Meski Tanpa Pesta Imlek, Tetap 'Meriah'

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 05 Feb 2021 21:46 WIB

Meski Tanpa Pesta Imlek, Tetap 'Meriah'

i

Warga pecinan di Tambak Bayan, beraktivitas sehari-hari membuka warung sederhana disertai mural khas pecinan. Di tengah pandemi Covid-19, warga di Tambak Bayan meniadakan pesta Imlek. Sp/Patrick

 

Melongok Kampung Pecinan Tertua Tambak Bayan saat Pandemi

Baca Juga: Bahasa Mandarin di Indonesia Diseriusi

 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Tahun Baru Imlek 2752 kurang enam hari lagi. Biasanya, tradisi Tahun Baru Imlek diisi dengan pesta aktrasi Barongsai. Untuk di Surabaya, atraksi Barongsai ini kerap dilakukan di kawasan pecinan Tambak Bayan Surabaya. Namun, di era pandemi kali ini, atraksi naga Barongsai, harus absen. Warga keturunan Tionghoa di Tambak Bayan harus mengurungkan untuk meneruskan tradisi turun temurun.

Kawasan Pecinan Tambak Bayan Surabaya, Jumat (5/2/2021) kemarin, terlihat lengang. Bila tahun-tahun sebelumnya sudah disibukkan persiapan atraksi Barongsai. Kini, di saat masih diberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), persiapan itu tak tampak.

Hanya beberapa mural dengan nuansa pecinan, imlek serta Tionghoa, menghiasi berbagai tembok di kampung Tambak Bayan, Jumat (5/2/2021).

Mural bernuansa pecinan ini masih menunjukkan kemeriaan di tengah kesederhanaan di perkampungan masyarakat Tionghoa tertua di Surabaya. Hal ini diungkapkan Suseno Karna alias Asen, Ketua RT02 RW02 Tambak Bayan.

“Tahun ini kami tidak menggelar kemeriahan untuk Imlek. Pandemi Covid-19 belum selesai, pemerintah juga menerapkan PPKM. Warga sejak beberapa waktu lalu sudah kami imbau untuk tidak menggelar kemeriahan,” kata Suseno Karna, Jumat (5/2/2021).

Seno juga berharap agar warga di Tambak Bayan secara keseluruhan bisa mematuhi ketentuan itu. Karena kegiatan yang mengundang kerumunan masih beresiko terpapar Covid-19. Dan ini harus dihindarkan mengingat di perkampungan Tambak Bayan juga ada anak-anak dan lansia.

“Koordinasi bersama pengurus kampung dan para tetua sudah kami lakukan. Harapannya meskipun tanpa kemeriahan tetapi Imlek tetap disambut dan disyukuri. Hal ini yang lebih penting di masa pandemi Covid-19 saat ini,” tegas Seno.

Perkampungan Tambak Bayan merupakan satu di antara perkampungan di Surabaya, yang hingga hari ini masih ditinggali sejumlah keluarga Tionghoa. Perkampungan padat tersebut memang menjadi perkampungan masyarakat Tionghoa yang kerap dijadikan penelitian sejarah.

Biasanya, secara tradisi, tiap Tahun Baru Imlek, berbagai acara digelar, mulai dari atraksi Barongsai yang dimainkan anak-anak muda sampai dengan fashion show baju cheongsam.

 

Sejak Tahun 1866

Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi

Kampung Tambak Bayan Surabaya, yang dihuni masyarakat keturunan Tionghoa ini merupakan kampung tertua di Surabaya. Kampung tersebut terletak di Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya.

Uniknya di tengah Kampung Tambak Bayan, terdapat sebuah bangunan besar yang sebenarnya cukup mencolok. Baik dari sisi bentuk, maupun luas bangunan. Sayangnya bangunan tua itu harus tertutup oleh bangunan-bangunan baru yang ada di sekitarnya.

Menurut Suseno alias Asen, bangunan tua yang ada di Kampung Tambak Bayan ini aslinya adalah sebuah bangunan bekas istal atau sebutan untuk kandang kuda. Dari cerita yang didengarnya, bangunan itu sudah ada sejak 1866.

Istal tersebut berada pada sebuah lahan dengan luasan tanah mencapai 3.800 meter persegi. Kini kandang kuda dihuni oleh sekitar 50 kepala keluarga. Mereka menetap sejak dari turun temurun. "Yang tinggal di sini semuanya sudah turun temurun. Mereka sudah dari generasi ke generasi ada di sini," ujar Suseno.

 

Kawin Campuran Etnis

Suseno mengaku, meski tinggal berhimpitan dari turun temurun, mereka selalu hidup rukun. Bahkan tidak jarang ada warga yang sudah kawin campuran etnis, masih memilih hidup di tempat tersebut. Alasannya, karena betah dengan suasana kekeluargaan yang sudah terjalin sejak nenek moyang.

"Kami ini sudah saling mengenal sejak beberapa turunan. Sehingga semua saling tahu asal usul keluarganya. Jadi kami ini sudah seperti keluarga sendiri," tegasnya.

Baca Juga: Paguyuban Marga Tionghoa Hadap Jokowi

Lalu mengapa warga keturunan di Tambak Bayan rata-rata kalangan ekonomi menengah ke bawah, Suseno bercerita, hal itu tidak lepas dari sejarah nenek moyang mereka.

Sejak pertama kali di Tambak Bayan, nenek moyang mereka banyak yang berprofesi sebagai tukang kayu. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya peralatan bekas pertukangan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya. Bagi warga keturunan yang ingin memperbaiki nasib, mereka harus keluar dari Tambak Bayan. "Biasanya di sini akan ramai kalau ada perayaan seperti Imlek. Keluarga dari jauh juga datang ke sini," tegasnya.

 

Hidup Berbhineka

Sementara itu, Sumiati atau bernama Tionghoa Lie Syume, warga Tambak Bayan mengatakan, sejak kecil hingga menikah dia telah tinggal di tempat tersebut. Di tempat itu pula ia berjodoh dengan Supriadi, warga dari etnis Jawa. Sejak menikah pada 1994 lalu, ia mulai mengikuti agama dari sang suami.

Namun sebagai keturunan Tionghoa, dia tidak melupakan sejarah budaya dari nenek moyang. Berbagai ornamen khas kepercayaan Tionghoa masih tampak memenuhi ruangan tempat tinggalnya.

Dia pun menyebut, bahwa hal itu adalah bagian dari kebudayaan yang tak akan dilupakan dan ditinggalkan. Sebab ia masih percaya bahwa leluhurnya akan menjaganya sebagaimana dia menjaga kebudayaan.

"Inilah wujud kebhinekaan kami. Meski saya sudah beragama lain, tapi kebudayaan asal tak kami lupakan. Kalau saatnya hari raya Idul Fitri, kami pun juga turut merayakannya dengan keluarga suami," ungkapnya. Patrick cahyo/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU