Home / Politik : Mencukil Pencapresan Anak Elite Politik (1)

Puan-AHY, "Pertarungan" Lanjutan Mega-SBY

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 09 Okt 2022 21:10 WIB

Puan-AHY, "Pertarungan" Lanjutan Mega-SBY

i

H. Raditya M Khadaffi

Catatan politik saya kali ini bertema dari awalan kata “mencukil”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini diartikan dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.

Nah, saya menyoroti tingkah laku Puan-AHY, anak muda dari elite politik di Jakarta dengan bahasa wartawan, bukan politisi atau pengamat politik. Saya mengungkap tindakan dan keberadaan Puan-AHY, yang saat ini sedang kesengsem ingin wujudkan ambisi orangtuanya agar bisa jadi presiden. Apakah keduanya pantas? Nah ukuran kepantasan ini relatif. Saya mencukil kepantasan Puan-AHY, mencapreskan diri dari aspek kemampuan individualnya selama ini.

Baca Juga: Yusril: Prabowo-Gibran Penuhi Syarat Dilantik Presiden

Satunya, eks TNI yang baru berpangkat Mayor. Satunya lagi, eks Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Jokowi, yang tidak menonjol prestasinya di publik. Saya akan menurunkan tiga catatan politik sekitar Puan-AHY bersama ibu-bapaknya. Tentu sorotan saya ini bukan sebagai wartawan partisan. Saya menukil action action berpolitik keduanya dari kamera wartawan muda, seusia AHY-Puan. Berikut catatan pertama saya.

 

 

Publik kini disuguhi perilaku berpolitiknya anak gedongan. Saya menyebut Puan-AHY, anak gedongan, karena keduanya tumbuh dari rumah besar nan mewah yang dibangun orang tuanya masing-masing.

Kini, baik Puan maupun AHY, sedang keliling cari “suara” untuk mengkatrol elektabilitasnya.

Orang politik tahu bahwa elektabilitas merupakan cara melakukan kampanye untuk meningkatkan popularitasnya. Bagi warga pemilih seperti saya, elektabilitas dipandang sebagai teknik menunjukkan wajah orang-orang yang kebelet jadi capres di usia muda. Terutama menggunakan media massa televisi, koran, medsos, baliho, spanduk sampai blusukan ke desa-desa. Antara lain sampai Puan, mau berswafoto sedang menanam padi di sawah.

 

***

 

Penampakan Puan dan AHY, sebulan ini berbeda, satunya ingin nyapres. Dan satunya cawapres. Tapi maknanya sama, cari gebetan. Satunya butuh pengakuan sebagai anak mantan presiden yang pantas nyapres 2024. Satunya cari gandengan agar bisa dicangking cukup jadi cawapres 2024.

Nah, yang menerima jadi cawapres adalah AHY, Ketua Umum Partai Demokrat. Dan yang sampai awal Oktober ini belum atau tidak pede mendeklarasikan sebagai Capres 2024 adalah Puan Maharani, salah satu Ketua DPP PDIP yang kini Ketua DPR-RI.

Pertanyaan sederhananya, sudah pantaskah Puan nyapres dan AHY, mencawapreskan diri? Akal sehat saya, ----mesem-mesem saja----, menyebut belum pantas.

Keduanya saya amati sedang memanfaatkan ruang publik yang sedang ramai mencari sosok pengganti atau penerus Jokowi. Baik Puan, AHY, Mega dan SBY, sama-sama tahu bahwa secara konstitusional, Jokowi, tak mungkin naik jadi presiden untuk ketiga kalinya. Bahkan kucing bisa ketawa bila Jokowi, nekad “menurunkan” harga dirinya untuk cawapres untuk kali pertama.

 

***

Baca Juga: Alasan Pilpres Ulang, Dibeberkan Anies di Ruang Sidang MK

 

Puan, sepertinya, sampai awal Oktober 2022, elektabilitasnya masih terseok-seok. Salah satu lembaga survei mengumumkan elektabilitas Puan Maharani masih berada dalam posisi 'juru kunci'. Dalam dua survei sebelumnya, posisi nama Puan Maharani juga masuk 'zona degradasi'.

Malahan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang diumumkan bulan September 2022 lalu, angkanya masih nggeremet (merangkak) tak jauh dari angka 2%. Maka itu, pendiri SMRC, Saiful Mujani dalam keterangannya, Kamis 29 September 2022 lalu, menyatakan PDIP tidak akan mendapat keuntungan elektabilitas, jika Puan Maharani diusung menjadi capres di Pilpres 2024.

Tapi ada apa Puan, tidak mau berkaca menghadapi elektabilitas Ganjar Pranowo, yang melejit?. Padahal Ganjar, sampai kini masih kader PDIP. Bahkan tampak loyal pada kepemimpinan Megawati, sebagai Ketua Umum DPP PDIP. Jawabannya, nunggu lampu hijau dari Megawati.

Pertanyaannya, apa Puan, masih kepincut bisikan loyalisnya bahwa pendaftaran capres-cawapres masih satu tahun lagi? Atau jangan-jangan Puan seperti orang yang tak mau menyerah, karena ambisi ibunya, Megawati. Kalau benar karena ambisi Mega, saya tak bisa meyakini. Tapi indikasinya ada. Salah satunya, meski elektabilitasnya terseok seok di urutan buncit, Puan terus didorong untuk keliling door to door bersilahturahmi ke kantor partai politik lain.

Sementara AHY, secara psikologis diuntungkan oleh pencitraannya mendekati Surya Paloh, Ketua Umum partai NasDem.

AHY, juga “dituntun” oleh SBY, dengan janji akan turun gunung. Isyaratnya, AHY jangan menjauhi JK, mantan cawapresnya. SBY tahu persis, sejak Pilkada Gubernur DKI, JK adalah penyorong utama Anies Baswedan. Juga saat pencapresan, JK tampak aktif mendekatkan Anies ke Surya Paloh. Maka itu tak meleset bila partai NasDem, mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres 2024 dari NasDem. Deklarasi Anies oleh Surya Paloh, akhirnya bergemuruh. Sampai sejumlah kader NasDem mundur. Ini karena ekspektasi mereka meleset. Saat Rakernas NasDem, ada nama Ganjar Pranowo, dimunculkan sebagai salah satu kandidat capres NasDem. Ternyata, Surya Paloh, lebih memilih Anies Baswedan, yang keturunan Arab Yaman. Bukan Ganjar, wong jowo, yang lebih dekat sebagai warga negara Indonesia asli, bukan keturunan Arab, Yahudi maupun China.

Kini dengan kehadiran Anies Baswedan ke kantor Partai Demokrat, makin memperjelas peta cawapres Anies. Demikian juga AHY, ikhlas jadi cawapresnya Anies. Tanda-tandanya, saat silahturami Anies Baswedan ke kantornya, AHY memperkenalkan relawan “Anies-AHY” . Relawannya banyak yang berbaju biru. Publik bisa menebak relawan “Anies-AHY” tak lain kader dan simpatisan Partai Demokrat.

 

Baca Juga: Adu Cerdas Antar Advokat

***

 

Tebakan saya, kemunculan Puan-AHY dalam “parade” capres-cawapres 2024 ini, merupakan babak lanjutan “pertarungan” Mega-SBY.

Menggunakan catatan jurnalistik saya, dua mantan presiden ini sampai sekarang masih tampak belum “akur”. Kesan saya masih ada perasaan “sakit hati” Mega terhadap SBY. Luka Ibu Mega sepertinya belum sembuh saat dirinya ditelingkung jelang Pilpres 2004. Peristiwa itu menyebabkan Mega, tak bisa mengukir sejarah sebagai presiden dua periode kayak SBY dan Jokowi. Gejala kemunculan Puan-AHY dalam parade awal capres 2024, tak bisa ditutup-tutupi sebagai “pertarungan” politik babak baru Mega-SBY. Ada gambaran ini persaingan gengsi dari

Mega-SBY. Apalagi Puan, adalah anak bungsu Mega. Dan AHY, anak sulung SBY.

Posisi anak bungsu dan sulung, bisa makin meramaikan babak baru “pertarungan” pucuk pimpinan PDIP dan pendiri partai Demokrat.

Menurut primbon Jawa, mitos tentang anak bungsu sulit untuk bisa hidup mandiri. Anak bungsu juga dimitoskan cenderung penuh kasih sayang, menarik, suka menjadi pusat perhatian, hingga impulsif.

Sedangkan, AHY anak sulung. Ternyata menurut primbon jawa, konsep anak sulung mempunyai kecenderungan sifat yang perfeksionis, punya jiwa kepemimpinan, dan terorganisir. Mari kita ikuti episode kekuatan Mega dan SBY dalam mengoalkan ambisinya mengawal Puan dan AHY, maju dalam pilpres 2024. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU