Home / Catatan Tatang : Kilas Balik Politik Indonesia Akhir Tahun 2021 (5-

PT 20%, Politik Mahal Hasil Plintiran Partai Berkuasa

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 30 Des 2021 20:25 WIB

PT 20%, Politik Mahal Hasil Plintiran Partai Berkuasa

i

Dr. H. Tatang Istiawan

Sampai jelang tutup tahun 2021, belum semua partai yang mendukung langkah sejumlah pihak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini untuk menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%. PDIP dan Golkar melalui kader-kadernya di DPR-RI menolak. NasDem dan Gerinda sepertinya absten. Beda dangan PAN, PKS dan Demokrat.

Tapi ada kader Gerindra Ferry Juliantono, yang ikut menggugat PT 20%. Ada Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Gatot Nurmantyo, dan 2 anggota DPD.

Baca Juga: Pengamat: Gugatan TSM Tunjukan Bukti Keterlibatan Struktur Kekuasaan

Gugatan uji materi ini, tampaknya mendapatkan respons luas. Wacana pun terus bergulir, meski Pilpres masih 3 tahun lagi.
Padahal sebelum ini sudah ada 13 kali gugatan terkait Pasal 222 tersebut. Lima di antaranya tidak diterima karena masalah kedudukan hukum atau legal standing.

Gugatan terakhir yang ditolak ialah Perkara nomor 74/PUU-XVIII/2020. Gugatan ini diajukan Rizal Ramli ini tidak diterima karena legal standing.

Namun, Gatot Nurmantyo yang menggandeng Refly Harun sebagai kuasa hukum menyakini gugatannya kali ini akan dikabulkan. Ia menganggap legal standingnya tak diragukan. Antara lain ada dua anggota DPD-RI dan akademisi serta kader partai.Dasar gugatan tetap Pasal 222 UU Pemilu. Pasal ini yang membuat Gatot dkk, kehilangan hak konstitusionalnya. Pasal ini mengebiri sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilihan Umum.

Pasal itu dianggap mengabaikan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945.

Pasal ini mengatur tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan diatur dalam lebih lanjut Undang undang.
Juga ada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal ini bila dibaca teks dan kontek kalimatnya, telah dengan terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden.

Maka itu Gatot Nurmantyo, mengutip pandangan dua hakim MK yang berbeda pendapat pada saat memutus permohonan terkait Presidential Threshold yakni putusan Nomor 53/PUU-XV-2017 tanggal 11 Januari 2018.

Kedua hakim itu ialah Saldi Isra dan Suhartoyo.

Menurut Gatot, Saldi Isra menyatakan pada pokoknya bahwa rezim ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta Pemilihan Umum.

Sementara Suhartoyo, mengkonfirmasi bahwa mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

Tak salah bila Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi, menyatakan partainya mendukung presidential threshold 0 persen.

PAN yakin presidential threshold 0 persen akan memunculkan sosok-sosok baru bagi kepemimpinan nasional. Mengingat sudah tidak ada pembatasan dalam pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Juga anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan. Ia menyebut, partainya akan mendukung penerapan presidential threshold nol persen dalam Pilpres 2024 mendatang.

Menurut dia, peniadaan aturan itu merupakan solusi untuk menghadirkan iklim demokrasi yang baik dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Demikian juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar. Cak Imin, panggilan akrabnya, merespons isu ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 0 persen. Ia mengatakan, usulan tersebut merupakan cita-cita PKB.

Termasuk Presiden PKS Ahmad Syaikhu . PKS menilai dengan angka presidential threshold kecil diharapkan tidak terjadi polarisasi sehingga menimbulkan gesekan di masyarakat.

Baca Juga: Pengamat: Menteri Bukan Tegak Lurus ke Mantan Presiden

Berbeda dengan Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi alias Awiek. Ia menyatakan, partainya mendukung ambang batas presiden atau presidential threshold tetap 20 persen.

Awiek menyebut saat ini presidential threshold masih diperlukan sebagai penghargaan terhadap partai politik yang telah berjuang hingga lolos pemilihan umum.

*

Para penggugat menganggap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini dinilai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Bunyi Pasal 222 UU Pemilu, yaitu: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pasal ini ada perbedaan dengan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945.

Perbedaannya dalam Pasal 222 UU Pemilu ada penambahan kalimat‎: Yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Penambahan kalimat ini diduga plintiran dari partai yang berkuasa. Diduga kuat bunyi kalimat dalam Pasal 222 UU Pemilu hasil penyusupan dari partai yang memiliki suara banyak. Akibatnya saat pembuatan UU ini disahkan baru terasa kepentingan lain dari beberapa partai untuk membuat kompetisi demokraasi yang tidak fair.

Baca Juga: Ribut di Medsos Urusan Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Dan kini diusik oleh DPD-RI era kepemimpinan Lanyalla Mahmud Mattalitti.

Padahal UUD 1945 mengamanatkan warga negara ikut berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, negara memberi partisipasi bagi segenap lapisan masyarakat seluas-luasnya untuk jadi presiden NKRI. Nah kalimat dalam Pasal 222 UU Pemilu tersebut justru menjadi penghalang bagi warga negara lain yang tidak dekat dengan partai mapan.

Wajar bila ada anak bangsa yang menuding pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan maksud UUD 1945 yang menginginkan keberagaman pilihan (capres-cawapres). Sebab, dua ayat pada pasal 6 UUD 1945 menekankan bahwa pembentuk aturan itu sudah memahami keragaman politik Indonesia.

Artinya sistem pemilu untuk memilih capres dan cawapres di Indonesia, secara konstitusional ada dua putaran atau two run system. Di banyak negara lain di dunia, sistem ini juga bertujuan mewadahi keberagaman capres dan cawapres.

Maklum pasal 6 UUD 1945 ada yang memaknai bukan sebuah Pemilu dengan pilihan yang terbatas atau pilihan yang sedikit.
pasal 6 ayat 3 UUD 1945 misalnya menyebutkan, pasangan capres-cawapres terpilih harus mendapatkan paling sedikit 50 persen plus 1 suara sah yang tersebar paling sedikit pada 50 persen provinsi dengan sebaran sekurang-kurangnya 20 persen di setiap provinsi itu. Sementara bunyi Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Saya setuju urusan PT 20% harus dituntaskan sebelum Pilpres 2024. Mengapa? Urusan PT 20% bukan soal politik belaka, tapi ada aspek hukum yaitu korupsinya.

Ini bisa kita simak warning dari Ketu KPK Firli Bahuri.

Akal sehat saya akhirnya ikut bicara bahwa ambang batas pencalonan presiden dengan PT 20% adalah standar yang terlalu tinggi. KPK memandang perlakuan PT 20% ada potensi tindak pidana korupsi.

Korupsibambang batas presiden 20 persen adalah terbukti melahirkan politik transaksional yang menyebabkan korupsi.
KPK bisa buktikan presidential threshold 20 persen itu politik berbiaya tinggi. Ongkos politik PT 20% sangat mahal. ([email protected])Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU