Home / Politik : Mencukil Pencapresan Anak Elite Politik (2)

Puan-AHY, Cermin Ambisi Mega-SBY?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 10 Okt 2022 21:04 WIB

Puan-AHY, Cermin Ambisi Mega-SBY?

i

H. Raditya M Khadaffi

“Dihiasi manusia itu dengan kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak” (QS Ali Imran: 14)

 

Baca Juga: Gerindra Galau dengan Manuver Megawati

Makna surat Ali Imran itu menurut beberapa ustad, mengamanatkan setiap orang tua untuk pandai menamkan akidah, membiasakan ibadah, akhlakul karimah, dan pendidikan yang benar kepada anak-anaknya.

Nah, Mega dan SBY adalah orang tua kandung Puan dan AHY.

Wajar, bila kini baik Mega maupun SBY, berambisi menjadikan Puan dan AHY, bisa menjadi presiden, seperti mereka. Mampukah Puan dan AHY mewujudkan ambisi kedua orangtuanya? Mari kita lihat perjalanan Puan-AHY jelang pilpres 2024.

Siapa diantara keduanya yang bisa menjadi capres dan cawapres? Atau bisa jadi ambisi Mega dan SBY, berbeda dengan ambisi Puan dan AHY. Apalagi dalam ambisi menduduki jabatan strategis sekelas presiden.

Akal sehat saya berkata, ambisi Mega-SBY dalam menggoalkan anak-anaknya bisa tidak seperti saat Mega dan SBY mencapreskan diri dulu. Mengapa?

Persaingan pilpres 2024 kali ini punya karakteristik baru. Kini ada bonus demografi.

Adanya bonus demografi, Puan dan AHY mesti mempersiapkan diri menghadapi komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif.

Beda dengan pilpres 2004 lalu dimana penduduk usia produktif adalah penduduk yang berada pada rentang umur 15-64 tahun. Mereka lebih banyak di pinggiran kota dan desa.

Dalam pilpres 2024 nanti jumlah pemilih muda di kota lebih besar ketimbang di desa. Ini akibat urbanisasi kebanyakan anak muda dari desa ke kota.

Bisakah Puan dan AHY, mewujudkan ambisi orangtuanya tentu dengan mengembangkan potensi diri sebagai manusia yang merupakan bagian dari sifat dasar bonus demografi?

Siapa diantara Puan dan AHY yang telah dididik oleh kedua orang tuanya yang sama-sama muslim dengan dasar al-Basyar, al-Insan dan al-Nas.

Tiga pegangan umat islam ini menjaga keseimbangan pengembangan potensi fisiologis, intelektual, dan spiritual.

Kata ustaz saya, saat orang tua gagal mentransformsikan potensi fisiologis, intelektual, dan spiritual secara seimbang, anak akan menjadi beban, fitnah bahkan musuh bagi orang tuanya.

Apakah dalam perjalanan politik praktisnya, Puan atau AHY akan diwarnai sifat dan karakter politisi yang atheis, musyrik dan tidak bermoral.?

Ustaz saya bilang tergantung cara mendidik orang tuanya. Maklum, sejatinya setiap anak itu lahir dalam keadaan fitrah tergantung kedua orang tuanya. Nah, ini warna dari Mega dan SBY, yang sama-sama memimpin partai berbasis nasionalis.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya, di era pemerintahan Megawati, Indonesia menolak ketergantungan dengan lembaga luar negeri seperti IMF. Namun, di tengah kehidupan politik yang makin pragmatis di era reformasi, PDI Perjuangan menghadapi kenyataan lunturnya nilai-nilai nasionalisme.

Nuansa praktik politik tanpa ideologi makin saya rasakan sebagai jurnalis muda. Saat dipimpin SBY pun, praktik berkembangnya liberalisasi ekonomi tak bisa disembunyikan. Akhirnya, banyak kerjasama antara politisi dan pengusaha. PDI Perjuangan dan Partai Demokrat saya catat sama-sama menunjukan kekuatan politik yang mengukuhkan pragmatisme politik ketimbang perjuangan berdasarkan platform ideologinya.

Misalnya, PDI Perjuangan lebih memperhatikan kepentingan perimbangan kekuatan antar elite ketimbang mengedepankan konsistensi perjuangan mengangkat derajat wong cilik.

Catatan jurnalistik saya juga mencatat saat menjadi Presiden, Megawati Soekarnoputri pernah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang menyelesaikan kewajibannya membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Inpres itu ditandatangani Megawati, bulan Desember 2002, Megawati . Dalam Inpres tersebut, Megawati memerintahkan tujuh pejabat terkait untuk mengambil langkah yang diperlukan bagi PKPS dalam kasus BLBI.

Baca Juga: Ajuan Amicus Curiae Megawati, Didalami Hakim MK

Mereka adalah Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian; Menteri Kehakiman dan HAM; para menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; Menteri Negara BUMN; Jaksa Agung; Kapolri; dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sejarahnya, kasus BLBI terjadi saat krisis moneter terjadi di Indonesia pada 1997—1998. Sejumlah bank memiliki saldo negatif akhirnya mengajukan permohonan likuiditas kepada BI saat itu, namun akhirnya diselewengkan.

Total dana yang dikucurkan mencapai Rp144,53 triliun untuk sedikitnya 48 bank. Pada Januari 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk menagih kewajiban para obligor.

Pemerintahan Megawati, merilis Surat Keterangan Lunas kepada sedikitnya lima obligor. Mereka adalah BCA (Salim Group); Bank Dagang Negara Indonesia (Sjamsul Nursalim); Bank Umum Nasional (Muhammad Bob Hasan); Bank Surya (Sudwikatmono); dan Bank Risjad Salim International (Ibrahim Risjad).

Dalam kasus ini, KPK akhirnya menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka. Dia dianggap melakukan korupsi terkait dengan penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim.

Akhirnya, Kwik Kian Gie menyebut nama Megawati Sukarnoputri dalam sidang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kasus BLBI. Mantan Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mega ini mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Megawati ketika menjadi presiden berakibat fatal.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya juga menemukan praktik unik saat SBY menjadi presiden. Saat itu posisi presiden dan wakil presiden yaitu antara SBY-JK disorot mempraktikan campur aduk dalam penentuan kebijakan dan tindakan. Saat itu, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden melebihi wewenangnya dalam penentuan kebijakan, sehingga terjadi dualisme kepemimpinan yang dipublikasi media.

Ini karena Jusuf Kalla memiliki background seorang pengusaha, politikus, dan penguasa. SBY berlatarbelakang militer dan birokrat. Publik merasakan kewenangan JK menjadi lebih mendominasi perpolitikan daripada SBY. Maklum, saat itu, JK dengan Golkarnya mengontrol 127 anggota DPR. Sedangkan SBY hanya mengontrol 56 anggota DPR. Secara politis kekuatan JK lebih besar dibandingkan dengan SBY.

Bahkan proses rekonstruksi birokrasi di dalam pemerintahan SBY-JK, pernah terjadi restrukturisasi kementrian dan dapartemen, hingga restrukturisasi lembaga kepresidenan.

Baca Juga: Mengapa Gibran dan Bapaknya Diusik Terus

Padahal, saya mencatat gaya kepemimpinan SBY tampak menunjukan presiden yang visioner dan intelektual tapi indecisive. Sementara Jusuf Kalla tampak sebagai pemimpin yang berani dalam mengambil keputusan dan risiko tapi decisive. Hal yang tak bisa saya lupakan, saat itu tak ada pembagian wewenang terhadap presiden dan wakil presiden dalam bidang politik.

Kekuasaan SBY berlanjut pada periode selanjutnya, kala memenangkan pemilihan presiden tahun 2009 bersama wakilnya Boediono.

Hal yang menjadi rapor merah SBY pada periode keduanya adalah masalah ketidaktransparan pemerintah terhadap publik, ketidakpastian sistem hukum, pemberantasan KKN, dan reformasi birokrasi yang belum mendapatkan titik terangnya.

Rapor merah lain dari kepemimpinan SBY, periode lima tahun pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disorot oleh ICW jauh dari keberhasilan memberantas korupsi. Pemerintahan SBY, dicatat justru menunjukan praktik korupsi semakin tampak dilakukan secara berjamaah dan merata di seluruh Indonesia.

Juga pihak-pihak yang secara kelembagaan berada langsung di bawah kendali presiden SBY, justru menjadi bagian dari aktor pelanggeng korupsi.

ICW juga mencatat kegagalan SBY dalam memberantas korupsi dan jejaring permafiaan.

Pertama, ketiadaan kriteria tentang pola rekrutmen penyelenggara negara. Seharusnya, sejak awal memastikan bahwa yang berperan dan terlibat di lembaga-lembaga pemerintahan adalah mereka yang bersih, tak memiliki agenda subjektif dengan kepentingan materi yang menonjol, selain memiliki kemampuan yang layak untuk bekerja dalam sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Tapi justru yang terjadi adalah pola akomodasi kepentingan dan pembiaran masuk serta bercokolnya para figur yang pada tingkat permukaan mampu "melayani" dan "memuaskan" sang atasan. Padahal, orang tersebut sangat cerdas dalam memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Atau juga, orang-orang yang direkrut merupakan bagian dari "pesan sponsor" terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang telah berjasa dalam suatu proses politik tertentu. Tepatnya, pola rekrutmen lebih pada bagi-bagi jabatan atau politik balas budi, mengabaikan dimensi substansial terkait dengan agenda pemberantasan korupsi.

ICW juga menyoroti kurangnya ketegasan dari SBY untuk segera mengusut dan memberi sanksi bagi penyelenggara negara yang terindikasi tidak bersih, korupsi, atau terlibat jejaring mafia.

 

***

Apakah praktik praktik yang dilakukan Mega dan SBY dulu, bakal dilakukan Puan dan AHY, saat ia menjadi presiden nanti? Walahualam. (Ini tentu bila mereka terpilih) Semoga publik peka dengan record Mega dan SBY memimpin negara saat itu, agar bila Puan jadi Capres atau AHY menduduki cawapres, kasus BLBI dan konflik dengan presiden tak terulang lagi. Semoga. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU