MK Curigai Surat Risma untuk Pilih Eri-Armudji

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 02 Feb 2021 20:59 WIB

MK Curigai Surat Risma untuk Pilih Eri-Armudji

i

Hakim MK, Saldi Isra.

 

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk kasus sengketa Pilkada Surabaya,  Selasa (2/2/2021). Dalam sidang kali ini, Majelis Hakim MK meminta penjelasan KPU Kota Surabaya atas gugatan terhadap adanya surat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani yang berisi ajakan kepada masyarakat untuk mendukung pasangan calon (paslon) Eri Cahyadi-Armuji. Surat ini menjadi bagian dari gugatan yang dilayangkan paslon Machfud Arifin-Mujiaman dalam perkara perselisihan hasil pemilihan wali kota (pilwalkot) Surabaya.

Baca Juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum

"Saudara mengetahui enggak ada ini, surat Bu Risma ini?" tanya anggota Majelis Hakim Saldi Isra kepada kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya selaku pihak termohon dalam persidangan pemeriksaan, Selasa (2/2/2021).

Saldi bertanya sambil menunjukkan surat tersebut yang menjadi alat bukti. Saat kuasa hukum termohon mengatakan tidak tahu surat itu, Saldi kemudian menunjukkan selebaran yang berisi materi kampanye Eri-Armuji.

Tak puas atas jawaban kuasa hukum, Saldi pun meminta perwakilan KPU Kota Surabaya yang langsung memberikan jawaban. Anggota KPU Kota Surabaya Agus Turcham mengaku mengetahui adanya surat Risma dari pemberitaan media dan dia menyatakan surat tersebut bukan bahan kampanye paslon Eri-Armuji.

"Kalau saya melihatnya itu surat, begitu saja, bukan merupakan bagian dari bahan kampanye sesuai ketentuan yang telah kami pahami selama ini," kata Agus.

Sementara, Agus mengetahui leaflet yang ditunjukkan hakim, saat melakukan pembahasan terkait materi dan desain dari alat peraga kampanye dan bahan kampanye paslon. Namun, kata dia, KPU tidak mencetak leaflet itu karena permintaan Eri-Armuji sendiri, akibat permasalahan hukum yang timbul dari desain leaflet tersebut.

"Karena pihak pemohon juga menyampaikan proses hukum lainnya di tingkat yang di atasnya kita," tutur Agus.

Lalu, Saldi Isra kembali bertanya, hal ini terkait cuti atau izin Tri Rismaharani sebagai wali kota Surabaya untuk melakukan kegiatan kampanye. Risma merupakan juru kampanye paslon Eri-Armuji sekaligus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Eri-Armuji.

Agus menjawab, KPU Kota Surabaya telah menerima surat tembusan perihal jawaban persetujuan cuti Risma. KPU Kota Surabaya menerima surat persetujuan cuti tersebut sekitar dua kali.

Di sisi lain, kuasa hukum pihak terkait yakni paslon Eri-Armuji, Budi Santoso mengatakan, Risma telah mengajukan cuti atau izin kampanye kepada gubernur. Gubernur kemudian memberikan izin tersebut kepada Risma untuk kampanye di hari kerja.

"Karena mengacu pada surat edaran Mendagri, kalau hari libur Sabtu Minggu, maka tidak perlu ada izin cuti, jadi otomatis diperbolehkan berkampanye. Jadi kalau Bu Risma adalah satu kali per minggu itu sama plus yang satu hari kerja per satu minggu sama beberapa yang Sabtu Minggu," kata Budi.

 

Legal Standing

Di sela sidang, kuasa hukum paslon Eri Cahyadi-Armuji, Arif Budi Santoso mengatakan, bahwa Machfud-Mujiaman tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa Pilkada Surabaya.

 “Hal ini karena untuk bisa mengajukan Permohonan, Pemohon (Machfud-Mujiaman) harus memenuhi syarat permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10/2016,” ujar Arif.

Baca Juga: Ajuan Amicus Curiae Megawati, Didalami Hakim MK

Sesuai UU 10/2016, ambang batas selisih suara yang bisa diajukan gugatan untuk daerah dengan populasi di atas 1 juta jiwa seperti Surabaya adalah maksimal 0,5 persen. Sesuai rekapitulasi KPU, Eri-Armudji meraup 597.540 suara, sedangkan Machfud-Mujiaman 451.794 suara, dengan total 1.049.334 suara sah.

Sesuai UU 10/2016 dan Peraturan MK 6/2020, maka selisih 0,5 persen dikali dengan total suara sah 1.049.334 suara adalah 5.246 suara. Dengan demikian, permohonan hanya sah diajukan, apabila selisih di antara dua paslon tidak melebihi 5.246 suara.

“Faktanya, selisih suara adalah sebanyak 145.746 suara atau 13,88 persen, jauh sekali di atas syarat minimal 5.246 suara atau 0,5 persen. Selisih suara yang bisa disengketakan menurut hukum dengan fakta selisih suara hasil Pilkada adalah hampir 28 kali lipat,” tegas Arif.

Arif menegaskan maka selisih perolehan suara tidak memenuhi ketentuan mengenai pembatasan selisih perolehan sebesar 0,5 persen dari total suara sah yang telah ditetapkan KPU.

“Artinya, Machfud-Mujiaman tidak memiliki Legal Standing karena selisih suara mereka melebihi ambang batas. Dan karenanya, cukup alasan hukum bagi MK untuk menyatakan permohonan Machfud-Mujiaman tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard),” tukas Arif.

Dia menegaskan, pemberlakuan ambang batas selisih perolehan suara sesuai UU 10/2016 telah dilakukan secara konsisten oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah mapan.

“MK selalu konsisten dalam penerapan ambang batas. Pertimbangan hukumnya mapan dan kuat, sebagaimana tertuang di yurisprudensi banyak putusan MK terkait sengketa Pilkada di berbagai daerah,” ujar Arif.

Machfud-Mujiaman, sambung Arif, memang menyebutkan bahwa yang menjadi objek sengketa adalah penetapan rekapitulasi suara oleh KPU. Namun, Arif menilai, penyebutan ini sebatas untuk memenuhi syarat formil permohonan mereka pada dalil-dalilnya.

Baca Juga: Kesimpulan Paslon 01 dan 03: Sumber Masalahnya, Gibran dan Cawe-cawenya Jokowi

 

Tak Ada Dalil

Arif menambahkan, dalam gugatan ke MK, Machfud-Mujiaman juga tidak pernah sekalipun mendalilkan adanya kecurangan atau pelanggaran. Untuk itu ia menyebut proses pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara selama Pilkada Surabaya adalah sah.

"Tidak ada alasan apapun untuk tidak mengatakan penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Tahun 2020 oleh termohon adalah sudah benar dan sah," lanjut Arif.

Padahal,kata Arif, jelas sekali diatur dalam Peraturan MK 8/2020, gugatan harus memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara oleh KPU dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon dalam hal ini Machfud-Mujiaman.

“Jadi, ini Machfud-Mujiaman meminta KPU membatalkan hasil rekapitulasi, tetapi mereka tidak bisa memaparkan berapa hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut mereka. Alias ini asal menggugat karena kalah Pilkada,” ujarnya.

Arif menambahkan, isi dalil-dalil Machfud-Mujiaman tak satupun yang bersangkut-paut dengan perselisihan hasil pemilihan, melainkan hanya narasi tuduhan pelanggaran yang penuh prasangka, dugaan, dan asumsi tanpa disertai bukti-bukti yang relevan.

“Juga tidak ada legitimasi yuridis berupa putusan dari lembaga berwenang dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pilkada, dalam hal ini Bawaslu maupun Sentra Gakkumdu yang melibatkan kejaksaan dan kepolisian,” pungkasnya. jk/alq/cr2/ril

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU