Politik Transaksional, MA Lebih Cepat Gandeng Gus Hans

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 09 Jun 2020 21:49 WIB

Politik Transaksional, MA Lebih Cepat Gandeng Gus Hans

i

Catatan Politik Dr. H. Tatang Istiawan

Dipastikan Pilkada tahun 2020 ini tampaknya tetap dijadwalkan 9 Desember 2020. Bila benar, prediksi saya untuk saat ini hanya ada 2 calon. Pertama, calon wakil walikota Surabaya pendamping Mahfud Arifin. Kedua, siapa diantara Cawali yang sekarang, Whisnu Shakti Buana atau Eri Cahyadi, yang direkomendasi Ketua Umum PDIP Megawati.?

Tidak ada figure lain yang perlu diperhitungkan, karena MA sudah memborong enam-tujuh parpol peserta Pemilu. Tinggal PSI dan PDIP yang masih belum memiliki jago.

Baca Juga: PDIP Surabaya Siapkan 16.334 Saksi di Pemilu 2024

Peta ini menunjukan ada kegarangan MA yang mantan Jenderal Polisi. Arek Suroboyo ini sejak tahun lalu merangsek gandeng tokoh-tokoh parpol. Terobosan ini patut diacungi jempol. Gerakan MA, bagi politisi muda bisa dianggap fenomena baru. Dalam waktu tak sampai enam bulan, mantan Kapolda Jatim itu bisa merentengi tokoh-tokoh parpol. Mungkin ini ada peran Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN dan tokoh Tionghoa kharismatik Surabaya, PW Afandi alias Wefan.

Hal menarik, meski MA dikenal tokoh abangan dari Polri, arek Ketintang ini toh bisa menjawil PKS. Ini menggambarkan dukungan untuk MA, sudah jauh ‘di ambang batas’. Setelah Gerindra, PAN, PKB, Demokrat, PPP, dan kini PKS. Bila PSI tidak absten, kandidat dari PDI-P benar-benar ‘ditawur’. Siapa cawalinya?, Eri Cahyadi atau Whisnu Shakti Buana.

Kini MA mengincar cawali. PDIP incar dua-duanya. Antara lain dari tokoh parpol pendukungnya. Ada KH Zahrul Azhar Asad, ada Awey dan Renny Astuti.

Hasil penjajakan saya sampai Selasa semalam (9/06), Gus Hans, yang dulu dijagokan Khofifah, bisa menjadi pengganti Risma, mesti tahu diri, posisi yang kosong baginya hanya cawali, bukan wawali.

Lahir di Jombang pada 23 Maret 1976, Gus Hans sudah aktif berorganisasi sejak kuliah di jurusan Hubungan Internasional UPN Jogjakarta. Kiprah Gus Hans, dalam perpolitikan tanah air teruji ketika berhasil mengantarkan pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak memenangi pemilihan Gubernur Jawa Timur. Padahal dalam struktur tim kampanye, Gus Hans didaulat menjadi Juru Bicara. Kini saat pandemi covid-19, Gus Hans, sering nongol di gedung negara Grahadi, Surabaya.

Alumnus S2 IKM Fakultas Kedokteran UGM Jogjakarta ini juga dikenal sebagai dai muda yang memiliki massa di akar rumput. Itu tidak heran karena backgroundnya yang seorang pendidik. Tercatat, hingga kini ayah tiga anak ini merupakan pengasuh Pondok Pesantren Queen Al Azhar Darul Ulum, Peterongan, Jombang dan Wakil Rektor Unipdu Jombang.

Dalam pergaulan antar pendakwah dan santri, Gus Hans juga memegang peranan penting yakni menjadi Sekjen Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN). Berasal dari keluarga Nahdliyin, pria ini juga aktif dalam organisasi sayap NU. Dia menjadi Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Jatim 2014-2018.

Bagi Gus Hans, menjadi Wali Kota bukanlah impiannya. Maklum, impiannya adalah bisa menebar manfaat dimanapun dan apapun posisinya. Kalau ternyata dirasa bisa menebar manfaat saat menjadi wali kota, ya tentu ia siap menerima amanah. Kini peluang menjadi walikota Surabaya agak terhalang. 6-7 parpol melongos ke MA. Karena itu, Gus Hans mengatakan akan melihat terlebih dahulu proses menuju Pilwali ini.

Dalam pandangannya, masyarakat Surabaya adalah orang – orang cerdas, kritis, dan memiliki rasa cinta yang besar pada kotanya.  Ia termasuk percaya, politik transaksional tidak akan bisa mendapat tempat di kota Surabaya. Calon yang ada harus benar-benar capable dan berkualitas. Tapi ia lupa pilkada ini serba pragmatis. Tidak serta merta, dia yang pernah berjasa terhadap Khofifah, bisa minta rekomendasi dari Khofifah maju pilwali.

Bagi pria yang identik dengan kopiah hitam itu, konsep “smart city Surabaya” kini sudah berada on the right track, baik dalam pembangunan SDM dan SDA. ”Tapi tetap, Bu Risma bukan wonderwoman. Diperlukan 20 – 30 tahun untuk menyelesaikan konsep tersebut. Dan, kami siap melanjutkan,” jelas Gus Hans, saat ada pertemuan.

Kini konsep smart city Surabaya, ada di cawali  MA, Ery atau Whisnu.

Dengan berlatar belakang pesantren yang mengelola berbagai program di televisi nasional, Gus Hans, sayang tak dirangkul MA.

Apalagi Gus Hans,suka mengangkat serta menfasilitasi masyarakat agar mempunyai kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan, kreativitas dan ide-ide kemandirian lainnya.

 

*****

 

Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin (MA), sekarang ini cawali paling gegap gempita. Dia yang sudah didukung enam partai dalam Pilwali Surabaya 2020, yakin mampu melipatgandakan suara enam partai tersebut di Surabaya. Maklum, dia polisi yang lama di reserse. Jadi lika liku preman sudah diidentifikasi.

Kita ingin tahu apakah MA mampu membuktikan dalam sisa enam bulan mewujudkan impiannya untuk melipatgandakan suara partai pendukungnya yang pada Pileg lalu sekitar 600 ribu.

Secara akal sehat, MA akan diuji mampukah bertarung melakukan pergulatan antara saat aktif menjadi polisi yang menaklukan penjahat melalui trik-trik. Termasuk dengan preman politik (white collar crime) yang tak cukup dijinakan dengan ancaman, gertakan dan tembakan peluru.

Preman politik sangat paham politik uang, kekuasaaan dan konspirasi. Kadang saat last minute, preman politik bisa menelingkuh polisi yang menangkapnya dengan minum -minuman, pesta seks dan narkoba.

Nah, politik transaksional sekarang ini sedang bergandengan tangan dengan MA. Suka atau tidak suka. bisa menunjukkan meski sudah pensiunan jadi polisi yang takjir atau MA saat maju pilkada ijir-ijiran (hitung-hitungan). Maklum, kenalan polisi saya yang berpangkal jenderal, setelah tidak jadi polisi lagi (purnawirawan), hidupnya superhemat. Mengingat saat sudah pensiun, meski seorang Jenderal sekalipun, tidak mudah menarik arisan dari teman-teman etnis Tionghoa.

Kini, MA, meski bisa pamer 6 partai besar seperti NasDem, Demokrat, PPP, PKB, PAN dan Gerindra dan konon PKS. MA tidak otomatis mengantongi dana besar seperti saat menjadi Kapolda Jatim yang tahun 2018, menangani kasus besar, Sipoa.

Baca Juga: Nobar Debat Capres di Posko-Posko PDIP Surabaya, Ganjar Pranowo Panen Pujian dari Warga

Apakah janjinya ia bisa melipatgandakan jumlah total 21 kursi di DPRD Surabaya  menjadi 41 atau 52. Kalkulasi politik tidak sama dengan deret hitung. Masing-masing ada sejumlah komponennya. Makanya asumsi reserse saat MA masih aktif dengan kumis tebalnya tidak bisa diwujudkan sekarang, meski sekarang dalam gambar-gambar ia berjenggot dan berkumis.

Maklum, jingjak, panggilan polisi dikalangan orang Tionghoa, tidak selamanya menguntungkan. Apalagi saat sudah jenderal pensiunan. 

Irjen Pol (Purn) MA berjanji bila kelak jadi walikota Surabaya, Kota Pahlawan ini akan semakin cantik dan warganya tambah sejahtera.

Arek asli Ketintang Surabaya ini ingin pasar-pasar yang ada di Surabaya berubah. Termasuk  Pasar Turi, Pasar Keputran, Pasar Wonokromo, Pasar Kupang, dan pasar di kawasan Jembatan Petekan.

Bahkan Pasar Turi harus kembali difungsikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian di kawasan Surabaya Utara, ada pasar baru di sekitar Jembatan Petekan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Demikian pula Pasar Wonokromo dan pasar-pasar lainnya, menurutnya tidak layak untuk berinteraksi antara penjual dan pembeli. 

Cawali Kota Surabaya yang diusung koalisi partai PKB, PAN, Gerindra, Demokrat, PPP, NasDem dan Partai Golkar pernah mengaku ingin merapikan pasar. Bahkan menatanya dengan baik sehingga orang merasa nyaman, membuat sehat dan sejahtera tinggal di Surabaya.

Apakah selama ini warga kota Surabaya belum merasakan nyaman, sehat dan sejahtera? Subyektivitas yang bisa diungkap.

Lalu saat ini, mencari sosok siapa yang bakal mendampingi MA, menjadi wawalinya?, saya mau membahas politik di belakang layar saja. Ada Dimensi informal. Saya mau fokus ke politik tukar kepentingan atau politik transaksional.

Maklum, background MA yang membuat ia saat banyak dikelilingi pengusaha etnis.

Apalagi saya pandemic covid-19. saya menemukan sejumlah indikasikan MA acapkali dukung policy Gubernur Khofidah.

Beberapa kali MA dan timsesnya sowan ke Grahadi. Sebagai jurnalis yang terbiasa melakukan investigasi, saya dibikin terperangah. Gubernur Khofifah dengan gaya santun sebagai ustadahnya suka mengkritik policy Walikota Risma, atas penanganan covid-19 di kota Surabaya.

Kritik ini disampaikan beberapa kali, baik terkait personal branding maupun kelembagaan.

Baca Juga: Euforia Meledak Saat Ganjar-Mahfud MD Dapat Nomor 3, PDIP Surabaya: Persatuan dan Kemenangan

Puncak “penyerahan diri” Risma pada Khofifah, tidak sepenuhnya Risma tunduk pada Khofifah. Maklum, Risma, dikenal suka ngengkelan.

Saya termasuk tidak yakin dengan pernyataan Risma yang menyatakan manut apa saja pada Gubernur? Padahal selama ini, Risma dikenal temperamental. Dalam pergaulan sosial saya, jarang pejabat publik yang berkarakter pemarah, tiba-tiba mudah berbalik arah. Konon belakangan Risma dengan dengan orang BIN, mengurus pengurangan Covid-19.

Dalam setiap pemilihan, pengalaman saya meliput, cawali seperti MA (jenderal kaya) acapkali dikesankan memberikan dukungan dan lalu memberi imbalan. Pernah saya silahturahmi di sekretariat pemenangan MA. Acapkali MA bilang dikasih dana berapa? Dari pernyataan MA lisan seperti ini mengesankan MA ini punya dana besar. Bahkan saat saya bertamu di ruangan pribadi Jl. WR Supratman, MA tak segan menyebut pengusaha Teguh Kinarto, akan menitipkan dana.

Seorang politisi NasDem yang anggota DPRD Surabaya, Imam Syafii, mengklarifikasi kedekatan MA dengan Haji Syam, tokoh batubara dan transportasi dari Kalimantan Selatan. Saat disinggung ini, MA diam.

Saya punya catatan sejarah, saat Haji Syam jaya-jayanya, Kapolda Kalsel masih dijabat Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin. Praktis, sejak saat itu pekerjaan, uang, proyek, kontrak kerja, hadiah dan lain-lain tak jauh dari lingkaran MA. Bahkan dengan bos Alkes, drg. David, MA juga punya kedekatan. Saya beberapa kali dihubungi agar jangan usik drg. David, yang suplai alkes ke berbagai rumah sakit pemerintahan di Jatim.

Jadi, saya manggut-manggut saja saat diajak bicara Indonesia politic focus. MA, saya yakin tahu  siapa caleg, siapa calon walikota dan tidak fokus pada partainya. Maklum, bos saya, PW Afandi alias Wefan, adalah bos langsung usaha media saya.

Saya pun selalu mengiyakan dan tidak menolak pesan bos Wefan. MA, tahu celah ini. Makanya sedikit-sedikit, MA menelepon Suk Wefan, untuk menegur saya. Inilah praktik politik transaksional sesungguhnya.

Sadar atau tidak, pada masa kampanye, sejumlah  politikus lokal termasuk MA, bisa mengeluarkan banyak dana untuk membiayai kegiatan kampanyenya.

Dalam logika bisnis, modal yang sudah dikeluarkan tersebut harus kembali puluh atau minimal impas. Padahal besarnya gaji bulanan yang disediakan atau diberikan oleh negara kepada kandidat pilwali belum tentu mampu mengembalikan besarnya modal yang pernah dihabiskan untuk membiayai dana kampanye.

Nalarnya, cawali yang memiliki modal finansial yang kuat sekalipun, akan dilirik oleh partai politik. Kendati pun ada faktor-faktor lain yang cukup berpengaruh pada kesuksesan dalam memenangi pertarungan pilkada. Misalkan dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, dan bahkan keberuntungan (nasib).

Dalam kamus politik, empat faktor ini menjadi daya tarik yang diperebutkan oleh para cawali. Dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, keberuntungan (nasib) dan besarnya modal finansial menjadi powerfull yang mendukung eksistensi seorang cawali seperti MA.

Logika politik transaksional, sadar atau tidak, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di pilkada 2020 nanti. Tak salah cawali seperti MA, Eri, Whisnu, akan berlomba berpikir praktis dan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa secara politik di Surabaya. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU