Rp 979 Triliun, Dana Atasi Kemiskinan Sampai 2024

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 06 Jun 2023 21:22 WIB

Rp 979 Triliun, Dana Atasi Kemiskinan Sampai 2024

Jawa Timur Sumbang 8,5% Kemiskinan di Indonesia, Lebih Kecil dari Jawa Tengah yang Mencatat 9,5-10% dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 10,85-11,2%. 

 

Baca Juga: Rabu Pon Bagi Jokowi dan Orang Muslim

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Enam provinsi di Pulau Jawa diantaranya tercatat angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah 9,5-10%. Kemudian Jawa Timur 8,5-8,90%, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 10,85-11,2%.

"Satu PR yang dihadapi kita adalah metode perhitungan kemiskinan ekstrem. Sekarang pemerintah masih menggunakan angka US$ 1,9 PPP," terang Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, Suharso Monoarfa, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023) malam.

Jika menggunakan perhitungan US$ 1,9 PPP per hari, angka kemiskinan yang harus dientaskan pada 2024 adalah 5,8 juta, atau 2,9 juta jiwa per tahun. Sementara jika menggunakan basis perhitungan US$ 2,15 PPP per hari, jumlah kemiskinan yang harus dientaskan 6,7 juta jiwa, atau 3,35 juta per tahun.

"Dan kalau ini menggunakan ini (US$ 2,15 PPP) maka kemiskinan ekstrem naik ke 6,7 juta, sehingga setiap tahun mulai tahun ini kita harus menurunkan 3,37 juta," pungkasnya.

 

Anggaran Perlindungan Sosial Bertambah

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, menambahkan anggaran perlindungan sosial terus bertambah. Misal untuk tahun 2022 mencapai Rp 461,6 triliun. Tahun 2023 ini dibutuhkan anggaran sebesar Rp 476 triliun. Sementara di tahun 2024, anggaran untuk perlindungan sosial mencapai Rp 503,7 triliun hingga Rp 546,9 triliun.

Kementerian Keuangan mengakui target tahun 2024 harus membutuhkan upaya yang lebih keras lagi untuk mencapai target tersebut.

Febrio mengungkap sejauh ini kesulitan dari penyaluran bansos untuk masyarakat miskin karena lokasi penerima sangat jauh dan lebih banyak manula. Kendala itu diyakini akan dikejar demi mencapai target menghapus kemiskinan ekstrem 0%.

"Kita tahu masyarakat miskin paling bawah susah kita, karena biasanya lokasinya jauh dari mana mana, desa, lalu fasilitas jauh, dari pasar, itu yang kita kejar. Orang miskin ekstrem juga kebanyakan manula, ini yang tidak bisa kejar satu-satu, diharapkan tetangga atau keluarga membantu. Ini alasan kita tentu harus menghilangkan kemiskinan ekstrem," jelasnya.

 

Apa itu Kemiskinan Ekstrem?

Kemiskinan Ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp 10.739/orang/hari atau Rp 322.170/orang/bulan, sehingga misalnya dalam 1 keluarga terdiri dari 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya setara atau di bawah Rp. 1.288.680 per keluarga per bulan.

BPS, mencatat kemiskinan ekstrem ada di 212 kabupaten dan kota yang menjadi prioritas pemerintah 2022. Pada 2021 tingkat kemiskinan ekstrem pada Maret sebesar 3,61 persen, kemudian menurun menjadi 2,76 persen di Maret 2022.

 

Beda Miskin Ekstrem dan Biasa

Perbedaannya dapat dilihat dari sisi pengeluaran, untuk kemiskinan ekstrem yaitu seseorang yang kebutuhan atau pengeluaran sehari-harinya hanya Rp 10.739 per hari dan hanya Rp 322.170 per bulan. Sementara, miskin biasa pengeluarannya Rp 15.750 per hari dan Rp. 472.525 per bulan.

Artinya, penduduk miskin ekstrem masih masuk kategori dari penduduk miskin, karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

Penentuan garis kemiskinan ekstrem disepakati oleh negara yang tergabung di PBB dan pengukurannya dilakukan oleh Bank Dunia. Di Indonesia garis kemiskinan ekstrem ditetapkan oleh BPS.

 

Baca Juga: Bansos Anak Yatim di Malang akan Naik

Target Jokowi

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkap sejumlah target pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang berisiko tidak tercapai pada 2024. Target tersebut terkait dengan indikator kesehatan dalam negeri.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, tercatat ada 10 Indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang berpotensi tak tercapai. Indikator yang pertama adalah imunisasi dasar lengkap bayi.

"10 Indikator RPJMN berisiko tidak tercapai. (Pertama) Imunisasi dasar lengkap itu pada 2022 63,17% dari target 2024 90%," kata Soeharso.

Ia memastikan pemerintah tidak hanya memberikan perhatian bagi masyarakat miskin ekstrem di desil 1, tetapi di desil di atasnya juga akan terus diberikan bantuan. Caranya dengan memberikan sembako atau bantuan uang tunai dan lapangan pekerjaan.

"Bagi dia yang masih bisa bekerja kita lakukan pemberdayaan (tambah proyek padat karya Kementerian/Lembaga)," jelasnya.

Dalam paparannya, tingkat kemiskinan ekstrem di 2023 ditargetkan menjadi 1,04% dan tahun depan ditargetkan menjadi 0%.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menargetkan akan mengakhiri jabatan pada 2024. Di tahun tersebut, Jokowi menargetkan angka kemiskinan ekstrem jadi 0%.

Target tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Keterangan Pers Menteri Terkait Rapat Terbatas di Istana Presiden. Sebagai informasi kemiskinan ekstrem adalah kondisi masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, rumah yang layak, sanitasi, hingga akses ke layanan sosial.

"Kemiskinan ekstrem di 2024 yang harus 0%, dan angka kemiskinan di kisaran 6,5% hingga 7,5%, sedangkan stunting di harapkan turun ke 3,8%," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Senin (20/2/2023)

 

Baca Juga: Kinerja Pemprov Jatim 2023 capai 97,77 Persen

Stunting Balita

Kedua, angka stunting pada balita dengan target yang harus dicapai sebesar 14% tahun depan. Namun, capaian pada 2022 masih sebesar 21,6%. Ketiga, tingkat wasting balita atau penurunan berat badan yang baru menyentuh 7,7% pada 2022. Target RPJNM 2024 sebesar 7%.

Keempat, tuberkulosis yang ditargetkan 297 orang per 100 ribu penduduk pada 2024. Namun, pada 2022 angkanya masih di kisaran 354 orang per 100.000 penduduk. Suharso menyoroti tingginya kasus TBC di Indonesia yang mencapai 969 ribu kasus baru per tahun.

"Kasus TB kita nomor 2 di dunia, 969 ribu kasus baru per tahun," tuturnya.

Kelima, eliminasi yang sebesar 372 per kabupaten/kota pada 2022, dari target tahun depan sebanyak 405 per kabupaten/kota. Keenam, eliminasi kusta hanya 403 kabupaten/kota di 2022 dari target 514 per kabupaten/kota pada 2024.

Ketujuh, tingkat merokok pada anak yang masih di angka 9,10% per 2022. Target perokok anak di tahun 2024 adalah sebesar 8,7%.

 

Obesitas Orang Dewasa

Kedelapan, obesitas pada penduduk dewasa yang sebesar 21,8% pada 2022. Kesembilan, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang diharapkan bisa menyentuh angka 100% di tahun depan, namun baru tercapai 56,4% tahun 2022. Kesepuluh, puskesmas dengan tenaga kesehatan sesuai standar yang baru 56,07% dari target 83%.

Dalam kesempatan itu, Suharso menyebut Indonesia juga masih mempunyai pekerjaan rumah (PR) dalam menghitung jumlah kemiskinan ekstrem. Kenapa?

Indonesia masih menggunakan patokan perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan angka US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal yang menjadi patokan secara global adalah US$ 2,15 PPP per hari. n jk/erc/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU