Pemerkosaan dan Kelaparan Jadi Senjata Perang di Tigray

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 18 Apr 2021 09:59 WIB

Pemerkosaan dan Kelaparan Jadi Senjata Perang di Tigray

i

Konflik berdarah di wilayah Tigray, Ethiopia dimulai pada November tahun lalu dipicu pertikaian antara pasukan pemerintah dan tentara regional di wilayah tersebut, memaksa ribuan orang mengungsi.SP/ Reuters

SURABAYAPAGI, Tigray -  Konflik berdarah di wilayah Tigray, Ethiopia, telah berlangsung berbulan-bulan dan memakan korban yang tidak sedikit, korban nyawa maupun mereka yang telantar. Kali ini, dikabarkan tindak kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan telah dijadikan senjata dalam perang di Tigray, Ethiopia. Hal ini dikabarkan langsung oleh Koordinator Bantuan PBB, Mark Lowcock.

Ia mengatakan, Eritrea harus didesak untuk menghentikan kekejaman dan menarik mundur pasukannya. Krisis kemanusiaan di wilayah Tigray, Ethiopia, dengan cepat memburuk apabila pasukan Eritrea tidak ditarik mundur dari kawasan perbatasan tersebut.

Baca Juga: Jatim Beri Santunan 75 Petugas Pemilu yang Meninggal Dunia, PJ Gubernur: Masing-Masing Rp10 Juta

Mark Lowcock mengatakan di hadapan Dewan Keamanan, bahwa kekerasan seksual dan pemerkosaan dijadikan senjata di Tigray. Tidak sedikit perempuan yang melaporkan diri menjadi korban pemerkosaan massal selama berhari-hari.

Lowcock mengatakan pihaknya mengumpulkan laporan dan aduan korban dari berbagai wilayah di Tigray, kebanyakan dilakukan oleh pria berseragam tentara. Dia menambahkan korban perempuan paling muda masih berusia delapan tahun."Untuk lebih jelas, konflik belum berakhir dan situasinya tidak membaik,” kata dia di hadapan 15 anggota DK dalam sebuah pertemuan virtual tertutup.

Menurut PBB, sebanyak 4,5 dari 6 juta warga Tigray membutuhkan bantuan kemanusiaan. Setidaknya 91% populasi membutuhkan bantuan darurat bahan pangan dan obat-obatan.Dia mengatakan pihaknya menerima aduan adanya kasus kelaparan baru awal pekan ini, ketika empat orang dinyatakan meninggal dunia akibat malnutrisi. Di distrik Ofla yang berada di selatan ibu kota Tigray, Mekelle, sudah sebanyak 150 penduduk dilaporkan tewas akibat kelaparan.

"Ini seharusnya menjadi bel alarm buat kita semua,” tutur Lowcock. "Laporan ini menggambarkan apa yang akan terjadi jika kita berdiam diri. Kelaparan sebagai senjata perang adalah pelanggaran HAM berat.” Tidak ada penarikan mundur militer. Konflik di Tigray berawal dari upaya pemerintah pusat mendongkel pemerintahan lokal. Sejak November 2020 silam, “Ribuan nyawa telah melayang, sementara angka pengungsi sudah mencapai 1,7 juta orang pada Maret 2021,” kata Lowcock.

Baca Juga: KPPS di Jatim Meninggal Dunia Bertambah Jadi 30 Orang, KPU Jatim: Ahli Waris Dapat Santunan

5550613855506138

Peta kawasan Tigray di utara Ethiopia, di dekat perbatasan dengan Eritrea.

Ketika pemerintah Eritrea menepis tuduhan keterlibatan militernya, Perdana Menteri Etiopia, Abiy Ahmed, mengindikasikan dirinya mengetahui adanya pasukan jiran di kawasan perang. Atas tuntutan PBB dan Amerika Serikat, dia berjanji pasukan Eritrea akan hengkang selambatnya bulan Maret 2021.Pada Selasa, 14 April 2021, Lowcock mendesak agar Eritrea menepati janjinya dan menarik mundur pasukan dari Tigray. "Sayangnya saya harus katakan, PBB atau lembaga kemanusiaan lain tidak ada yang melihat pemulangan pasukan Eritrea,” kata dia.

Baca Juga: KPU Jatim Catat 13 KPPS, 2 Linmas, dan 1 Sekretariat PPS Meninggal Dunia

"Tanpa gencatan senjata, krisis kemanusiaan yang sudah parah ini hanya akan bertambah buruk,” imbuhnya. "Saya tegaskan lagi betapa pentingnya tentara Eritrea menghentikan kekejaman ini dan hengkang dari Tigray. Mengumumkannya tidak sama dengan melakukannya.”

Atas tuduhan tersebut Menteri Informasi Eritrea, Yemane Gebremeskel, mengatakan kekerasan seksual dan pemerkosaan "adalah sebuah kekejian di dalam masyarakat Eritrea” dan harus dihukum seberat-beratnya jika terjadi.afp/rts/cr2/na

Editor : Mariana Setiawati

BERITA TERBARU