Pencitraan Risma, Diremehkan Buruh, bisa Downgrade Eri-Armuji

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 12 Nov 2020 22:16 WIB

Pencitraan Risma, Diremehkan Buruh, bisa Downgrade Eri-Armuji

i

Sorotan Wartawan Muda, Raditya Mohammar Khadaffi

 

Sorotan “Kebaikan” Risma yang Diusung Paslon Eri-Armuji (9)

Baca Juga: Jelang Lebaran, Disnakertrans Jatim Buka 54 Posko Pengaduan THR

 

 

 

 SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - “Jik Nemené rek Bu Risma iki!”. Kata beberapa teman jurnalis muda Surabaya sebaya saya di sebuah kafe pusat kota.

Komentar teman-teman, setelah membaca berita di harian kita edisi Rabu (11/11/2020), berjudul “Risma Punguti Sampah, Pedemo Teriak Tolak Omnibus Law.”

Dalam berita itu dilaporkan, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mendadak menyambangi aksi massa demo membawa karung. Berbaju batik, bermasker dan tetap berhijab, ia memunguti sampah-sampah yang berserakan di lokasi demo di depan Grahadi Surabaya.

Wali Kota perempuan pertama di Surabaya itu didampingi beberapa staf  sambil membawa karung. Dengan tenangnya, Bu Risma memunguti sampah-sampah yang berserakan di lokasi demo. 

Kemunculan orang nomor satu di kota Surabaya tersebut membuat fokus peserta demo yang semula memperhatikan orasi dan teatrikal buyar seketika. Risma dihantam teriakan “pencitraan-pencitraan” oleh sebagaian pendemo yang terdiri buruh dan mahasiswa.

Diremehkan, dituding-tuding dan diumpat oleh buruh wanita berbaju merah, Bu Risma, ngeloyor saja mengambili sampah, seolah tak mendengar ejekan dari pendemo.

Umpatan dari buruh dan mahasiswa ini bisa bumerang bagi perjalanan Eri-Armuji yang sedang kampanye menggalang suara. Secara psikologis, saya dan beberapa kawan jurnalis muda malah menduga, pencitraan politik Risma, di tempat dan waktu yang tidak tepat bisa mendowngrade Eri-Armuji.

***

Pencitraan yang dilakukan Bu Risma saat demo Omnibuslaw, ini masuk ‘politik pencitraan’ dan ‘pencitraan politik’?

Teman saya bilang mesti mengacu pada kesepahaman mendasar tentang definisi Komunikasi Politik itu sendiri.

Sejumlah pakar komunikasi menyatakan bahwa Komunikasi politik adalah pembicaraan untuk memengaruhi dalam kehidupan bernegara. Komunikasi politik dapat juga dianggap seni mendesain apa yang mungkin (art of possible) dan bahkan dapat merupakan seni mendesain yang tidak mungkin (art of impossible).

Tapi dua-duanya bagian dari tujuan komunikasi politik yaitu membentuk citra dan opini publik. Sekaligus mendorong partisipasi publik dalam mempengaruhi kebijakan publik.

Nah, dengan diolok olok mahasiswa dan buruh di depan umum, Bu Risma, bisa merusak citra yang kini sedang dibangun oleh Eri-Armuji.

Bu Risma, mungkin tak paham bahwa citra diri itu menurut ilmu komunikasi memiliki 4 (empat) fase.

Baudrillard dalam Arifin (2011:1993) menyebut keempat fase tersebut meliputi: 1) representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; (2) ideologi di mana citra menyembunyikan atau memberikan gambaran yang salah akan realitas; (3) citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas; dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan realitas apapun.

Sedang ‘Pencitraan’ merupakan proses pembentukan citra melalui informasi yang diterima oleh khalayak secara langsung melalui media sosial atau media massa.

Apakah saat Bu Risma, berniat “main drama” pungut sampah di kerumunan khalayak pendemo.

Jadi apa yang dilakukan Risma, ditengah pendemo, menurut saya, ‘pencitraan politik’ buat Eri-Cahyadi dan bukan “politik pencitraan” untuk Bu Risma.

Ini saya amati perikaku Bu Risma dilakukan ditengah khalayak pendemo. Maka tak heran, massa meneriaki pencitraan, dan pencitraan.

Dengan peristiwa ini saya bersama teman-teman jurnalis muda lainnya menyoroti dengan pendekatan ‘analisis khalayak’.

Mengapa? Karena pada dasarnya, menurut dosen ilmu komunikasi yang saya pernah berguru kepadanya, ‘khalayak itu kepala batu’ (the osbinate audience). Ini kemudian muncul pemahaman yang berkembang menjadi teori yang disebut ‘teori khalayak kepala batu’ (the osbinate audience Theory.

Teori ini merupakan koreksi dari Teori Peluru (The Ballet Theory) dan Teori Jarum Hipodermik (Hypodermik Needle Theory). Teori ini berpendapat bahwa khalayak itu pasif.

Baca Juga: Mengatasnamakan Media Nasional, Warga Lamongan Diperas Wartawan Gadungan

Dialog saya siang itu, perbuatan Bu Risma terkait pencitraan politik yang sangat terkait dengan sosialisasi politik. Ya sosialisasi karena namanya dicukil oleh paslon Eri-Armuji.

Sebagai jurnalis muda yang berpikirkan terbuka, perbuatan Bu Risma, semacam ini bisa mengganggu reputasi Eri-Armuji saat kampanye sampai pencoblosan. Terutama pada pemilih muda yang sangat realistis.

Feeling saya “pencitraan politik” Risma saat demo ini bisa menggerus suara anak muda ke paslon Eri-Armuji. Mengapa? Dari banner, baliho dan spanduk paslon 01, secara emosional tidak dapat dipisahkan antara Eri-Armuji dengan Risma. Artinya, semakin intens sosialisasi politik yang dilakukan Eri-Armuji dan Risma, semakin tinggi ketidak kepercayaan khalayak pada Eri-Armuji. Dan pada gilirannya khalayak yang realistis akan menentukan pilihannya, tidak usah mencoblos Eri-Armuji, karena keduanya menyetujui pencitraan politil Risma yang harus dilanjutkan.

Hal ini yang oleh pakar komunikasi memiliki kesadaran ‘Aku’, sebagai kekuatan baginya dalam menghadapi pengaruh dari luar. Kesadaran ‘Aku’ ini secara psikologi bersumber dari kerangka referensi (frame of reference) dan pengalaman lapangan (field of experience).

***

Bu Risma, gak saat ini aja mendadak viral tentang pencitraannya. Beberapa tahun lalu, Bu Risma juga ramai diperbincangkan warganet setelah video dirinya turun ke jalan mengatur lalu lintas beredar.

Maklum, selama ini Bu Risma, terkenal sering melakukan aksi turun ke lapangan.

Video itu diunggah oleh akun Twitter @Raj4Purwa pada Senin, 13 Januari 2020 lalu, sekitar pukul 12:04 WIB siang.

Dalam video durasi 1 menit 42 detik itu, bu Risma tampak cekatan mengatur lalu lintas di salah satu perempatan di Surabaya.

Pada kicauannya, akun tersebut menyebut aksi Bu Risma kampungan dan terlalu berlebihan. "Hahahaha sampai segininya, Maaf Bu... Asli Norak!" tulisnya.

Atas aksi-aksi pencitraannya, Bu Risma dinilai oleh sebagian warga Surabaya sebagai walikota yang sangat peduli terhadap lingkungan. Maklum, selama Bu Risma menjabat, ia banyak membuat taman-taman kota.

Taman untuk menambah kecantikan wajah Kota Surabaya. Gaya kepemimpinan di luar pakem inilah yang konon menyedot perhatian masyarakat. Bu Risma bahkan menjadi media darling, baik media cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional.

Ada akademisi yang melakukan penelitian selama menjabat Walikota Surabaya periode 2010-2015 kebijakan yang dilakukan Bu Risma hanya melakukan kebijakan yang populis yaitu kebijakan yang hanya menggugah perasaan (emosi) masyarakat saja.

Baca Juga: Unesa Terima 4.733 Camaba Lewat Jalur SNBP 2024

Kebijakan yang cenderung menyembunyikan realitas yang ada. Bu Risma hanya mengerjakan perkerjaan populis dan cenderung menafikkan permasalahan yang lebih besar. Bu Risma juga kurang berdaya atas intervensi kekuatan kapital di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

Kebijakan pertamanya saat menjadi wali kota, saya masih ingat, Bu Risma  mencegah Kota Pahlawan menjadi 'hutan reklame' seperti kota-kota besar lainnya. Selain merusak pemandangan kota, berdirinya 'hutan reklame' juga bisa mengancam keselamatan pengguna jalan.

Papan reklame besar bisa saja menimpa pengguna jalan seperti kasus di beberapa kota besar lainnya. Sementara pemotongan pajak untuk papan reklame kecil semata-mata untuk memacu pengusaha menengah ke bawah agar lebih mudah beriklan. Namun policy Bu Risma itu justru memicu konflik Bu Risma dengan DPRD Kota Surabaya.

Hubungan Bu Risma dan DPRD Kota Surabaya menjadi kurang harmonis. Konflik di awal-awal pemerintahan Bu Risma membuat Bu Risma mencari dukungan dari luar legislatif yaitu media massa dan warga Surabaya.

Setiap kegiatan Bu Risma selalu diliput oleh media, baik media cetak maupun elektronik. Bahkan kegiatan Bu Risma yang sering terjun sendiri mengatur lalu lintas yang macet, menjadi perhatian publik.

Termasuk saat ia mematau daerah-daerah banjir di Surabaya. Apalagi ikut membersihkan saluran air dan taman. Bahkan tidak jarang memarahi orang yang merusak taman.

Tapi saat Bu Risma merangsek di tengah pendemo UU Cipta Kerja, Rabu kemarin, bukan media lokal dan nasional yang meliput, tapi media sosial memviralkan Bu Risma diolok olok khalayak.

Nah, cara Bu Risma melakukan pencitraan tanpa melihat momen seperti tanggal 10 November 2020 lalu, bukti Bu Risma tidak lagi bisa terus menerus membentuk nilai (citra) positif baginya. Dari viral yang beredar, tampak memunculkan citra negatif terhadap dirinya yang beberapa bulan lagi lengser.

Sepertinya Bu Risma yang terlalu lama bermain pencitraan, tidak sadar bahwa pencitraan yang berlebihan bisa menurunkan citra positifnya.

Praktis apa yang dilakukan Bu Risma pada hari Selasa lalu memang bisa makin menenggelamkan citra positif karena pencitraannya over.

Dia atau konsultan marketingnya lupa bahwa pencitraan model bawa karung sampah di tengah khalayak yang emosional seperti dalam demo Selasa lalu tidak seharusnya dilakukan secara terus menerus oleh Risma.

Ada apa urusan punguti sampah di tengah khalayak yang sedang emosional tidak didelegasikan kepada Wakil Walikota Whisnu Sakti? Atau Kepala Dinas atau camat sekitar gedung Grahadi. Jika pencitraan politik berlebihan ini dilakukan secara terus menerus oleh Bu Risma,  bisa jadi ia akan terjebak pada pencitraan politik  yang tidak ada kaitannya dengan problem yang dihadapi warga Surabaya. Termasuk masa kritis kekuasaannya diincar Irjen (Purn) Machfud Arifin-Mujiaman.

Inikah kekeliruan pejabat yang terlalu mengagung agungkan pencitraan politik, sehingga pada sisa jabatannya sebagai walikota, ia tidak bisa konsentrasi berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih besar pada transisi penyerahan kekuasaannya kepada penggantinya yaitu paslon MA-Mujiaman, bukan penerusnya, paslon Eri-Armuji. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU