Presiden yang Nasionalis Hargai Vaksin Nusantara

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 05 Sep 2021 20:46 WIB

Presiden yang Nasionalis Hargai Vaksin Nusantara

i

Moeldoko pun juga disuntik vaksin nusantara beberapa waktu yang lalu.

Pendapat Ekonom Unair dan Ahli Komunikasi Unibraw Malang 

 

Baca Juga: Mengapa Gibran dan Bapaknya Diusik Terus

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -  Kementerian Kesehatan memastikan Vaksin Nusantara bersifat individual karena bersifat autologous dan tidak dapat dikomersialkan.

Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari  merespons hal itu lewat tayangan di Youtube yang dipantau Rabu (1/9/2021). Dia menjelaskan, bahwa vaksin berbasis pada sel dendritik dari diri sendiri dan untuk diri sendiri atau atau autologous. Jadi, tidak bisa disebarluaskan.

 “Autologous bukan berarti tidak bisa disebarluaskan. Bisa, tapi dengan teknologi. Teknologinya yang disebarluaskan,” katanya.

Siti menjelaskan bahwa yang diperbanyak bukan sel dendritik, melainkan teknologi. Teknologi menjadikan dendritik kuat terhadap virus, termasuk Virus Corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Terkait njelimetnya jalan yang dilalui vaksin Nusantara ini, Pakar ekonomi asal Universitas Airlangga (Unair) Dr. Imron Mawardi, SP., M.Si sangat menyayangkan. Menurutnya, vaksin nusantara hanya bersifat penelitian dan penggunaanya terbatas. Jadi, kata Imron, di era pandemi saat ini, Indonesia patut menunjukan taringnya kepada negara lain.

"Kalau itu dikomersilkan saya yakin, ekonomi kita pasti akan cepat pulih. Bahkan bisa keluar dari jurang inflasi. Karena sudah banyak negara yang mau pesan vaksin nusantara," kata Imron Mawardi kepada Surabaya Pagi, Minggu (5/9/2021).

Walau begitu, ia masih berharap agar pemerintah memiliki skema yang tepat sehingga transfer teknologi dapat dilakukan. Tujuannya selain memperkuat riset vaksin nusantara sekaligus dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia.

"Kalau pun tidak bisa dikomersialkan, minimal dibuat semacam badan atau pusat riset sehingga ada transfer knowladge di sana. Tapi lebih mandiri lagi kalau ini dibuatkan badan usaha atau BUMN. Jadi ada keuntungan ekonomi yang lebih bagi Indonesia. Hakul yakin kalau ini bisa dibentuk, dunia famasi kita akan dikenal dunia dan investasi pasti akan berduyun-duyun datang," tegasnya.

Terpisah, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Maulina Pia Wulandari, PhD,  menegaskan pentingnya kehadiran presiden dalam kasus ini. Menurutnya, sebagai kepala negara, presiden harus memiliki ketegasan dan keberanian khususnya dalam kondisi darurat seperti saat ini.

Baca Juga: Kesimpulan Paslon 01 dan 03: Sumber Masalahnya, Gibran dan Cawe-cawenya Jokowi

"Harusnya pemerintah dalam hal ini presiden ya, harus tegas, menyampaikan bahwa ini produk kita, mari kita dorong dan kita gunakan, demi kemandirian industri kesehatan kita," kata Pia Wulandari kepada Surabaya Pagi, Minggu (5/9/2021).

"Tapi selama ini kita tidak dengar itu, public address dari pemerintah masih sangat buruk. Seharusnya ini moment yang pas untuk membangkat semangat nasionalisme bangsa mulai dari Sabang hingga Merauke," katanya lagi.

Dengan hadirnya pemerintah sebagai core dari proses vaksin nusantara, tentu persoalan seperti pencekalan yang  sebelumnya terjadi akan teratasi.

"Tapi apa sekarang yang terjadi, mulai banyak tokoh yang mendukung baru tuh mulai melempem mereka. Memang negara kita begitu, karya anak negeri yang bagus tidak dihargai, malah datangkan dari luar," ucapnya.

Terbentur MoU

Polemik antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan inisiator vaksin nusantara yakni dr. Terawan Putranto masih terus bergulir. Meski telah ada MoU terkait penelitian berbasis pelayanan sel dendrik antara Kepala BPOM Penny K Lukito, dan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, bukan berarti masalah tersebut usai.

Baca Juga: Jokowi Dituding Lebihi Soeharto

 MoU ini hanya sebatas pemberian izin penelitian dan bukan kelanjutan dari uji klinis adaptif tahap 1. BPOM tetap pada posisi bahwa vaksin nusantara harus melalui fase pra praklinik terlebih dahulu sebelum masuk tahap uji klinik tahap I.

Dengan dukungan dari DPRI dan masyarakat, matan menteri kesehatan tetap melanjutkan proses pembuatan vaksin nusantara. Bahkan hingga kini, vaksin nusantara telah disetujui sebagai vaksin booster atau vaksin ke-3.

Sejumlah pihak pun membenturkan, penggunaan vaksin nusantara dengan semangat nasionalisme. Alih-alih memproduksi vaksin dalam negeri sebagai bentuk kemandirian, presiden justru mengimpor vaksin dari luar mulai dari sinovac, astra zeneca hingga pfizer.

Namun lagi-lagi, karena MoU yang dilakukan oleh BPOM bersama Kemenkes akhirnya keinginan untuk mengkomersialkan vaksin nusantara pupus begitu saja. Karena dalam MoU tersebut, penggunaan vaksin nusantara hanya sebatas penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas masyarakat yang sifatntya terbatas.

"Kan sudah saya bilang sejak dulu, hal-hal yang seperti ini harusnya presiden yang turun tangan. Tapi sekarang kemana beliau, jadi saya berharap satu hal kalau mau kemandirian bangsa itu ada, hargailah karya anak-anak bangsa. Kalau tidak ya, kayak nasib mobil esemka kan," pungkasnya. sem/rl/jk3

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU