RUU Cipta Kerja, Tetapi Tak Tegas Soal Ketenagakerjaan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 15 Nov 2020 21:27 WIB

RUU Cipta Kerja, Tetapi Tak Tegas Soal Ketenagakerjaan

i

 Buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), berunjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, khususnya terkait pasal bagian ketenagakerjaan, didepan gerbang gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020.  

Catatan Kritis RUU Cipta Kerja (9)

 Terkait pembahasan dan pengaturan di Bidang 3 RUU Cipta Kerja Omnibus Law, yakni terkait Ketenagakerjaan. Selain masalah kontrak kerja, upah minimum, dan penafsiran pasal yang dihapuskan dan diganti dari UU Ketenagakerjaan ke RUU Cipta Kerja. Yang menjadi permasalahan yakni terkait perubahan Konsep Pemutusan Hubungan Kerja.

Baca Juga: Tolak Gugatan Ciptaker, Partai Buruh Akan Laporkan 5 Hakim Ke MKMK

 Hal itu tercatat pada pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tadinya berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.” menjadi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”

 Perubahan ini menghilangkan konsepsi mendasar mengenai PHK dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat dihindari. Rumusan Pasal 151 ayat (1) di RUU Cipta Kerja juga menghilangkan peran pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja; PHK menjadi hal yang privat di mana seluruhnya diserahkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. Selain itu, peranan serikat buruh untuk berunding dengan pengusaha terkait dengan pemutusan hubungan kerja juga terancam hilang, karena RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

 Lebih lanjut, Pasal 151 ayat (2) RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa: “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Rumusan pasal ini membingungkan dan tidak tegas mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan PHK melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

 Masih terkait dengan PHK, RUU Cipta Kerja juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha untuk melakukan PHK tanpa perlu kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal: perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur); atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. Pengecualian- pengecualian ini tidak dikenal dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan , dan berpotensi menimbulkan banyak PHK baru, utamanya terkait perusahaan yang pailit.

 Pasal 156 RUU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak, menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap-tiap alasan pemutusan hubungan kerja, serta mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja 23. Perubahan ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja pada akhirnya memang lebih memudahkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Serikat Buruh Lakukan Aksi Demo Untuk Mendukung Pembatalan UU Cipta Kerja

 Dalam hal lain, di Catatan kritis yang ditulis oleh 10 akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yakni menyoroti pasal-pasal sweetener atau pemanis yang sebenarnya merupakan poin yang positif, namun implementasinya nanti akan sulit untuk dilakukan karena pengaturannya yang tidak jelas.

 Sebagai contoh, Bagian Ketiga tentang Jenis Program Jaminan Sosial mengubah Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan menambahkan ketentuan mengenai jaminan kehilangan pekerjaan.

 Hal lainnya adalah terkait dengan “penghargaan lainnya” yang diatur dalam  Bagian Kelima tentang Penghargaan Lainnya  dalam Pasal 92 ayat (1) yang berbunyi:  “Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja,  pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang  ini memberikan penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh.”

Baca Juga: Lindungi IHT, Kadin Jatim Minta Pasal di RUU Kesehatan Omnibus Law Ini Dihapus

 Pemberian penghargaan lainnya ini membingungkan, karena tidak jelas komponennya. Perumusan Pasal 92 juga ambigu karena tidak jelas berapa kali pekerja berhak mendapatkan uang penghargaan lainnya, apa ketentuannya jika tidak diberikan, dan lain-lain. Ketidakjelasan ini menyebabkan banyak pihak beranggapan bahwa pasal ini hanyalah pasal “pemanis” yang sulit untuk diimplementasikan karena pengaturannya yang ambigu. (bersambung)

 

Harian Surabaya Pagi menerima kertas kebijakan “Catatan kritis dan rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja” yang ditulis lima profesor, tiga doktor dan dua ahli yaitu Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM, Prof Dr. Maria S.W.Sumardjono SH., MCL. MPA, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej SH., MHum, Prof. Dr. Sulistiowati SH, MHum, Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., MHum, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dr Totok Dwi Diantoro, Dr Mailinda Eka Yuniza, I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD, dan Nabiyla Risfa Izzati SH, LLM, dengan editor Sri Wiyanti Eddyono SH, LLM (HR) Ph.D. Tulisan ilmiah ini akan ditulis secara berseri untuk pencerahan pembaca dari kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogjakarta. 

Editor : Mariana Setiawati

BERITA TERBARU