Home / Hukum dan Kriminal : Pengamatan Praktisi Hukum

Praktik Setoran ke Pimpinan Polri, Karena Budaya, Terutama Saat Urus Perkara

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 24 Okt 2022 21:34 WIB

Praktik Setoran ke Pimpinan Polri, Karena Budaya, Terutama Saat Urus Perkara

Harus Ada Perubahan Sejak Rekrutmen dan Lakukan Assesment Secara Adil dan Transparan  (sub judul)

 

Baca Juga: Kapolri Bolehkan Kapolda Jadi Saksi Kecurangan Pemilu

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Mampukah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, akan mencopot personelnya yang terlibat 'setoran' ke komandannya? Mudahkah menghilangkan praktik setoran di tubuh Polri yang sudah berlangsung lama?

Harian Surabaya Pagi, meminta pendapat ke beberapa praktisi hukum dan sosiolog secara terpisah. Diantaranya praktisi hukum H. Abdul Malik SH., MH dan Edward Dewaruci SH, MH. Dan seorang akademisi yang juga pakar Sosiologi Hukum dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Sholahuddin. Mereka dihubungi secara terpisah, Senin (24/10/2022) kemarin.

H. Abdul Malik, SH., MH, advokat yang juga ketua organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Timur, mengapresiasi atas tindakan tegas Kapolri Listyo yang akan mencopot para anggotanya bila ketahuan terima setoran dari pihak ketiga dan meneruskan ke komandannya.

Namun, lanjut Abdul Malik, penindakan tegas Kapolri juga harus ada sebuah solusi yang tepat agar setoran-setoran itu bisa putus. Pasalnya, setoran di institusi, di Indonesia sudah membudaya.

"Soalnya soal kayak gini, sudah membudaya. Dan tidak hanya di Kepolisian saja. Di Pengadilan, Kejaksaan, bahkan di pemerintahan pun ada. Tetapi karena yang bilang sekarang ini pak Kapolri.  Jadi saya harap ada perbaikan secara menyeluruh, jangan hanya himbauan saja," kata Abdul Malik, Senin (24/10/2022).

 

Sesuaikan Gaji Polri

Menurut Abdul Malik, untuk bisa memutus budaya "setoran" itu, perubahan yang mendasar, yakni melakukan penyesuaian gaji kepada anggota Polri. Sebab, gaji anggota Polri yang disinggung Abdul Malik, saat ini masih terlalu kecil. Meskipun tunjangan kinerja Polri berdasarkan jabatan, besar.

"Budaya setoran ini khan harus dikepras. Dari mana? Yah solusinya, benahi sistem dari awal dan juga Kapolri juga menaikkan gaji para anggota Polri sesuai jabatan dan pangkatnya. Ini penting agar tidak terima setoran-setoran lagi," katanya.

Sebab, dari pengalamannya berperkara di Kepolisian, banyak anggota yang sering curhat soal gaji kepada advokat senior ini. Apalagi, bila di setiap perkara, ada atensi baik dari pihak eksternal ataupun dari internal. "Sering kayak gini, mereka curhat soal gaji. Belum lagi kalau ada pesanan, atau kadang atensi. Di tingkat penyidik-penyidik gini yang kadang masih ada ewuh pakewuh. Jadi terima dari eksternal, lalu disetorkan ke atasan. Ini hampir terjadi dari Polsek hingga Polda. Makanya, kalau sudah kayak gini, penyidik seluruhnya itu, minimal wajib di rolling 2 tahun sekali. Kalau gak, pasti akan menjadi markus," ungkapnya.

 

Assesment yang Transparan

Sedangkan, praktisi hukum muda, Edward Dewaruci, SH, MH, menilai, setoran yang dimaksud oleh Kapolri, sudah dibiarkan sejak lama dan menjadi kebiasaan di tubuh institusi Polri. Untuk itu, Edward Dewaruci sangat mengapresiasi dengan ketegasan Kapolri yang menindak anggota Polri yang melanggar aturan seperti masih membudayakan praktik setoran / pungutan liar seperti ini.

"Soalnya dalam praktek berperkara, seringkali, pihak yang berperkara berusaha mempengaruhi petugas. Nah dari sana akhirnya dibiarkan (setoran itu). Dan jadi kebiasaan terus menerus," kata Edward Dewaruci, Senin (24/10/2022).

Untuk itu, lanjut Teted, sapaan Edward Dewaruci, untuk bisa merubah dan memutus adanya setoran seperti yang dimaksud Kapolri, sudah harus ada pembenahan dan perubahan yang signifikan sejak dari awal penerimaan / rekrutmen hingga proses mutasi jabatan.

"Kalo mau berubah ya sejak rekrutmen, pendidikan mutasi atau naik jabatan harus bebas kebiasaan itu. Bikin sistem assessment yang transparan dan jurdil. Yakni dengan memanfaatkan teknologi Informasi," lanjut Teted.

Teted juga mencontohkan, bagaimana proses kebiasaan yang harus dirubah yakni terkait setiap perkara yang sedang ditangani. Yakni perkara SP2HP sampai SP3, harus benar-benar dibuat ke dalam sistem yang adil, terbuka. Sehingga semua pihak yang berperkara, bisa memantau.

Sebab, selama ini, proses itu berpotensi adanya setoran diam-diam karena lemahnya kontrol. "Jadinya mekanisme evaluasi dan monitoringnya belum terbuka. Yah mereka, oknum-oknum terima diam-diam. Belum lagi kalau kebiasaan menjaga nama baik korps," ungkap Teted.

 

Baca Juga: Gebuk Mafia Tanah dalam 8 Bulan

Sudah Jadi Kultur

Umar Sholahudin, pakar Sosiologi Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya juga melihat, budaya setoran di dalam institusi Polri secara historis dan sosiologisnya. Menurut Umar, secara historis dan kultural, "setoran" sudah ada dalam kultur masyarakat sejak lama. Bahkan, sudah ada sejak zaman feodal atau kolonial, yakni disebut "upeti", yakni pemberian bawahan ke atasan. Atas dasar itu, Umar menganalisis, kultur budaya setoran / upeti sudah sangat kuat.

"Praktek sosial dan budaya itu akhirnya masuk dalam sistem birokrasi modern, terutama masuk dalam birokrasi di institusi Polri. Yang akhirnya, mempunyai persepsi negatif, berpotensi adanya pelanggaran hukum, yakni KKN," kata Umar Sholahudin, Senin (24/10/2022).

Umar menjelaskan, bahwa pernyataan Kapolri Listyo sebenarnya, secara implisit untuk menunjukkan kebiasaan setoran atau upeti sudah terjadi dan sudah mengetahui di institusi Polri. Hanya saja, lanjut Umar, masih belum tersentuh.

 

Tak Bisa Dihilangkan

"Sekarang dengan instruksi Kapolri, agar kebiasaan buruk itu dihentikan, saya sangat setuju. Namun, memang, kebiasan dan praktek setoran atau upeti itu tidak bisa dihilangkan dalam sekejap. Tetapi bisa dikurangi atau diminimalisir," sebut akademisi yang telah menerbitkan buku "Hukum dan Keadilan Masyarakat" ini.

Bagaimana caranya? Menurut Umar, untuk meminimalisir, harus ada pendekatan kelembagaan maupun personal dari Kapolri kepada setiap jajaran dibawahnya hingga Polsek.  Selain perlu adanya peran serta pihak eksternal yakni dari Kompolnas, Komisi III DPR RI dan masyarakat. "Selain dari penataan internal, dari eksternal juga harus. Itu dilakukan secara intensif. Saya yakin praktek setoran / upeti ini akan berkurang," kata Umar.

Umar mengingatkan jangan sampai praktek setoran atau upeti atau pungli inin menjadi fenomena yang sistemik. Agar tujuan Kapolri saat ini bisa melakukan reformasi kultural dan kelembagaan Polri yang berkemajuan.

 

Baca Juga: UI Minta TNI-Polri Jangan Dipaksa Menangkan Salah Satu Paslon

Tiadakan Setoran ke Komandan

Kapolri Sigit menegaskan 'setoran' ini membuat terjadinya pungutan liar (pungli).

'Setoran' yang dimaksud adalah pemberian uang oleh anggota kepada komandan atau atasannya. Sigit menegaskan perilaku ini harus ditiadakan.

"Tentunya kita-kita yang atasan-atasan ini juga harus mengurangi hal-hal atau menghilangkan hal-hal yang membuat anggota kemudian memilih alasan untuk melakukan pungli, karena alasannya untuk setoran ke atasan. Ini tolong ditiadakan," tegas Sigit, dari akun Instagramnya, Senin (24/10/2022).

Hal itu diungkapkan Sigit saat memberi pengarahan kepada kepala satuan wilayah (kasatwil) di 34 polda dan polres jajarannya. Pengarahan dilakukan lewat video conference.

Jenderal Sigit Listyo menyinggung motivasi bawahan menyetorkan uang ke atasan dengan harapan mendapatkan kesempatan sekolah atau jabatan yang lebih baik. Sigit pun menegaskan akan menangkap pihak-pihak yang mencatut namanya untuk iming-iming sekolah dan jabatan.

 

Tangkap, Laporkan

"Saya kira Pak As SDM sudah melakukan nggak ada yang namanya mau masuk sekolah bayar, mau dapat jabatan bayar. Dan ini saya cek di Mabes, tidak ada seperti itu. Termasuk juga kalau ada yang bawa-bawa nama saya, tolong tangkap, laporkan," kata Sigit.

Sigit mengulangi lagi instruksinya untuk meniadakan perilaku 'setoran' demi jabatan atau kesempatan sekolah. "Kita sepakat bahwa di Mabes tidak ada yang seperti itu. Tolong di Polres lakukan hal yang sama," ucap Sigit.

"Tidak ada untuk menempatkan jabatan, harus bayar. Tidak ada untuk supaya seseorang bisa sekolah, harus bayar," imbuh mantan Kabareskrim Polri ini. jk/erc/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU