Home / Hukum dan Kriminal : Dugaan Mafia Tanah Gedung BPN Surabaya (5)

Misteri Rebut Tanah eks Eigendom Gunakan Gugatan Perdata

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 09 Des 2021 20:21 WIB

Misteri Rebut Tanah eks Eigendom Gunakan Gugatan Perdata

i

Gedung BPN

Laporan Investigasi Surabaya Pagi Dikoordinasi Wartawan Hukum Senior Dr. H. Tatang Istiawan.

 

Baca Juga: Para Mafia Tanah Bermain Banyak Peran

Secara hukum, Perkumpulan “Loka Pamitran” yang didirikan tahun 1954 dan tahun 1962 sudah bubar, apakah secara hukum bisa dihidupkan? Apakah perhimpunan “Loka Pamitran” boleh melakukan kegiatan?

Ambil contoh, Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena bertentangan dengan NKRI. Dengan dibubarkannya HTI, segala kegiatan yang mengatasnamakan HTI dilarang, termasuk aksi demonstrasi. Ini berlaku juga terhadap PKI dan FPI.

Demikian juga Perhimpunan “Loka Pamitran”.

Polri pernah berjanji akan memproses pengurus yang hidupkan organisasi yang sudah dibubarkan dengan pasal 169 KUHP.

Secara kelembagaan, perhimpunan ini dimunculkan lagi menggunakan akte notaris no 75 yang dibuat Tanggal 25 februari 1991 oleh notaris Yudhara.,SH yang telah meninggal dunia.

Akte ini secara hukum, menimbulkan misteri yang mesti diungkap Polri dan Kejaksaan yang mendapat amanah membongkar kasus mafia tanah di Indonesia.

R. Soetoro, satu-satunya pengurus Perhimpunan “Loka Pamitran” lama yang diajak rapat dengan pedagang tionghoa dan pensiunan staf menpora.

Dalam kondisi sudah berusia 84 tahun, R Soetoro diajak rapat sampai tengah malam oleh notaris Yudhara, yang sudag meninggal dunia.

Dalam pertemuan tanggal tahun 1991 ia menyatakan tahun 1962 sudah mengundurkan diri sebagai pengurus Loka Pamitrab. Alasannya, karena perkumpulan sudah dilarang oleh pemerintah saat itu. Ia menyatakan sejak dibubarkan, ia bersama pengurus lama tidak pernah menghidupkan organisasi “Loka Pamitran”.

Maka saat diajak ikut membuat pendirian lagi menggunakan akte notaris Yudhara, pada tahun 1991, ia mengaku sudah tak ada kegiatan fisik. Apalagi urusan aset tanah. Karena secara hukum, sejak tahun 1961, tanah dan bangunan di atas persil Jl. Tunjungan No 80 Surabaya, sudah menjadi tanah negara.

Makanya, R. Soetoro, heran pengurus baru dengan bendahara Joni Sangkono, masih mengkaitkan dengan perkumpulan lama. Sebagai satu-satunya pengurus lama yang masih hidup, ia merasa heran. Apalagi meneer meneer Belanda sebagai pengurus bentukan tahun 1954 sudah pulang ke negaranya.

Praktis kegiatan kerohanian sudah tak ada.” Gedung sudah lama digunakan untuk banminton pegawai BPN, “ jelas seorang pegawai BPN saat itu. Setahu R. Soetoro, yang menjabat panitera perkumpulan lama, organisasi ini tidak mempunyai aset tanah dan bangunan diatas persil Jl. Tunjungan No 80 Surabaya, yang digugat Tjipto Candra.

 

***

 

Perkumpulan ini dihidupkan lagi tahun 1993 melalui akte notaris Yudhara.

Pengakuan R. Soetoro, kepada tim penyidik tahun 1991-1993 mengatakan ia pernah menjadi panitera perkumpulan Loka Pamitran yang didirikan tahun 1954.

R. Soetoro menyatakan tahun 1962 mengundurkan diri dari organisasi ini, karena perkumpulan mener mener Belanda ini dilarang oleh pemerintah Ir Soekarno. Dan sejak 1962, ia tegaskan sudah tidak ada lagi perkumpulan Loka Pamitran.

Baca Juga: Dispendik Gandeng Dispendukcapil Filter Penduduk Dadakan

Maka itu, R. Soetoro menegaskan perkumpulan Loka Pamitran tahun 1954 dengan Perkumpulan Loka Pamitran yang didirikan tahun 1991 oleh rapat yang diselenggarakan notaris Yudhara, tidak ada hubungan sejarah maupun hukum. Mengingat perkumpulan lama diurus meneer meneer Belanda menggunakan UU Belanda. Setelah dibubarkan saat Indonesia merdeka, orang Belanda pulang dan perkumpulan buyar. Sedang perkumpulan yang dibentuk oleh pedagang keturunan China tahun 1991 tidak punya kaitan sama sekali dengan yang perkumpulan yang lama. Makanya Joni Sungkono, yang diduga penggagas dirikan perkumpulan Loka Parmitan 1991 dituding hanya mengejar cuan ( keuntungan) rebut persil di Jl. Tunjungan No 80 Surabaya. Perkumpulan baru ini bukan datangkan roh halus manusia yang sudah mati.

Dengan aturan ini, sejak tahun 1961, tanah dan gedung dikuasai BPN. Antara lain untuk latihan badminton karyawan BPN dan kantor pendaftaran tanah. Praktis, perkumpulan Loka Parmitan, tak kuasai secara fisik atas lahan seluas 7.000 m2. Bila ada, hanya beberapa m2 untuk hunian pegawai BPN eks orang perkumpulan seperti Mas Surodjo dan R. Soeroto. Tapi status hukumnya, merawat gedung dan bukan menghaki.

Bahkan sebagai panitera Perkumpulan Loka Pamirtan lama (1954) R. Soetoro, menegaskan tak menyetujui keinginan Johi Sungkono, gugat aset persil dan bangunan Jl. Tunjungan No 80. Ini R. Soetoro mengakui persil ini telah menjadi milik Pemerintah RI berdasarkan Peraturan Presiden Kabinet Dwikora No 5/Prk/th 1965 (Prk 5/1965)

 

***

 

Secara hukum Agraria, ada ketentuan konversi yang diatur pada bagian kedua UUPA. Dinyatakan bahwa semua hak yang ada sebelum berlakunya UUPA beralih menjadi hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai. Praktis, secara hukum, pendaftaran tanah menjadi dasar bagi terselenggaranya konversi. Mengingat konversi bukan peralihan hak secara otomatis, tetapi harus dimohonkan dan didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (BPN). Ketentuan konversi ini juga sebagai maksud penyederhanaan hukum dan upaya menciptakan kepastian hukum.

Lalu mengenai hak eigendom verponding yang dikonversi dapat menjadi hak milik selama jangka waktu konversi belum berakhir. Sementara yang tidak dikonversi dan telah melewati masa untuk melakukan konversi, status hukum tanah eigendom verponding dikuasai langsung oleh negara seperti dalam ketentuan Pasal 95 Ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021.

Dinyatakan dalam pasal ini alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Nah, untuk eks Eigendom Verponding di persil Jl Tunjungan No 80 Surabaya, meski ada pendirian baru terhadap perhimpinan “Loka Pamitran”, perhimpinan ini sama sekali tidak mengurus surat. Maka menjadi suatu misteri bila kini perkumpulan ini bisa eksekusi tanah eks Eigendom Verponding yang sudah dikuasai negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apakah cara seperti ini mengacu konsep bahwamafia tanah itu punya segudang akal bulus. Apakah Tjipto Candra, yang bukan pemilik persil atas tanah dan bangun persil di Jl. Tunjungan No 80

Baca Juga: Manfaatkan Aset, Pemkot Surabaya Bangun 8 Lokasi Wisata Rakyat 

Surabaya itu bagian dari mafi tanah? Wallahualam.

Seorang suhu terkenal di Surabaya menyebut Tjipto Candra, di kalangan etnis Tionghoa Surabaya sudah dikenal suka urus tanah. Seorang pengacara Surabaya menyebut Tjipto Candra ini suka pamer power. Ia pernah sesumbar menuntut wartawan yang bertugas di Pengadilan Negeri Surabaya, bila mengusik jaringannya di kalangan hakim.

Tjipto Candra, juga punya relasi dengan Ping Astono, yang namanya tersohor di kalangan etnis China, suka berurusan sengketa tanah.

"beberapa pejabat BPN menyebut ada mafia tanah gunakan kejahatan penipuan, tanah sebagai objek sengketa.

Menurut sumber di Polda, dalam kasus BPN ada dugaan kuat akal-akalan menyiasati surat-surat.

Terutama mafia tanah kelas kakap yang incar lahan tanah puluhan hektar. Termasuk tanah dan bangunan eks Eigendom Verponding.

Mafia tanah, meski tak punya background sarjana hukum tahu bahwa Eigendom verponding adalah salah satu produk hukum terkait pembuktian kepemilikan tanah yang dibuat sejak era Hindia Belanda. Usai Indonesia merdeka, sistem hukum agraria warisan Belanda masih dipertahankan sebagai pengakuan kepemilikan yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Dikutip dari Kamus Hukum yang diterbitkan Indonesia Legal Center seperti dikutip dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Eigendom berarti hak milik mutlak. Sementara Verponding diartikan sebagai harta tetap.

Dalam kasus persil Jl. Tunjungan, muncul misteri hukum, mengapa obyek tanah dan surat tidak digugat melalui PTUN kok digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Surabaya. Ada apa ingin merebut tanah seluas 7.000 m2 kok mengakali perhimpunan “Loka Parmitan” aliran penyembah roh halus atau setan? ( bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU