Risma Mau Lengser, Masih Tertutup Rampungkan Surat Ijo

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 04 Nov 2020 22:27 WIB

Risma Mau Lengser, Masih Tertutup Rampungkan Surat Ijo

i

Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya atau KPSIS menyuarakan aksinya terkait surat ijo yang hingga kini belum rampung.

 

Taufik Iman: Mendagri Sudah Nyatakan Tanah Surat Ijo Bukan Milik Pemkot Surabaya

Baca Juga: Pasokan Migor Curah Menipis, Kemendag: Masih Mencukupi, Bisa Pakai ‘Second Brand’

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Jelang wali kota Risma lengser, persoalan  Surat Ijo, masih belum ada pemecahan sesuai janji Risma tahun 2015.  Hal ini membuat Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya atau KPSIS, prihatin. Komunitas pejuang Surat Ijo menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sampai kini masih tidak terbuka terhadap warga kotanya.

Pengawas KPSIS, Dr. Taufiq Iman S, SH, MH, mengungkapkan bahwa pihaknya telah meminta Pemkot Surabaya untuk bicarakan permasalah surat ijo secara baik-baik.

Menurutnya masyarakat menggugat Pemkot Surabaya, karena mereka merasa menang kalau di gugat. Sebab mereka (Pemkot, red) punya pernyataan dari masyarakat bahwa tanah itu tanah sewa, tanah Pemerintah Kota. "Padahal dari sisi pembuktian soal tanah, substansi tanahnya itu adalah tanah negara. Pemkot sama sekali tidak mempunyai alasan mengenai tanah itu. Sementara mereka ini (pemkot.red) alasannya tertutup dan tidak mau terbuka. Kita itu cuma pengen tunjukkan alasan pemkot itu mana? Dari mana kamu dapat tanah sebanyak itu? Beli? Pemberian? Hibah?," kata Taufik, kepada Surabaya Pagi, Selasa (3/11/2020).

Taufiq juga mengakatan bila selama ini Pemerintah Kota sangat tertutup dengan permasalah surat ijo. "Tertutup banget soal itu, di ajak ngomong tidak mau. Sampai di gugat di pengadilan, di komisi informasi publik malah dijawab 'bahwa tanah ini adalah hal yang dikecualikan untuk di informasikan kepada publik' Intinya publik tidal boleh tau, darimana pemkot dapat tanah itu," keluhnya.

 

Tanggapan Mendagri

"Kalau itu memang asetnya pemkot, iya monggo aturen, karena memang wajib mengatur. Tapi kalau aset yang kamu atur bukan asetnya pemkot, nah apakah wajib mengatur? Paling tidak jangan merugikan orang. Jangan suka suruh bayar,  suruh nyicil, ini ada suruh jadikan HGB. Tiba-tiba diberi surat peringatan surat tagihan, nah ini kan sama dengan ancaman. Nah ini yang membuat masyarakat marah," imbuhnya.

Perbuatan sikap dengan merilis surat resmi dari KPSIP mendapat respon langsung dari pihak Mendagri. Mendagri sendiri mengatakan bila Pemerintah Kota Surabaya tidak mempunyai hak atas tanah itu maka harus kembalikan ke rakyat saja.

"Itu mendagri langsung lho, Pemkot kalau tidak mempunyai hak atas tanah itu maka harus kembalikan ke rakyat saja," tegasnya.

Menangapi pernyataan Pemerintah Kota Surabaya tertanggal 26 Oktober 2020, Taufiq Iman mengatakan  pernyataan tersebut ialah  palsu.

"Pernyataan itu palsu, saya sudah ngurus surat ijo ini dari 2 tahun lalu dan Mendagri sudah menyatakan ini bukan aset pemkot. Saya juga sudah ke ATR yang menyatakan bahwa  kalau itu tanah negara maka tidak boleh di sewakan," katanya.

Baca Juga: Pelaksanaan Operasi Pasar Murah Dinilai Tak Efektif dan Bersifat Temporer

Namun pihak Pemkot Surabaya, tambah Taufik, mengklaim bahwa pusat tidak memperbolehkan, maka pusat mengatakan  bila tanah diberikan menurut UUD. "Nah bila sesuai UUD maka pemkot harus memberikam ganti rugi. Kita tidak minta gratis, cuma dudukan pada permasalahnnya, pada porposionalnya. Kita ini sedang mengurus ke Permendagri untuk diatur pelepasan itu dan diatur Permendagri. Intinya kalau bukan milik pemkot maka lepaskan ke warga," terang pria yang juga dosen Universitas Surabaya ini.

 

Upaya Pemkot

Terpisah, Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT), Kota Surabaya, Maria Theresia Ekawati Rahayu menyampaikan, pada prinsipnya pemkot berupaya untuk menyelesaikan permasalahan atas tuntutan masyarakat selaku pemegang IPT (Surat Ijo). Namun, upaya penyelesaian yang dilakukan Pemkot Surabaya ini tidak bisa keluar dari peraturan hukum yang berlaku.

“Terhadap permasalahan izin pemakaian tanah (IPT), Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya-upaya dalam rangka penyelesaiannya, baik upaya melalui pengadilan maupun di luar pengadilan,” kata Yayuk sapaan lekatnya, Selasa (3/11/2020).

Dalam penyelesaian tersebut, pemkot melakukan berbagai upaya baik melalui litigasi maupun non litigasi. Upaya litigasi itu dilakukan salah satunya ketika masyarakat mengajukan gugatan ke Pemkot Surabaya dengan objek sertifikat HPL No 1 – 6 atas nama Pemerintah Kota Surabaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tahun 2008 dan inkrah di tahun 2012. Hasilnya, gugatan masyarakat itu dinyatakan tidak dapat diterima.

Kemudian, gugatan kembali diajukan masyarakat ke PTUN tahun 2012 dan inkrah di tahun 2017. Dengan hasil dinyatakan bahwa sertifikat pemkot sah. Tak hanya itu, masyarakat juga melakukan Class Action di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada tahun 2007 dan 2008, dengan hasil Pemkot dinyatakan menang.

Baca Juga: Kemendag Tunda Kenaikan HET Minyakita hingga Lebaran 2024, Masih Rp 14 Ribu per Liter

Bahkan, masyarakat juga mengajukan permohonan Yudicial Review terhadap Perda Surabaya No. 1 tahun 1997 tentang Izin Pemakaian Tanah, Perda Surabaya No. 11 tahun 1995 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah Daerah Kotamadya II Surabaya, serta Perda Surabaya No. 2 tahun 2013 atas perubahan Perda Kota Surabaya No. 13 tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah serta Perda Kota Surabaya No. 14 tahun 2012 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Hasil permohonan pengajuan Yudicial Review itu pun juga ditolak.

“Sehingga perda-perda yang mengatur tentang IPT itu dinyatakan sah menurut hukum. Karena aturan-aturan itu dinyatakan sah, maka konsekuensinya Pemkot Surabaya harus tetap melaksanakan sebelum Perda itu diubah atau dibatalkan oleh instansi pejabat yang berwenang,” ungkap Yayuk.

Sementara itu, upaya non litigasi yang telah dilakukan pemkot, yakni pada tanggal 13 Oktober 2013 Pemkot Surabaya membuat Perda Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset yang mengakomodasi aspirasi warga pemegang IPT untuk mengubah status tanah nya menjadi kepemilikan pribadi (pelepasan). Kemudian, mereview Perda Surabaya Nomor 1 tahun 1997 menjadi Perda No. 3 Tahun 2016 tentang IPT pada tanggal 23 September 2015 diajukan ke DPRD.

Dalam Perda Nomor 16 Tahun 2014, kata Yayuk, masyarakat pemegang IPT boleh mengajukan permohonan pelepasan. Dengan syarat, dia adalah warga Surabaya, sudah menguasai tanahnya 20 tahun berturut termasuk tanah waris. Kemudian, IPT itu digunakan untuk tanah tinggal, dan luasannya tidak boleh lebih dari 250 meter persegi.

“Tapi memang tidak bisa pelepasannya itu cuma-cuma. Kenapa demikian? Karena pemkot ini harus tunduk terhadap aturan yang lebih tinggi yakni PP dan Permendagri,” jelas Yayuk.

Sedangkan PP No 6 tahun 2006 yang telah diganti menjadi PP No 27 Tahun 2014, disebutkan bahwa pemindahtanganan aset itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penjualan dan tukar menukar. Namun, jika pelepasan aset itu melalui penjualan, maka harus ada ganti rugi ke pemerintah daerah dan tidak bisa cuma-cuma.

Di samping itu, Yayuk menjelaskan, dalam Perda Nomor 1 Tahun 1997 sebelumnya, jika tanah diperlukan untuk Pemerintah Kota, maka pemegang IPT tidak diberikan ganti rugi dan mereka diwajibkan membongkar sendiri bangunannya. byt/cr3/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU