Home / Hukum dan Kriminal : Pendapat Hukum Surat Ijo (3- habis)

Pemegang Surat Ijo Bukan akan Revolusi Runtuhkan Pemkot

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 10 Okt 2021 20:44 WIB

Pemegang Surat Ijo Bukan akan Revolusi Runtuhkan Pemkot

i

Prof. Dr. H. Eko Sugitario, S.H., C.N., M.Hum.

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Demikian pula timbulnya HPL yang disewakan dengan memungut uang sewa yang dipopulerkan menjadi istilah Retribusi adalah bertentangan dengan pasal 53 UUPA tentang hak-hak atas tanah yang bersifat sementara dan diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.

Tentang uang sewa atas tanah HPL yang diselundupkan menjadi Surat izin Pemakaian Tanah ( SIPT’ ) dengan memungut Retribusi adalah bertentang dengan ketentuan Pasa 44 UUPA yang secara tegas melarang Negara untuk menyewakan Tanah karena Negara bukan pemilik Tanah.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Sediakan Pelayanan Kesehatan di Pustu-Posyandu

Hak Pengelolaan Lahan ( HPL ) yang dikuasai Pernerintah Kota Surabaya itu disewakan kepada masyarakat atau rakyat Surabaya dengan sebutan Surat Izin Pemakaian Tanah ( SIPT ) menggunakan kertas halaman depan berwama hijau atau ijo sehingga terkenal dengan sebutan Surat Ijo.

Pada tahun 1970 terjadilah Agreement Antara Gubemur Kepala Daerah Propinsi Djawa Timur / Kepala Inspeksi Agraria Djawa Timur Kepala Inspeksi Pendaftaran Tanah Djawa Timur Dengan Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaja Mengenai Pelaksanaan Tugas Agraria didaerah Kotamadya Surabaja bertanggal 20 Djanuari 1970.

 

Pengertian Agreement sangat jelas mempunyai arti atau makna perjanjian atau persetujuan.

 Materi Agreement itu adalah memberikan pelimpahan wewenang dari Gubernur Djawa Timur kepada Walikota Surabaya untuk menentukan status tanah yang sudah atau sedan digarap oleh rakyat dan status tanah yang sudah sejak lama di tempati dan didirikari bangunan untuk tempat tinggal maupun tanah-tanah yang masih kosong. Peiimpahan wewenang tersebut hanva dilakukan dengan Agreement tanpa menyebutkan dasar-dasar hukumnyaiatu Agreement hiikan termasuk sebagai peraturan perundang-undangan.

 Jenis-jenis peraturan perundang-undangan dan tata urutannya telah secara tegas ditetapkan dalam ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XX / MPRS / 1966. Serta diatur pula dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 Sesuatu yang menyangkut kepentingan rakyat harus dan wajib rnendapatkan persetujuan wakil-wakil rakyat di wilayah atau daerah yang bersangkutan yaitu dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Selain itu rakyat penggarap maupun rakyat pernukim di tanahnva sendiri dan di rumah yang dibangun sendiri tidak pernah sarna sekali diberikan hak milik maupun Hak pengelolaan atau hak pakai seperti yang tercanturn dalarn Agreement 20 Djanuari 1970 tersebut yang diberikan kepada rakyat penggarapan atau rakyat pemukim adalah SURAT IJO disertai pungutan uang sewa atau retribusi.

 Pungutan uang sewa tersebut sangat memberatkan beban rakvat karena mengapa hams membayar uang sewa kepada negara atas tanah dan bangunan rumahnya sendiri.

Persoalan agreement 20 Djanuari 1970 belum selesai muncul lagi masalah baru yang rnencekik rakyat Surabaya yaitu terbitnya Keputusan-keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Badan Pertanahan Nasional sebagai bahan untuk memberikan Pendapat Hukum ini saya lampirkan 2 ( dua ) Keputusan Meii[eri tersebut untuk Materi Kajian yaitu;

- Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomer: 55/HPL/BPN/97 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemeriniah Kotamadya Daerah Tingkat 11 Surabaya.

 - Keputusan Menteri Negara Agraria I Kepala Badan Pjrtanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/97 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

 Terbitnya Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 55/HPL/BPN/97 bertanggal 8 April 1997 maupun Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/97 yang juga bertanggal yang sama tanggal 8 April 1997 adalah berawal dan Pemohon berdasarkan penguasaan sesuai dengan Surat Pernyataan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya tanggal 12 Oktober 1995 Nomor 593/3943/402.5.11/ 95

 Nampak jelas surat Pernyataan Walikota Surahaya dengan Nornor 593/3943/402.5.11/95 bertanggal 12 Oktober 1995 digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk terbitnya 2 (dua) Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nornor 55/HPL/BPN/97 sekaligus Keputusan Menteri Negara Agraria I Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/97 yang sama-sarna bertanggal 8 April 1997.

Namun, terjadi kejanggalan yang luar biasa . yaitu Surat Pernyataan Walikota Surabaya dengan Nornor 593/3943/402.5.11/95 bertanggal 12 Oktober 1995 adalah rnengenai tanah seluas 718.203 Ha yang terletak di Kelurahan Perak Barat Kecamatan Krembangan Surabaya yang betul-betul tanah yang dikuasai / dikelola oleh Pernerintah Daerah Tingkat II Surabaya Sejak Tahun ……….. ( kosong / Tidak diketahui)

 Hal tersebut di atas berarti pembuatan Surat Pernyataan tidak tahu sejak kapan mempunyai wewenang untuk menguasai atau mengelola tanah yang sudah disewakan kepada rakyat Surabaya.

 Selain itu dalarn Surat Pernyataan juga dinyatakan bahwa selama dikuasai atau dikelola tidak pernah ada pihak lain yang mengklaim atas tanah yang dimaksud namun Walikota yang sama yaitu H. Sunarto Sumoprawiro mengirim surat kepada kepala BPN bahwa terjadi atau timbul gejolak di masyarakat atas status tanah hak pengelolaan dan BPN agar tidak mempertimbangkan yang didasarkan Surat Walikota Nomor 010 / 1991 /402.5.12 /2001 tanggal 10 Juli 2001 tentang Penanganan Tanah-Tanah Asset Pemerintah Kota Surabaya, sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan Surat Pernyataan Walikota Nomor 593/3943/402.5.11/95 tanggal 12 Oktober 1995.

Melalui Surat Pernyataan Walikota yang sama dengan Nomor 593/3943/402.5.11/95 tanggal 12 Oktober 1995 diterbitkannya juga Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 53/HPUBPN/97 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat 11 Surabaya dan pada tanggal yang sama tanggal 8 April 1997

 Sangat janggal sekali, yaitu Surat Pernyataan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 55/HPL/BPN/97 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya adalah untuk Kelurahan Perak Barat Kecamatan Krembangan, sedangkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 53/HPUBPN/97 Tentang Pemberian Hak Pengeloiaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya BUKAN untuk Kelurahan Perak Barat Kecamatan Krembangan yang juga telah disewakan terlebih dahulu sejak lama kepada Sdr. Samud Yusuf dkk sebanyak 9.146 orang.

 Demikian pula untuk Kelurahan Perak Barat Kecamatan Krembangan telah disewakan lebih dahulu sejak lama sebelum diberikan Hak Pengelolaan Nomor 55/HPL/BPN/97 Lepada Sdr Rachmal dkk sebanya 2.582 orang. Sangat janggal sekali Bahwa hak pengelolaan baru diperoleh Tahun 1997, tetapi sudah jauh hari sebelum Tahun 1997 sudah disewakan kepada pihak ketiga atau pihak lain sejak Tahun 1970 hingga 1996 sebelum terbitnya Hak Pengelolaan Nomor 55/HPUBPN/97;

 Patut diketahui Bahwa Negara tidak boleh menyewakan tanah karena Negara bukan Pemilik Tanah ( pasal 44 UUPA )

Demikian pula penguasaan atas tanah cukup dibuktikan dengan Surat Pernyataan Walikota Surabaya dengan Nomor 593/3943/402.5.11/95 tanggal 12 Oktober 1995.

 Pada Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 55/HPL/BPN/97 Dalam menimbang huruf b tertulis bahwa tanah dimaksud semula dikuasai oleh Perum Pelabuhan jika kemudian berdasarkan surat Perjanjian Penyerahan Pengelolaan Tanah di serahkan penguasaannya kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya (Pemohon) Apakah hak pengelolaan atau tanah boleh diserahkan oleh pemegang hak - kepada pihak lain dari mana hak pengelolaan yang dikuasai oleh Pelindo III berasal. Karena itu untuk membuktikan kepastian hukum maka materi terhadap penyerahan Hak dari Pelindo III kepada Pemerintah kota Surabaya, perlu memperoleh kejelasan.

 Namun, yang jelas pada saat penyerahan hak pengelolaan dari Pelindo III kepada Pernerintah Kota Surabaya tanah tersebut sedang disewakan kepada saudara Rachmat dan kawan-kawan sebanyak 2.582 orang Sedangkan pada saat pemberian hak pngelolaan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 53/HPL/BPN/97 tanah tersebut sedang disewakan kepada saudara Samud Yusuf dkk sebanyak 9.146 orang

Baca Juga: Pemkot Surabaya Bagikan 6 Ribu Paket Sembako Serentak di 31 Kecamatan

Dengan demikian, jelas bahwa pemberian Hak Pengelolaan Nomor 53/HPL/BPN/97 telah disalahgunakan untuk memperpanjang sewa tanah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya.

 Sewa tanah untuk pemukiman tidak ditentukan dan tidak ada pengaturannya dalam UUPA baik dalam asal 16 UUPA maupun dalam Pasal 53 UUPA.

Pasal 53 UUPA hanya menentukan sewa tanah pertanian bukan sewa tanah pemukiman. Sewa tanah pertanian itupun hanyalah bersifat sementara dan akan dihapus dalam waktu yang singkat Pasal 44 UUPA bahkan melarang Negara untuk menyewakan tanah bukan pemilik awal.

Maksud dan tujuan pemberian hak pengelolaan dari Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 55/HPL/BPN/97 maupun Nomor 53/HPL/BPN/97 adalah untuk memberikan Hak Guna Bngunan diatas Hak Pengelolaan Lahan (HGB (diatas HPL)

Hal tersehut terbukti dari Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 55/HPL/BPN/97 dalam Konsideran menimbang huruf e dan Konsideran memutuskan dictum kedua serta Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 53/HPL/BPN/97 Konsideran menimbang huruf e dan Konsideran Memutuskan dictum Kedua.

Selain itu pihak Pemerintah Kota Surabaya tetap tidak melaksanakan Keputusan. Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional. Nonior: 55/HPL/BPN/97 tanggal 8 April tahun 1997 memutuskan Keenarn sebagai berikut; Apabila di dalam tanah yang diberikan hak pengelolaan ini ternyata terdapat pendudukan atau garapan rakyat secara menetap yang sudah ada sebelum petnberian hak ini menjadi kewajiban atau tanggung jawab sepenuhnya dari penerima untuk menyelesaikannya menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku alan dikeluarkan dari areal Hak Pengelolaan Yang sudah ada sebelum pemberian hak ini, menjadi kewajiban / tanggung jawab sepenuhnya dari Penerima Hak untuk menyelesaikannya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dikeluarkan dari areal Hak Pengelolaan.

Sampai saat ini keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 55/HPL/BPN/97 maupun nomor 55/HPL/BPN/97 telah berlangsung selama 24 (dua puluh empat) tahun. Namun, Pemerintah Kota Surabaya tetap berkukuh tidak melaksanakan Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Lahan (HGB diatas HPL), dan mengeluarkan dari areal Hak Pengelolaan terhadap tanah yang ternyata terdapat pendudukan/penggarapan rakyat secara menetap yang sudah ada sebelum pemberian hak ini (Hak Pengelolaan).

Pemerintah Kota Surabaya selama 24 tahun tetap memungut uang sewa atau retribusi kepada pemegang Surat Ijo dan bahkan menaikkan besaran uang sewa atau retribusi. Bahkan pemungutan uang sewa atau retribusi telah berlangsung sejak tahun 1970 yaitu sejak ada Agreement antara Gubernur Jatim dan Walikota Surabaya tanggal 20 Januari 1970.

Tentunya pemegang Surat Ijo mempunyai hak menuntut untuk dikembalikannya pembayaran sewa atau retribusi sejak januari 1970. Sampai sekarang ditambah bunganya selama 51 tahun (Januari 1970 sampai saat ini 2021). Apabila tidak dikembalikan kepada pemegang Surat Ijo, maka jelas merupakan perbuatan melanggar hukum, bahkan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana penggelapan atau setidak tidaknya adalah merupakan pungutan liar (pungli), karena jika pemegang Surat Ijo terlambat membayar tidak sekedar ditambah denda, tetapi dalam surat penagihan di intimidasi untuk diusir dari lahan yang ditempati tanpa pemberian ganti rugi.

Penderitaan pemegang Surat Ijo bukan sekedar terbebani pembayaran uang sewa atau retribusi, tetapi bebannya ditambah dengan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah yang ditempati dengan status Surat Ijo atau Surat Izin Pemakai Tanah (SIPT).

Terhadap satu areal tanah dikenakan 2 (dua) pungutan, yaitu uang sewa tanah/retribusi dan PBB.

Pungutan ganda terhadap satu obyek sangat jelas bertentangan dengan asas utama perpajakan yang disebut “Daya Pikul”.

 

Baca Juga: Pemkot Surabaya Tertibkan Reklame Tak Berizin

Simpulan

Dari uraian tulisan ini dapat saya simpulkan sebagai berikut:

1. Sampai saaat ini belum ada atau tidak ada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau Hak Pengelolaan Tanah (HPT) seperti yang ditentukan dalam UUPA khususnya Pasal 16 dan Pasal 53

2. Pemberian Hak Pengelolaan Lahan atau Hak Pengelolaan Tanah (HPT) yang tidak berdasarkan UUPA adalah tidak sah dan tidak mempunyai legalitas, karena jelas melanggar asas-asas hukum, yaitu :

3. Lex Superior derogat legi inferiori. Peraturan hukum yang lebih tinggi mengalahkan peraturan hukum yang lebih rendah, dan peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

4. Lex specialis derogat legi generalis Peraturan hukum yang khusus mengalahkan peraturan hukum yang umum.

5. Lex posteriori derogat legi priori Peraturan hukum yang lebih baru mengalahkan peraturan hukum yang lama.

6. Pungutan uang sewa yang diubah menjadi retribusi jelas merupakan penyelundupan hukum (Ius contra Legal) karena melanggar ketentuan UUPA Pasal 44 (Penjelasan) yang menjelaskan bahwa Negara tidak dapat menyewakan Tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.

7. Pungutan ganda berupa Retribusi dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap satu lahan tanah Surat Ijo bertentangan dengan prinsip keadilan pajak yang disebut “Daya Pikul”

8. Penerima Hak Pengelolaan Lahan tidak melaksanakan ketentuan dalam Keputusan Menteri Negara agraria / Kepala Badan Peraturan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/ 97, dan Nomor 55/HPL/BPN/97 kepada para penghuni lahan asli atau asal untuk memberikan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Lahan, dan dikeluarkan dari areal Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Surabaya. Namun, kenyataannya malah menerbitkan Surat Izin Pemakaian Tanah (SIPT) dengan memungut retribusi dan sekaligus juga memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

9. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat Surabaya korban Surat Ijo, termasuk Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, maupun Gubernur Jawa Timur Bapak H. Soekarwo maupun Ibu Khofifah Indar Parawansa. Namun, Pemerintah Kota Surabaya tidak bergeming sama sekali. Keinginan masyarakat Surabaya pemegang Surat Ijo adalah sangat sederhana, yaitu agar tanahnya yang sudah lama dimiliki diberikan kepastian hukum menjadi Hak Milik, bukan melakukan revolusi untuk meruntuhkan Pemerintah Kota Surabaya.

 

Prof. Dr. H. Eko Sugitario, S.H.,C.N.,M.Hum. Guru Besar Mata Kuliah Politik Hukum Pertanahan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU