Saat Covid-19, Jumlah Orang Super Kaya Indonesia Naik 22,29 Persen, Kekayaan Rp 1,4 Triliun Lebih Per Orang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 21 Okt 2021 20:40 WIB

Saat Covid-19, Jumlah Orang Super Kaya Indonesia Naik 22,29 Persen, Kekayaan Rp 1,4 Triliun Lebih Per Orang

i

Gatot Nurmantyo dalam diskusi virtual FNN soal 7 Tahun Pemerintahan Jokowi, Rabu (20/10/2021).

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menyoroti orang-orang kaya di Indonesia yang justru menjadi lebih kaya pada masa Pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, rakyat banyak terus berjuang hidup.

“Jumlah orang super kaya Indonesia dengan kekayaan lebih dari 100 juta USD atau Rp 1,4 triliun jumlahnya naik 22,29 persen dari tahun 2019, ini sangat luar biasa, kondisi ini sangat kontras dan ironis,” tuturnya dalam diskusi virtual FNN soal 7 Tahun Pemerintahan Jokowi, Rabu (20/10/2021).

Baca Juga: Kejar 50 Kursi di DPR RI, Ketum PPP Lantik Ning Ema Sebagai Ketua DPP WPP

Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menilai negara Indonesia masih seperti berjalan di tempat seperti pada masa Penjajahan Belanda.

Gatot menjelaskan, pemerintah dan DPR hari ini sangat berpihak pada kepentingan segelintir kaum elite yang sama sekali tidak dirasakan oleh rakyat.

“Negeri ini diproklamasikan bukan untuk memanjakan segelintir orang kaya, kalau begini sama saja kita merdeka tapi masih ada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), ini permasalahanya,” kata Gatot.

Selain itu, Mantan Panglima TNI itu menyebut utang negara yang semakin menebal tidak bisa dianggap enteng karena akan menjadi beban bagi anak-cucu kelak.

“Saya ingatkan, jangan remehkan bahaya dari utang-utang negara saat ini, beban cicilan utang negara yang membengkak dapat membuat rakyat lebih miskin,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah dan DPR harus lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat golongan bawah dan menengah dalam membuat kebijakan dan undang-undang.

“Undang-undang dalam bidang ekonomi termasuk regulasi perpajakan, pertanian, kehutanan, dan sumber daya alam harus berpihak pada golongan bawah dan menengah,” katanya.

Sebelumnya, Gatot juga mengemukakan, pemerintah hanya berpihak pada orang kaya daripada rakyat miskin dan masyarakat umum.

“Kebijakan fiskal gagal berpihak pada masyarakat umum dan penduduk miskin, tetapi lebih memanjakan orang kaya dan super kaya,” pungkas Gatot.

 

Data BPS

Data kemiskinan di atas berdasarkan data dari BPS. Garis kemiskinan menurut BPS sangat rendah yaitu pendapatan di bawah Rp.472.525/orang per bulan, atau sekitar Rp.15.750 per hari.

Pendapatan tersebut harus bisa memenuhi biaya kebutuhan hidup, pangan maupun non-pangan seperti pakaian, tempat tinggal, sekolah, kesehatan, transportasi, dan lainnya.

Baca Juga: Jelang MPLS 2023, SMP Tenggilis Jaya Surabaya Hanya Punya 1 Siswa

Hampir dapat dipastikan pendapatan Rp15.750/harI/orang menurut garis kemiskinan BPS tersebut sangat rendah dan sulit dapat memenuhi biaya hidup minimum.

Kalau kita mau bandingkan tingkat kemiskinan antar negara maka kita harus menggunakan data dari Bank Dunia.

Untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, Bank Dunia menetapkan dua garis kemiskinan internasional yaitu 3,2 dolar AS dan 5,5 dolar AS per orang per hari (dengan menggunakan kurs daya beli paritas konstan atau Purchasing Power Parity tahun 2011).

Sedangkan menurut kriteria kemiskinan internasional dengan pendapatan di bawah 5,5 dolar AS/orang/hari (Purchasing Power Parity tahun 2011), jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2018 mencapai 53,2% dari populasi, atau 142,42 juta penduduk.

Sedangkan Vietnam dan Thailand masing-masing 22,4% dan 8,4% dari populasi, atau masing-masing hanya 21,4 juta dan 5,83 juta penduduk.

Dengan demikian, sangat ironis dan menyedihkan bahwa Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi tingkat kesejahteraan rakyatnya jauh di  bawah beberapa negara tetangga: Singapore, Brunei, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina. Kemiskinan rakyat Indonesia sesungguhnya bukanlah kemiskinan yang alamiah.

 

Baca Juga: Jokowi Masih Beri Hak Istimewa ke Pengusaha Besar

Sumber Daya Alam

Berdasarkan penelusuran Suabayapagi, kekayaan sumber daya alam tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara pasal 33. Tetapi, pemberdayaan ekonomi dan kekayaan  sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat dengan penguasaan luas lahan perkebunan dan pertambangan yang sangat besar

Sedangkan masyarakat daerah sebagai pemilik sumber daya alam tersebut hanya menjadi buruh perkebunan dan pertambangan yang mayoritas hanya mendapat upah harian berdasarkan upah minimum.

Padahal jumlah lahan perkebunan sawit bertambah pesat, yaitu dari 3,9  juta ha pada 1999 menjadi 14,7 juta ha pada 2019. Atau bertambah 10,8  juta ha dalam waktu 20 tahun, di mana perusahaan swasta besar menguasai sekitar 55%.

Total ekspor minyak kepala sawit sejak 1999-2019 mencapai 209 miliar dolar AS. Hasil komoditas sawit ini seharusnya memberi manfaat ekonomi  sangat besar kepada rakyat di daerah, tetapi ironisnya hanya dinikmati oleh sekelompok  kecil pengusaha sawit besar sehingga mengakibatkan kemiskinan di daerah dan ketimpangan sosial sangat tajam.

Jumlah produksi komoditas batubara lebih spektakuler lagi. Produksi batubara melonjak 10x lipat dalam 20 tahun dari 62,1 juta ton (1999) menjadi 616,2 juta ton (2019). Sedangkan total eskpor batu bara mencapai 245,3 miliar dolar AS dalam waktu 20 tahun (2000-2019).

Seharusnya hasil SDA ini dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, sehingga  kehidupan  akyat menjadi lebih sejahtera. Tetapi sekali lagi, ironisnya, manfaat ekonomi dari kekayaan SDA ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha tambang.n er, jk,03

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU