerintah telah mengalokasikan anggaran program vaksinasi sebesar Rp57,84 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp47,61 untuk pengadaan vaksin dan sisanya sebesar Rp6,8 triliun untuk pelaksanaan vaksinasi.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020, metode pengadaan vaksin dilakukan melalui penugasan kepada PT Bio Farma, penunjukan langsung badan usaha, dan kerjasama dengan lembaga atau badan internasional.

Agus menegaskan bahwa metode pengadaan tersebut berisiko melahirkan konflik kepentingan, harga kemahalan, bahkan posisi pemerintah lemah dalam kontrak.

 

 

Kick back, Persekongkolan

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengamini bahwa proses pengadaan dalam keadaan darurat berpotensi terjadi penyimpangan.

Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP Setya Budi membeberkan, penyimpangan tersebut bisa berupa permintaan komisi atau kick back, persekongkolan antar penyedia untuk mengatur harga, hingga pengadaan fiktif.

Bahkan, kata Setya, situasi pandemi bisa saja dimanfaatkan "untuk menggunakan mekanisme pengadaan barang dan jasa darurat pada paket pekerjaan yang bukan untuk penanganan darurat."

Menurut Agus, bukan tidak mungkin risiko korupsi pada pengadaan vaksin memang terjadi di lapangan. Selain dilakukan melalui mekanisme pengadaan dalam keadaan darurat, proses pengadaan juga tidak dilakukan secara transparan.

 

 

 

Masyarakat Makin Sulit Diatur

Sementara Ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr. Windhu Purnomo, dr., MS mengingatkan penduduk Indonesia sebenarnya sudah kebal pada virus berbahaya itu.

Sebab, program vaksinasi Covid-19 telah mencapai lebih dari 60 persen.

Selain itu, banyak masyarakat yang sudah pernah terpapar virus Covid-19, akan memiliki kekebalan secara otomatis.

Maka, jangan heran bila saat ini masyarakat Indonesia sangat sulit diatur agar menjalankan prokes (protokol kesehatan).

Kita bisa melihat di jalan raya, banyak yang tak memakai masker, kegiatan nongkrong pun tetap berjalan.

"Kita sudah punya kekebalan hasil vaksin Covid-19. Sudah 60 persen untuk dosis kedua. Sedangkan lansia 50 persen, dan ada lagi tambahan booster," ungkap Windhu pada webinar virtual, Sabtu (12/2/2022).

Menurut Windhu, ada hal yang tidak disadari oleh masyarakat, yakni mereka yang telah terinfeksi sebenarnya telah mendapatkan kekebalan secara alamiah.

"Tahun lalu tiada sadar yang terinfeksi itu memberikan kekebalan secara alamiah,” ujarnya.

Baca Juga: Menkes Budi Gunadi, Salah Satu Incaran Menkeu di Kabinet Prabowo

“Survei yang dilakukan Kemenkes, Kemenlu dan universitas menemukan hasil bahwa 86,6 persen sudah punya kekebalan di tingkat masyarakat," lanjutnya.

Hal ini kata Windhu tentu menjadi sebuah kabar baik. Masyarakat telah memiliki modal sehingga tidak usah panik seperti menghadapi varian Delta.

Sehingga, prinsipnya adalah menegakkan protokol kesehatan sebagai perisai utama.

Ia lalu meluruskan jika sedari dulu vaksin Covid-19 tidak pernah mencegah penularan.

Namun mencegah terjadinya gejala berat bila tertular.

Tindakan yang mencegah diri dari terinfeksi sekali lagi adalah prokes. Jika abai, maka tubuh tidak dapat terhindar dari infeksi.

Sementara itu, SINOVAC Biotech Ltd. (SINOVAC) merilis data terbaru yang menunjukkan 95 persen individu yang telah menerima tiga dosis CoronaVac memiliki antibodi penawar terhadap Omicron.

Studi yang diterbitkan di bioRxiv ini diselenggarakan di Tiongkok dan meneliti respons imun CoronaVac, vaksin yang diinaktivasi propiolakton, pada 120 peserta.

Hasil dari penelitian mendukung penggunaan tiga dosis imunisasi karena tingkat serokonversi dari antibodi penetralisir terhadap Omicron meroket dari 3,3 persen (2/60) menjadi 95 persen (57/60) untuk rangkaian dua dan tiga dosis masing-masing.

Pada partisipan yang menerima tiga dosis, peneliti juga mengisolasi 323 antibodi monoklonal manusia yang berasal dari memori sel B, setengahnya mengenali receptor binding domain (RBD) dan menampilkan bahwa sebagian dari mereka (24/163) memberikan netralisasi pada SARS-CoV-2 variants of concerns (VOCs).

 

 

 

Varian baru Covid19

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebuah varian sebagai VOCs apabila dikaitkan dengan “peningkatan penularan atau perubahan merugikan dalam epidemiologi Covid-19, peningkatan virulensi atau penurunan efektivitas kesehatan masyarakat dan sosial atau pada fasilitas diagnostik, vaksin, dan terapi yang tersedia.”

Pearson Liu, juru bicara Sinovac menyampaikan, saat dunia terus bergulat dengan munculnya varian baru Covid19, penelitian ini memberikan kepastian bahwa tipe vaksin nonaktif, salah satu vaksin yang paling banyak digunakan secara global, tetap efektif melawan Covid-19.

"Hasil tersebut juga mendukung tiga dosis imunisasi untuk memastikan perlindungan terhadap COVID-19, sebuah penemuan yang sejalan dengan saran dari WHO dan badan kesehatan di seluruh dunia untuk semua jenis vaksin Covid-19," ujar Pearson Liu dalam keterangan resmi, Sabtu (15/1/2022).

Data terbaru ini muncul karena adanya penemuan baru yang menunjukkan bahwa satu bulan setelah dosis kedua, CoronaVac memberikan respons Sel-T yang lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin mRNA.[3] Hal ini penting dalam mencegah penyakit serius, rawat inap, dan kematian.

Temuan yang dipublikasikan pada bulan Desember 2021 ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh LKS Fakultas Kedokteran, The University of Hong Kong (HKUMed) dan Fakultas Kedokteran, The Chinese University of Hong Kong (CU Medicine).

CoronaVac telah disetujui untuk penggunaan darurat atau penggunaan pemasaran bersyarat oleh WHO dan badan pengawas obat lokal di lebih dari 50 negara dan wilayah.

Lebih dari 2,6 miliar dosis vaksin telah didistribusikan ke seluruh dunia dengan lebih dari 250 juta dosis CoronaVac diberikan pada anak-anak berusia 3 hingga 17 tahun di Tiongkok, per Januari 2022.

Ini adalah vaksin yang digunakan secara luas, dapat ditoleransi dengan baik, juga aman dan efektif, serta merupakan senjata penting kesehatan masyarakat untuk memerangi pandemi.

Data dari beberapa uji klinis menunjukkan bahwa CoronaVac diasosiasikan dengan minim insiden dan efek samping yang serius. rtr, er, jk,07

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU