Putri Ujuk-ujuk Korban Perkosaan di Magelang, Tanpa Visum

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 05 Sep 2022 20:35 WIB

Putri Ujuk-ujuk Korban Perkosaan di Magelang, Tanpa Visum

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saat ini muncul perdebatan atas rekomendasi Komnas HAM soal dugaan pelecehan seksual di Magelang. Komnas HAM menduga Putri Candrawathi, istri Sambo, dilecehkan Brigadir J.

Narasi yang dikembangkan di publik, Brigadir J, diduga memerkosa Putri, usai Putri merayakan ulang tahun perkawinan dengan Ferdy Sambo.

Baca Juga: Dituduh Curi 2 Dus Mie Instan, Pria Asal Cimahi Tewas Dikeroyok Massal

Rekomendasi Komnas HAM ini dimentahkan oleh LPSK. Sedikitnya ada tujuh kajanggalan yang ditemukan LPSK.

Terbaru, rekomendasi Komnas HAM ini sudah diserahkan ke Bareskrim Polri untuk ditindaklanjuti. Pertanyaannya, akankah Bareskrim akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM itu?. Mengingat Komnas HAM bukan lembaga penegak hukum. Konstitusi mengatur kewenangan Kommas HAM hanya menyelidiki ada tidaknya pelanggaran HAM berat.

Pertanyaan lanjutan, Komnas HAM atau kepanjangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meski hanya merupakan lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setara dengan lembaga negara lainnya, mampukah mempengaruhi independensi Polri?.

Saya mencatat pembentukan Komnas HAM diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Hak Asasi Manusia.

Tujuan pembentukan Komnas HAM untuk meningkatkan penegakkan serta perlindungan hak asasi manusia.  Mengutip Pasal 75 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tujuan pembentukan Komnas HAM ada dua yaitu:

1. mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan

2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Tujuan kedua ini fokus pada pengembangan situasi yang kondusif untuk pelaksanaan hak asasi manusia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Nah, menuduh seseorang hanya berdasarkan keterangan saksi, pantaskah komisioner Komnas HAM yang sekarang sudah memberi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia?

Ini mengingat Brigadir J, ditembak beramai-ramai oleh suami Putri Candrawathi di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan?

Wajarkah memberi perlindungan kemanusiaan Putri Candrawathi, yang selama 50 hari lebih tidak kooperatif pada penyidik, LPSK dan Komnas HAM sendiri?

 

***

 

Catatan jurnalistik saya, rekomendasi Komnas HAM ini sekarang ramai menjadi perbincangan publik. Termasuk para penegak hukum.

Bagi saya rekomendasi Komnas HAM ini patut dibahas dengan akal sehat, bukan akal-akalan. Mengingat kasus pembunuhan Brigadir J oleh Menko Polhukam Mahfud MD, dinilai bukan perkara kriminal biasa.

Ini karena awalnya dimulai dari sebuah skenario yang disertai obstruction of justice, pekerjaan menghalang-halangi penyidikan. Pelakunya diduga Sambo bareng anak buahnya. Apakah orang yang melakukan obstruction of justice masih layak didekati dengan cara-cara kemanusiaan?

Apalagi Putri termasuk kelompok yang disebut tersangka pasal pembunuhan berencana. Suaminya juga terjaring kelompok yang menghalang-halangi penyidikan.

Wajar, kini setelah rekomendasi dari Komnas HAM, publik perlu mengawal kasus ini hingga di kejaksaan dan pengadilan. Pengawalan karena berkas perkara tersangka Sambo dkk, akan dikonstruksikan dengan pendakwaan dan penuntutanagar punya semangat yang sama dengan Polri dan publik, hukum Sambo, seberat-beratnya.

Baca Juga: Pemilu Ulang tanpa Gibran, Ulangan Kekecewaan Kita

Termasuk terhadap tersangka Putri Candrawathi, yang kini dibuat gaduh oleh Komnas HAM.

Ini mengingat, sebelum Komnas HAM membuat rekomendasi, penyidik dengan pengawalan dari publik, didorong benar-benar profesional menangani tersangka Putri, dalam dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Tentu dengan konstruksi hukum yang kuat. Apa abaikan rekomendasi dari Komnas HAM yang sifatnya ujuk-ujuk, sehingga mengagetkan banyak pihak. Termasuk publik yang menuntut polisi transparan, berkeadilan dan akuntabel.

Rekomendasi Komnas HAM yang ujuk-ujuk ini, dikhawatirkan bisa dimainkan pengacara yang hanya berorientasi membela yang bayar. Rekomendasi Komnas HAM ini bisa membuat masyarakat tak mudah memahami upaya penegakan hukum dan keadilan terhadap perbuatan Putri Candrawathi, yang selama 60 hari ini bermain drama seolah korban pelecehan seksual.

Putri, perlu disadarkan bahwa 20 hari setelah peristiwa penembakan 8 Juli, Sambo dan eks anak buahnya diduga melakukan pelanggaran SOP Polri dalam olah TKP penembakan yang menyebabkan kematian Brigadir J.

Ini oleh sejumlah praktisi dan pakar hukum dinilai bentuk kejahatan luar biasa negara (kepolisian) terhadap warganya. Bahasa lasim disebut extraordinany crime.

Maklum, kasus ini melibatkan banyak sekali anggota polisi aktif. Dan pelaku utamanya adalah mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Mereka disangka melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 KUHP terkait dugaan pembunuhan berencana.

 

***

 

Baca Juga: Panglima TNI Bicara Bahan Pokok dan Politisasinya

Tindak pidana perkosaan yang saya pelajari saat kuliah dulu adalah kejahatan kesusilaan. Permasalahannya bila rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penyidik Polri tentu bersentuhan dengan pembuktian delik perkosaan. Alat bukti utamanya adalah kekuatan pembuktian visum et repertum, bukan saksi Kuat Maaruf dan Susi serta pengakuan tersangka Putri semata.

Banyak kasus perkosaan yang pernah saya teliti saat praktik di lapangan dulu, alat bukti yang penting dalam kasus perkosaan di mata hakim adalah visum et repertum. Ini dalam upaya penjatuhan putusan yang adil.

Maklum, pengertian perkosaan menurut hukum yang berlaku sampai saat ini masih mengacu pada pasal 285 KUHP yaitu “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetebuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” 

Secara ilmiah, pembuktian perkosaan dilakukan dengan bantuan ilmu kedokteran forensik yaitu pembuatan visum et repertum. Pembuatan visum et repertum dilakukan oleh seorang dokter forensik atas permintaan penyidik berdasar pasal 133 KUHAP.

Pembuktian tindak pidana perkosaan ini dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya unsur-unsur perkosaan sesuai dengan pasal 285 KUHP yaitu adanya persetubuhan, adanya kekerasan, dilakukan di luar perkawinan.

Selain bukti pelengkap, misalnya cairan mani atau darah di pakaian pelaku dan atau korban yang dibawa saksi mata. Jadi saksi-saksi mata hanya memperkuat keterangan Putri, sebab katerangan saksi baru satu alat bukti Putri sebagai korban kesusilaan.

Katakan saksi yang diajukan ada sepuluh, tetap satu alat bukti pelengkap, bukan alat bukti utama.

Beda dengan pembuktian visum at repertum pada kasus perkosaan. Visum di mata hakim pada hakikatnya berperan amat penting dalam mempengaruhi keputusan hakim. Visum adalah kekuatan alat bukti kasus perkosaan.

Ini karena visum et repertum yang dapat membuktikan ada atau tidaknya unsur-unsur perkosaan. Jadi visum et repertum bersifat mengikat hakim. Meski secara hukum tidak memaksa. Ini karena sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia yaitu sitem pembuktian negatif. Sistem ini mengatur selain alat bukti juga harus disertai keyakinan hakim.

Jadi menurut KUHAP, tetap dikembalikan kepada keyakinan hakim sesuai dengan ilmu pengetahuannya. Mari kita kawal bersama agar tidak ada rekayasa hukum di Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU