Munculnya Perubahan Ketentuan UMP dalam RUU Cipta Kerja

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 15 Nov 2020 21:13 WIB

Munculnya Perubahan Ketentuan UMP dalam RUU Cipta Kerja

i

Adanya poin perubahan ketentuan upah minimum yang menjadi perjuangan buruh dari aksi demo. SP/JS

Catatan Kritis RUU Cipta Kerja (8)

 Bila dalam edisi sebelumnya di harian kita, catatan kritis dari 10 akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta terkait banyaknya ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang perlu diatur serta penghapusan Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di dalam ketentuan-ketentuan Bidang 2, soal Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja Omnibus Law.

Baca Juga: Tolak Gugatan Ciptaker, Partai Buruh Akan Laporkan 5 Hakim Ke MKMK

 Masih ada poin-poin yang dianggap ganjil dan memicu polemik khususnya para buruh, oleh para akademisi FH UGM Jogja ini. Diantaranya yakni,  soal aturan alih daya yang awalnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law ini menghapuskan Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan namun tetap mempertahankan Pasal 66.

 Penghapusan pasal tersebut menekankan alih daya atau outsourcing masih diperbolehkan oleh Undang-Undang. Hanya saja akan semakin membuka peluang menjamurnya jenis hubungan kerja alih daya atau outsourcing, padahal sudah terbukti bahwa bentuk hubungan triangular layaknya outsourcing ini sangat tidak menguntungkan bagi pekerja.

 Perubahan Ketentuan Upah Minimum

Sementara, poin ini yang menjadi perjuangan para buruh yang kini sedang dilakukan aksi demo serentak di seluruh Indonesia. Yakni adanya poin perubahan ketentuan upah minimum. Jika sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan, Upah Minimum dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral). Maka ketentuan ini tidak lagi berlaku dalam RUU Cipta Kerja.

 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

 Artinya, jika RUU disetujui, maka tidak akan ada lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota maupun Upah Minimum Sektoral, karena Upah Minimum yang berlaku hanyalah Upah Minimum Provinsi.

 Masalahnya, tidak ada alasan yang mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral ini. Selama ini UMK dan Upah Minimum Sektoral wajib dipatok lebih tinggi dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi.

Baca Juga: Serikat Buruh Lakukan Aksi Demo Untuk Mendukung Pembatalan UU Cipta Kerja

 Hal baru lain yang ditawarkan oleh RUU Cipta Kerja adalah adanya Upah Minimum Padat Kerja yang berpotensi menimbulkan polemik karena pengaturannya yang ambigu. RUU Cipta Kerja hanya menyebutkan bahwa upah minimum industri padat kerja dihitung dengan menggunakan formula tertentu.16 Tidak ada penjelasan mengenai hal ini kecuali ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.17 Artinya, lagi-lagi memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain, yang mana berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum.

 Istilah Ambigu

Kemudian ada beberapa istilah ambigu dalam pemberian cuti yang menjadi kritikan dari 10 akademisi FH UGM. Sebab ada pasal-pasal yang rentan menimbulkan misinterpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu.

 Sebagai contoh, Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja yang akan mengubah Pasal 93 UU Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas ‘no work no pay’. Pasal ini menyebutkan bahwa “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.”

 Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang di maksud dengan ‘berhalangan’ baik dalam pasal tersebut, maupun dalam penjelasan pasal. Padahal, kata ‘berhalangan’ memiliki arti yang luas, sehingga rawan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Ketika kata ‘berhalangan’ berintepretasi bebas maka pelindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Ketidakjelasan pemilihan kata dalam Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan. (bersambung) 

Baca Juga: Lindungi IHT, Kadin Jatim Minta Pasal di RUU Kesehatan Omnibus Law Ini Dihapus

 

Harian Surabaya Pagi menerima kertas kebijakan “Catatan kritis dan rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja” yang ditulis lima profesor, tiga doktor dan dua ahli yaitu Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM, Prof Dr. Maria S.W.Sumardjono SH., MCL. MPA, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej SH., MHum, Prof. Dr. Sulistiowati SH, MHum, Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., MHum, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dr Totok Dwi Diantoro, Dr Mailinda Eka Yuniza, I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD, dan Nabiyla Risfa Izzati SH, LLM, dengan editor Sri Wiyanti Eddyono SH, LLM (HR) Ph.D. Tulisan ilmiah ini akan ditulis secara berseri untuk pencerahan pembaca dari kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogjakarta.

 

 

Editor : Mariana Setiawati

BERITA TERBARU