Home / Ekonomi dan Bisnis : Awas Kenaikan Harga Barang dan Pangan

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Akademisi Unibraw Iswan Noor dan Pengusaha Jamhadi, Soroti Pemulihan Ekonomi Indonesia

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 18 Nov 2021 20:13 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Akademisi Unibraw Iswan Noor dan Pengusaha Jamhadi, Soroti Pemulihan Ekonomi Indonesia

i

Sri Mulyani.

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Awal November 2021 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan adanya potensi peningkatan tingkat inflasi di tahun 2022. Tidak disebutkan secara pasti berapa persen kenaikan inflasi, namun BPS sangat yakin akan adanya kenaikan inflasi.

Hal tersebut terjadi seiring dengan prospek pemulihan ekonomi pasca invasi covid-19. Melihat polanya, ketika pemulihan ekonomi terjadi maka akan ada peningkatan permintaan dan transaksi barang.

Baca Juga: Menkeu: Saya Nggak Bisa Komentar

Peringatan BPS ini juga diamini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam sidang kabinet paripurna pada Rabu (17/11/2021) kemarin, Sri mulyani memperingatkan akan adanya inflasi yang telah menimpa sejumlah produsen baik di dalam maupun di luar negeri.

Beberapa negara yang disebutkannya seperti Amerika Serikat (AS), China, Eropa, Meksiko dan Korea Selatan alami kenaikan harga di tingkat produsen sehingga menyebab inflasi tinggi. Indonesia juga alami kenaikan, meskipun tidak signifikan.

"Untuk Indonesia harga di produsen mengalami kenaikan 7,3%. Kalau di Eropa kenaikan 16,3%, China 13,5%, dan di AS 8,6%, Korea Selatan 7,5%," kata Sri Mulyani dinukil dari CNBC Indonesia, Kamis (18/11/2021).

Celakanya, inflasi di tingkat produsen ini berpengaruh langsung pada harga barang yang akan di beli oleh konsumen. Bak gayung bersambut, harga barang yang tinggi ini kemudian berpengaruh pada daya beli masyarakat atau konsumen.

Di tingkatan global, inflasi tinggi dapat memicu negara produsen menaikkan suku bunga acuan. Sebagai contoh, kebijakan Amerika Serikat (AS) di tahun 2013 yang mendorong aliran dana keluar dari negara berkembang kembali menuju AS karena dianggap sebagai tempat yang paling aman.

Kebijakan AS ini kemudian dikenal dengan istilah taper tantrum, yang kemudian memicu gejolak di pasar keuangan global maupun dalam negeri.

"Ini berpotensi menimbulkan kepada ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Indonesia harus berhati-hati terhadap dinamika global dari potensi tapering off ini," aku Sri Mulayani.

Adanya potensi tingginya inflasi dan sederet kebijakan global yang berpotensi menguncang perekonomian dunia, direspon serius oleh pakar Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Iswan Noor.

Menurut Iswan, Indonesia merupakan satu dari 5 negara berkembang yang berpotensi mengalami kerugian serius tatkala Amerika mengeluarkan lagi kebijakan taper tantrum atau tapering off.

Tapering off sendiri merujuk pada keputusan Bank Sentral AS, The Fed untuk mengurangi stimulus moneter yang dikeluarkan saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan likuiditas.

Melihat tingkat inflasi AS yang menyentuh angka 8,6% maka ada kemungkinan besar kebijakan tapering off akan dikeluarkan oleh AS. Tinggal menunggu waktu, entah akhir tahun ini atau di tahun 2022 mendatang.

"Kalau kita lihat pemetaannya Morgan Stanley (Bank investasi multinasional AS_red), ada 5 negara yang sangat rentan karena selalu bergantung pada permodalan asing. Ada Indonesia, India, Brasil, Afrika Selatan dan Turki. Maka ketika tapering off itu terjadi seperti kata Sri Mulyani maka saya rasa, Indonesia akan berdampak sekali," kata Iswan Noor kepada Surabaya Pagi.

Sebagai contoh, tapering off tahun 2013 lalu, mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun drastis. Sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan, nilai tawar rupiah terhadap dolar diangka Rp10 ribu. Pasca kebijakan dikeluarkan, rupiah anjlok menjadi Rp 14.600.

 

Suku Bunga

Oleh karenanya, sebagai langkah preventif terjadinya tapering off, Bank Indonesia (BI) kata Iswan, harus menaikkan tingkat suku bunga acuan. Tujuannya adalah untuk menahan arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia.

"Tahun 2020 kenapa banyak negara yang alami resesi besar-besaran, ya memang banyak faktor. Tapi kalau kita lihat data, capital outflow itu mencapai seribu triliun lebih. Banyak investor asing yang menarik modalnya dari negara berkembang," katanya.

"Dan pandemi ini juga membuat capital flow untuk balik lagi ke negara berkembang itu lambat. Tidak seperti krisis 2008," tambahnya.

Selain menaikan suku bunga acuan, model investasi asing pun harus ditransformasikan menjadi direct investment atau investasi langsung. Investasi langsung membutuhkan keterlibatan inverstor di dalamnya, baik oleh berkaitan dengan pembelian lahan, pendirian pabrik, hingga bertanggung jawab manakala terjadi kerugian.

"Model investasi seperti ini lebih save manakala terjadi krisis," katanya

Baca Juga: Menkeu Infokan Dana Bansos Lonjak Tajam 135,1%, Jadi Rp 22,5 Triliun

Selain merambat pada sektor keuangan, tapering off juga berdampak pada sektor rill dan masyarakat pada umumnya. Hal ini ditandai dengan kenaikan harga barang atau inflasi.

"Karena inflasi dipicu oleh melemahnya rupiah terhadap dolar. Ketika dolar AS menguat, maka harga bahan baku yang berasal dari impor pasti akan naik. Nah, harga bahan baku yang naik karena kita impor ini yang membuat harga produk jadi makin mahal," katanya.

Oleh karenya ia menghimbau agar pemerintah wajib menetapkan maksum harga untuk jenis-jenis barang tertentu. Pengendalian harga ini dinilai mampu mengendalikan inflasi, ketika terjadi.

Operasi program 4K yang pernah dilakukan oleh Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPP) juga harus digencarkan. Maksud program 4K adalah keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif.

"Bisnis kerjasama antar daerah juga bisa dimulai. Kan kita punya BUMD. Nah itu bisa disinergikan antar BUMD di daerah-daerah. Sehingga ketika ada daerah yang butuh barang A misalnya, daerah lain yang punya barang itu, langsung dikirim aja. Ini strategi dalam menjaga ketersediaan pasokan tadi," katanya menjelaskan.

 

Optimis

Secara terpisah, Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang Industri (Kadin) Surabaya, Dr. Ir. Jamhadi MBA, mengaku optimis tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin membaik.

Tingkat inflasi Indonesia selama 6 bulan terakhir kata Jamhadi, masih bagu atau berada di bawah 2%. Oktober 2021tingkat inflasi sebesar 1.66%., September 2021 sebesar 1.6%, Agustus 2021 diangka 1.59%. Sementara untuk Juli 2021 diangka 1.52%, Juni 2021 sebesar 1.33% dan Mei 2021 diangka 0,32%.

"Terjadinya inflasi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti permintaan, meningkatnya biaya produksi maupun jumlah uang yang beredar. Kenaikan harga-harga (inflasi) ini disebabkan karena ketersediaan barang yang tidak sepadan dengan tingginya permintaan," kata Jamhadi saat dihubungi.

"Ya kita  optimistis tahun 2022 Ekonomi Indonesia lebih baik Ya," tambahnya.

Baca Juga: Menkeu Ngadu ke DPR, Lonjakan Bansos dari Rp 9,6 Triliun ke Rp 22,5 Triliun

Guna mendorong keoptimisan tersebut, ia menegaskan, pemerintah harus mempunyai skala prioritas dalam rangka melakukan pemulihan ekonomi. Khususnya berkaitan dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).

Setidaknya ada 4 skala prioritas dalam pemulihan ekonomi yang ditawarkan Jamhadi. Pertama berkaitan dengan optimalisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan sektor kesehatan.

Usaha Mikro Kecil Menengah dinilainya menjadi salah satu sektor rill yang harus diprioritaskan dalam program PEN tersebut.

Dari data Kementrian Keuangan, setidaknya ada 3 kemudahan yang diberikan kepada UMKM melalui program PEN yakni subsidi bunga, insentif pajak dan penjaman kredit modal.

Untuk subsidi bunga, hingga saat ini pemerintah telah menganggarkan sekitar Rp 34,15 triliun. Sementara insenif pajak sebesar Rp 28,06 triliun serta pinjaman kredit modal untuk UMKM sebanyak Rp 6 triliun.

"Perbaiki daya beli masyarakat melalui PEN, KUR, stimulus, BLT. Ini mejadi skala prioritas kedua dalam pemulihan ekonomi," katanya

 

Perbaikan SDM

Berikutnya berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Khusus perbaikan kualitas SDM dinilai sangat penting. Karena hal tersebut berkaitan langsung dengan tingkat kreativitas dan inovasi yang dihasilkan pelaku usaha atau UMKM.

"Bisa dilakukan bersama APVOKASi, untuk perbaiki daya saing dan produktivitas, di sini memerlukan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), konektivitas, energi," ucapnya.

Prioritas terakhir adalah berkaitan dengan kedaulatan dan ketahanan pangan untuk mendukung transformasi ekonomi Indonesia. Sem,jk,03

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU